Kepustakaan Populer Gramedia
by on May 27, 2020
272 views

 

Judul Buku : Lentera Batukaru: Cerita Tragedi Kemanusiaan Pasca-1965

Penulis : Putu Setia

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia

Cetak : 2019

Tebal : vi + 258 halaman

ISBN : 978 602 481 143 3


Malapetaka itu selalu teringat setiap September dan Oktober. Putu Setia memiliki pengalaman buruk, berikhtiar ingin melupa tapi sulit. Ia sampai di keputusasaan: “Memang, sebaiknya kepedihan yang terkait dengan peristiwa Gestok, G-30-S, Pemberontakan PKI–apa pun namanya lagi–seharusnya disudahi. Saya pun tak ingin mengenangnya lagi. Lupakan.” Kalimat-kalimat itu mengandung putus asa, setelah Putu Setia menggunakan puluhan halaman mengisahkan malapetaka terjadi di Bali. Di buku berjudul Lentera Batukaru, ia justru mengenang dulu untuk mengajak ke “melupa” gara-gara dampak malapetaka 1965-1966 masih terasa sampai sekarang. Tragedi-tragedi masih menimpa meski sejarah perlahan digugat dengan tumpukan bukti dan argumentasi.

Putu Setia lahir di Pujungan, Pupuan, Tabanan, Bali, 4 April 1951. Pada 1964-1965, ia menjadi remaja melek politik. Putu Setia memihak ke PNI. Indonesia sedang membara politik oleh perseteruan sekian partai politik. Di kubu Marhaenis, Putu Setia perlahan mengerti politik di Bali dan sengaja berpolitik. Pada saat masih menjadi murid SMP, Putu Setia bergabung ke GSNI (Gerakan Siswa Nasional Indonesia), organisasi di naungan PNI. Pilihan mengacu ke situasi di dusun: “Bahkan boleh disebut dusun di mana saya tinggal ini adalah basisnya partai dengan lambang banteng segitiga itu.” Di pelbagai tempat, PKI dan PNI sering kisruh dengan adu jargon dan pembuatan peristiwa politik. Putu Setia mengerti tapi cenderung ingin menghindari kekerasan atau kekejaman. Pada saat mengerti politik, ia mendapat julukan “politisi bercelana pendek”. Ia memang masih remaja tapi berani bersikap dalam politik sedang membara di Bali.
 

Pengalaman singkat tiba-tiba memuncak ke tragedi. Putu Setia mengenang: “Hari itu datang, sebuah petaka menimpa bangsa ini, di awal bulan Oktober 1965. Hari yang tak pernah saya lupakan.” Pengakuan mengesankan ingatan Putu Setia ke Gestok. Kita membuka Kamus Gestok (2003) susunan Hersri Setiawan. Gestok adalah akronim dari Gerakan Satu Oktober. Sebutan itu diajukan Soekarno dalam sidang kabinet paripurna, 9 Oktober 1965. Publik mulai dibingungkan kemunculan sebutan Gestok dan G-30-S-PKI. Politik memang bekerja dengan linguistik untuk meminta keberpihakan dan mencipta permusuhan-permusuhan sengit. Sekian sebutan di peristiwa-peristiwa 1965 dan 1966 membuat Putu Setia sedih berkepanjangan. Desa, tempat kelahiran, menjadi tempat berdarah dan duka gara-gara politik. Amuk massa berlangsung menimbulkan korban dan mencipta dendam.
 

Sekian orang di desa berkaitan dengan organisasi atau acara bercap PKI ditangkap oleh aparat. Pada masa lalu, ada sebutan bagi orang-orang masuk daftar berurusan dengan tentara. Mereka itu “kena garis”. Orang “kena garis” berarti masuk daftar untuk ditangkap atau diambil oleh pihak tentara. Mereka dituduh terlibat PKI. “Kena garis” membuat orang atau keluarga menanggung petaka tak berkesudahan. Sekian orang masuk daftar penangkapan atau “kena garis” tapi salah. Hal itu menimpa seorang buruh. Pada suatu hari, ia menjadi buruh untuk membangun panggung bagi acara BTI. Ia cuma orang upahan tak mengerti politik. Kehadiran raga di situ sudah dianggap terlibat BTI atau PKI. Ia pun “kena garis”. Sekian hari diambil dari rumah. Tahun demi tahun berlalu, keluarga tak mendapat kabar. Orang itu mungkin sudah berakhir di tangan tentara. Hal itu kepedihan. Putu Setia marah oleh ulah tentara dengan semena-mena dan angkuh membasmi atau menumpas orang-orang dituduh terlibat PKI. Pengisahan Putu Setia itu mengenalkan istilah “kena garis” tapi kita tak menemukan istilah dan pengertian itu saat membuka Kamus Gestok.
 

