Kepustakaan Populer Gramedia
by on July 9, 2020
4,456 views

DIANGKAT dari edisi khusus Majalah Berita Mingguan Tempo, buku yang membahas tentang peran Tjokroaminoto dalam pergerakan ini dipaparkan dengan apik dan menarik. Tokoh yang lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 18 Agustus 1882 ini dengan kemampuannya dalam berorasi dan tulisannya yang telah tersebar di berbagai media, telah memberi inspirasi puluhan ribu orang dan menumbuhkan semangat kebangsaan. 

Meski berdarah bangsawan, sejak awal Tjokro ini sangat menentang keras feodalisme. Dia berjuang untuk meretas jalan kesetaraan. Hal ini terlihat jelas dalam salah satu tulisannya berupa sajak yang dimuat di Doenia. Bergerak tahun 1914. Dia mengkritisi penindasan dan perbedaan derajat manusia. begitu pula dalam berbagai pidato yang disuarakan. Oleh karena itu dia dijuluki sebagai “Gatotkoco Serikat Islam” (hal 7). 

Karir perjuangannya semakin melesat ketika dia mulai bergabung di Organisasi Sarekat Islam Mei 1912--sebuah Organisasi yang didirikan oleh Haji Samanhoedi, seorang saudagar batik. Di mana organisasi ini didirikan ketika ada persaingan dagang antara Pribumi dan CIna. Dan berkat tangan dingin Tjokro, organisasi itu menjadi gerakan politik yang besar dan kuat. Dalam kepemimpinannya di Sarekat Islam, sejarawan Bonnie Triyana menilai salah satu keunggulan Tjokro adalah sikap egaliter. Dia tidak memandang usia, status atau jabatan. Yang terpenting para anggota beragama sama (hal 36). 
 

Penulis: Redaksi Tempo
Editor: Galang
Kategori: NonfiksiHumanioraSejarahBiografiSeri Tempo
Terbit: 2 November 2015
Harga: Rp60.000
Tebal: 160 halaman
Ukuran: 160 mm x 230 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9789799109705
ID KPG: 591501083
Bahasa: Indonesia
Usia: 15+
Penerbit: KPG



Upaya yang dilakukan Tjokro untuk membawa Sarekat ke level nasional yaitu merancang delapan program untuk memperjuangkan hak rakyat. Di antaranya menghapus kerja sama, mengizinkan pendidikan. Sarekat juga mendesak penghapusan peraturan yang menghambat penyebaran Islam. Itulah sebabnya Sarekat Islam semakin mendapat dukungan besar. Mengingat dia memperjuangkan kepentingan rakyat dan umat Islam pada khususnya. Selain mengurus pergerakan Sarekat Islam, Tjokro juga rutin menuangkan ide-idenya di surat kabar, Oetosan Hindia. Dia menulis dengan topik yang beragam. Mulai dari politik, hukum hingga perdebatan antara paham sosialisme dan Islam. 

Selama bergerak dalam perjuangan Tjokro berpegang pada beberapa prinsip yang pernah dia tulis dan terbitkan dalam Sendjata Pemoeda, surat kabar PSSI. Dia menegaskan: keutamaan, kebesaran, kemuliaan, dan keberanian bisa tercapai lewat ilmu tauhid, ilmu tentang ketuhanan (hal 30). Tjokro memang amat meyakini Islam mengandung banyak nilai sosialisme. Oleh karena itu dia ingin membumikan perjuangan yang bersandar pada Islam sebagai basis ideologi. 

Selain berjuang dalam ranah politik, Tjokro juga memiliki kepedulian dalam pendidikan. Pada tahun 1930-an, banyak berdiri sekolah Tjokroaminoto yang dibangun di cabang-cabang PSII-Partai Sarikat Islam Indonesia di semua wilayah. Solabus dan kurikulum nya didasari buku Moeslim National Onderwijis yang ditulis Tjokro 1925. Sekolah-sekolah itu mengajarkan soal arti kemerdekaan, budi pekerti, ilmu umum dan ilmu keislaman. Menurut Tjokro, asas-asas Islam sejalan dengan demokrasi dan sosialisme. maka kaum muslimin harus dididik menjadi muslim sejati untuk mencapai kemerdekaan umat. 

Kiprah Tjokroaminoto ini pada akhirnya membuat dirinya disebut-sebut sebagai guru para pendiri bangsa. karena lewat didirikannya, lahirlah para bumiputera yang akhirnya memulai gebrakan dalam pergerakan. Sebut saja Tan Malaka, Sukarno, Musso, Semaoen, Alimin hingga Kartosoewirjo

Reportase ulang tentang Tjokroaminoto ini telah membuka wawasan kita tentang kehidupan pendiri republika yang inspiratif, tapi juga penuh intrik pemikiran dan petualangan. Disusun dengan bahasa yang mudah dipahami, menjadi sisi positif ketika membaca buku ini. Dilengkapi dengan foto-foto dokumentasi, semakin menambah rasa perjuangan yang terjadi di masa lalu. Hanya saja karena buku ini tidak ditulis penulis tunggal--merupakan kumpulan tulisan bergaya jurnalistik dari beberapa penulis, maka kita harus pandai-pandai menyusun rangkaian kisah yang ada. 
 


Peresensi: Ratnani Latifah, Alumni universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara 

Posted in: Ulasan
Be the first person to like this.