Kepustakaan Populer Gramedia
by on July 1, 2020
191 views

Dipanggil Yap dengan nama lengkap Yap Thiam Hien. Dia seorang pengacara kenamaan di dua zaman: Orde Lama dan Orde Baru. Namun sayang, menurut amatan Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, namanya kurang dikenal generasi pengacara saat ini. 

Seri Tempo: Yap Thiam Hien , Sang Pendekar Keadilan ditulis untuk melawan lupa terhadap sosok yang pernah berjasa menorehkan jejak perjuangan keadilan di mimbar pengadilan, lembaga hukum dan advokasi yang dia bangun. Sikap hidupnya bervisi kebenaran secara holistis tanpa sedikitpun berpretensi hedonis dengan memanfaatkan potensi yuridis yang dimiliki. 

Kehadiran buku ini adalah antitesa terhadap perilaku banyak pengacara saat ini yang lebih banyak mengamini permintan klien tanpa peduli apakah apakah klien dalam posisi benar atau salah. Statistik menunjukkan bahwa pengacara banyak bersalin rupa menjadi mafia hukum yang malah menyuburkan tingginya korupsi (hlm 164).

Buku ini bertutur bagaimana Yap mencari kebenaran lewat jalur hukum. Karena bukan kemenangan yang Yap cari, maka hidup yang dia jalani bersahaja. Kebenaran tidak glamor. Dia lebih dekat dengan kelompok marginal yang dalam lanskap kekuasaan selalu dipinggirkan dan dikalahkan. Tidak hanya membela hak mereka yang diberangus. Dia juga mengobarkan keberanian di hati mereka untuk melawan mereka yang salah, walaupun dia pemerintah yang sedang berkuasa.

Simaklah apa yang diceritakan buku ini ketika masyarakat pinggiran Jakarta datang kepadanya, mengadukan tanah mereka yang dirampas pemerintah Orde Baru yang dikenal diktator. “Kami tidak menentang pemerintah, kami hanya minta ganti rugi memadai,” kata mereka dengan nada takut.  Yap mendongak. Wajahnya memerah, “Stop! Kalian tidak boleh berkata begitu. Kalian harus berani menentang kalau pemerintah salah,” katanya (hlm 4). 

Buku ini juga mengisahkan teguran keras Yap kepada perwira berseragam militer yang menyalip antrean. “Hai kamu kira siapa? Kami semua mulai tadi antre, sekarang kamu nyalip seenaknya. Mundur ke belakang antrean,” kata Yap. Kepada sesama pengacara yang doyan membela orang kaya di pengadilan, Yap berkata tajam, “Bagaimana bisa anda membela orang kaya yang menentang orang miskin (hlm 88).”

Saya perlu mengutip utuh ungkapan-ungkapan tegas Yap di atas untuk menunjukkan bahwa di zaman otoriter Orde Baru dia tampil berani, satu hal yang sangat mustahil terjadi ketika kebebasan berekspresi tidak sebebas saat sekarang. Dia sering pro bono alias mengratiskan tarif kepada kliennya yang sebagian besar tidak berduit. Seandainya dia pasang tarif, itu pun jauh lebih murah dari pengacara lainnya. Menurut penuturan Utama, Asisten Yap, tarifnya berkisar 5 sampai 10 juta sementara pengacara lain memasang tarif 40 hingga 50 juta. 

Sementara dia berjuang membela orang tertindas, pada saat yang sama dia tertindas karena dia berasal dari kalangan minoritas: Tionghoa dan Kristen. Orde Lama menetapkan aturan untuk merubah nama Cina menjadi nama pribumi agar tidak terjadi tindakan rasis. Yap menolak karena baginya aturan demikian begitu superfisial. Baginya, merubah nama berarti merubah identitas yang masuk ranah Hak Asasi Manusia. Bukan minoritas yang melahirkan tindakan rasis, namun perlakuan dari pribumilah yang kemudian diakomodasi dalam undang-undang yang melahirkan tindakan rasis tersebut

Lewat tulisannya di Sinar Harapan dan Kompas dia mengkritik aturan larangan hoakiau, Cina peranakan, untuk berdagang atau jadi pegawai. Lewat jalur hukum dia menolak keputusan Bung Karno untuk kembali ke UUD 1945 karena, pada pasal 6, terdapat aturan rasis yang menjelaskan bahwa hanya pribumi asli yang boleh jadi presiden (hlm 62). 

Buku ini disusun berdasarkan wawancara dengan kolega dekat Yap, dokumen pribadi serta napak tilas tempat Yap lahir, belajar, jadi guru hingga menjadi advokat. Perjuangannya merupakan serpihan cermin yang mesti disusun ulang agar kita, utamanya para pengacara, bisa berkaca guna melihat sejauh mana menggunakan hukum untuk memayungi kebenaran dan keadilan di zaman penuh kebebasan seperti sekarang.

Dimuat di Koran Jakarta, 16 Januari 2018


Peresensi: Muhamad Abdul Manan

Posted in: Ulasan
Be the first person to like this.