Kita mengutip penjelasan Geoffrey Robinson di buku berjudul Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik (2006) untuk mengetahui posisi BTI dan sikap aparat di dampak malapetaka 1965. Robinson menjelaskan: “Keberadaan organisasi-organisasi petani yang berafiliasi dengan partai di praktis seluruh desa dan banjar di Bali turut memicu dinamika konflik di daerah pedesaan. Meskipun mayoritas luas cabang BTI didirikan pada akhir tahun 1964 dan 1965, organisasi ini dengan cepat meraih reputasi dalam hal militansi dan radikalisme yang tidak lumrah, yang menekankan prinsip tanah untuk penggarap.” Di desa, situasi politik semakin tak keruan. Putu Setia pun merasa menjadi incaran tentara. Ia memilih pergi ke Denpasar, mengadu nasib sebagai si miskin dan membaca situasi politik nasional setelah menjadi loper koran. Berita-berita di koran semakin memberi pedih. Ia menganggap kesalahan besar sedang diselenggarakan oleh rezim Orde Baru.
 

Pada masa 1970-an, Putu Setia semakin mengerti rezim ciptaan Soeharto dan peran tentara. Di desa-desa, para tentara dan pejabat turun mengumumkan agar orang-orang masih berada di organisasi-organisasi di naungan PNI membubarkan diri. Mereka mendapat “paksaan” dan “ancaman”. Semua demi pemilihan umum (1971). Orang-orang dianjurkan bergabung dengan organisasi-organisasi berafiliasi dengan Golkar. Perintah dari pusat diturunkan ke desa-desa dengan pemenuhan janji agar kemenangan Golkar mencapai 100%. Putu Setia menolak dengan cara mencoblos PNI saat pemilu. Pilihan itu lekas diketahui oleh panitia dan aparat. Semua kertas suara sudah ditandai atau dinomori. Panitia menemukan ada dua surat suara berbeda: satu orang mencoblos partai Islam dan satu orang mencoblos PNI. Panitia gampang menuduh bahwa pencoblos gambar PNI pasti Putu Setia. Peristiwa itu membuat Putu Setia semakin memastikan bahwa Soeharto sedang mencipta Orde Baru penuh muslihat atau “orde bohong”.
 

Pada masa berbeda, Putu Setia menjadi wartawan di Jakarta. Ia melihat Bali dalam tatanan politik dibentuk dan diperintahkan dari Jakarta. Rezim Orde Baru memang keterlaluan dalam manipulasi politik dan hukum. Dampak dari malapetaka 1965-1966 dijadikan dalih bagi Soeharto mencipta kekuasaan otoriter. PKI dinobatkan sebagai musuh besar mendapat kutukan ditumpas sampai akar. Kita mengingat gerakan atas perintah Soeharto adalah “bersih lingkungan”. Soeharto berhasil berkuasa puluhan tahun, sebelum jatuh pada 1998. Segala pedih di masa lalu di Bali perlahan diinsafi Putu Setia dengan tumpukan marah dan usaha memulihkan diri dari trauma-trauma. Pada usia tua, ia memilih di jalan religius. Ia tetap menulis untuk memberi tanggapan-tanggapan situasi mutakhir dan menitip renungan-renungan. Masa lalu ingin dilupakan tapi selalu “memanggil” setiap September dan Oktober. Begitu.

Resensi di Koran Sindo, 6 Oktober 2019


Peresensi: Bandung Mawardi

Posted in: Ulasan
Be the first person to like this.