Kepustakaan Populer Gramedia
by on July 22, 2020
224 views

“Ada yang bilang, kami tidak bekerja, tetapi menyelenggarakan hobi dan beruntung karena kantor membayar hobi kami. Kami tidur di kolong meja. Itulah substansi jurnalisme dalam pengertian San Santiana. Yang seperti pegawai kantoran bukan jurnalis, mereka juru tulis. 

Seperti cerita Bre, novel ini berjalan sendiri begitu ia memulainya. “Bukan saya yang membawa dia, melainkan dia yang membawa saya,” ucapnya di pengantar cara pamit pensiuns dan peluncuran novel tersebut, Rabu (29/11) malam, di Bentara Budaya Jakarta. Pengalaman 35 tahun berkarya sebagai wartawan sangat mewarnai novel Bre. Ia menyebut novel itulah yang membawanya menentukan ruang, waktu, irama, tempo, dan timing-nya sendiri. 

Enam rekan jurnalis bergantian membawakan cuplikan-cuplikan novel yang kocak sekaligus reflektif. Sementara itu, satu rekan menarasikan dalam bentuk aksi teatrikal. Cerita itu mengalir ringan, menghibur, dan mengaduk-aduk memori sekaligus kegelisahan terhadap nasib koran di usia senja. Narasi novel Bre semakin kuat dengan nyanyian dan penampilan musik Tommy F Awuy, Nana Soebianto, serta bintang tamu Aria Baron. 
 

Penulis: Bre Redana
Kategori: FiksiNovel
Terbit: 20 November 2017
Harga: Rp 65.000
Tebal: 200 halaman
Ukuran: 130 mm x 210 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024247089
ID KPG: 591701427
Usia: 17+
Bahasa: Indonesia
Penerbit: KPG


Otokritik

Novel Bre tak sekadar menggalunkan cerita, tetapi juga otokritik terhadap fenomena gegar budaya digital. Hardoyo, seorang tokoh dalam novel itu, berkata, intelektualitas kita telah ditumpas.  Sebelum terpikir untuk membangkitkan kesadaran bangsa kita masuk ke zaman teknologi digital. Tradisi disinformasi, mempercayai apa saja kecuali kebenaran, berlanjut secara masih tak terkendali. Kita masuk dalam era pasca-kebenaran. Hardoyo menyebutnya pasca-kasunyatan. Ditegaskannya, untuk memproduksi berita di koran, wartawan perlu hadir di tempat kejadian, bertanya ini-itu, mencocokan, berpikir, sebelum kemudian tulisan dicetak. Prosesnya panjang dan kurang praktis dibandingkan dengan perkembangan baru seperti ditawarkan teknologi digital: kejadian yang terdengar bisa langsung disebarluaskan seketika itu juga. Kalau yang pertama dipikir dulu baru disebarkan. 


Yang belakangan sebarkan dulu pikir belakangan. Bre menyebut ada sistem neurologi yang berbeda. Putu Fajar Arcana, jurnalis budaya Kompas, mengukuhkan Bre sebagai sisa terakhir dari generasi jurnalisme partisipatif. “Pada eranya, peliputan menjadi wilayah partisipasi publik dalam rangka bersama-sama memproduksi pengetahuan. Sesudahnya jurnalisme mementingkan kecepatan melayani hasrat instan pada era komunikasi-informasi yang serba digital,” papanya. 

Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo mengatakan, sebagai wartawan, Bre tak akan pernah pensiun dan karyanya tetap akan ditunggu. Hari Selasa (28/11), Redaktur Senior Kompas ST Sularto juga pamit dari harian ini. Demikian pula wartawan Kompas di Yogyakarta, Thomas Pudjo Widijanto, hari Minggu lalu merayakan masa purna tugas di Omah Petroek, Sleman.

Dimuat di Harian Kompas edisi Kamis, 30 November 2017 

Posted in: Ulasan
Be the first person to like this.