Kepustakaan Populer Gramedia
by on October 30, 2020
166 views

Pada masa Orde Baru, para remaja dikenalkan dengan para tokoh dunia. Indonesia sedang ingin memiliki orang-orang pintar atau cerdas seperti termaktub dalam pelbagai dokumen negara. Kita mengingat saja sebagai ikhtiar besar mencerdaskan remaja di seantero Indonesia. Pelajaran-pelajaran di sekolah membuat remaja lelah, menumpas bosan dan jengkel dengan pelbagai peristiwa tetap saja diawasi oleh mata-pemerintah, mata-sekolah, dan mata-orangtua. Negara terlalu menuntut kaum remaja itu cerdas demi pembangunan nasional. Di ruang berbeda, ada remaja memilih menikmati buku-buku tanpa perlu menggubris seribu tanda seru dari rezim Orde Baru. Ia membaca buku berjudul Mendel: Bapak Genetika Modern garapan Vitezslav Orel. Edisi terjemahan bahasa Indonesia diterbitkan oleh Grafiti, Jakarta, 1991.  

Alkisah, Mendel dilahirkan dari keluarga petani. Pada saat dewasa, ia memasuki biara Agustinus di Brno, berlanjut kuliah di Universitas Wina belajar ilmu pengetahuan alam. Ia pun menjadi guru meski tak senikmat menjadi pengasih dan pengasuh tanaman. Ia memilih bercocok tanam polong selama tinggal di biara. Di kebun kecil, ia menanam dan memelihara tanaman: menghasilkan catatan-catatan berujung penemuan hukum hereditas. Ia menunaikan “ibadah” kealaman pada pertengahan dan akhir abad XIX. Sepi. Tulisan-tulisan Mendel perlahan disepikan dari pembaca dan sejarah keilmuan. Pada 1965, para pakar genetika berhimpun membuat peringatan seabad penemuan Mendel. Pakar-pakar itu takjub dan menghormati Mendel sebagai pengubah alur keilmuan, membuat abad XX terlalu berubah gara-gara genetika. Buku biografi mengenai “empu dunia” itu pasti memukau remaja melek ilmu pengetahuan alam. Pembaca penasaran Mendel, genetika, dan situasi keilmuan akhir abad XIX dan abad XX.

Puluhan tahun berlalu, bacaan mengenai genetika terus bertambah. Pada 2020, terbit buku edisi terjemahan berjudul Gen: Perjalanan Menuju Pusat Kehidupan garapan Siddhartha Mukherjee. Buku tebal, merangsang pembaca memasuki halaman-halaman ketakjuban, renungan, nelangsa, dan keingintahuan. Buku memuat biografi dan alur keilmuan. Pembaca dientengkan dan dilenakan pilihan-pilihan kutipan setiap mengawali bab-bab tak selalu mudah dikhatamkan. Pembaca mengandaikan sedang membaca “novel” atau “risalah suci” bertema gen. Pemula adalah Mendel, tokoh sudah terbaca para remaja atau kalangan intelektual di Indonesia masa 1990-an.

Kita mengikuti pukau pengisahan Siddharta Mukhrejee tentang peristiwa dialami Mendel, 1857. Tahun demi tahun, ia menanam dan mencatat segala hal mengenai polong. Pada suatu peristiwa dan tempat: “… sepetak lahan di samping biara, lahan persegi bertanah lempung berukuran enam kali tiga puluh meter berbatasan dengan ruang makan bersama, dan terlihat dari kamar Mendel. Ketika angin meniup kerai-kerai jendela hingga terbuka, seolah-olah kamar Mendel berubah menjadi mikroskop raksasa. Buku catatan Mendel dipenuhi tabel dan coretan-coretan dengan data ribuan persilangan. Ibu jari Mendel hampir mati rasa akibat keseringan mengupas polong.” Kita sedang membaca buku berat tapi terasa di hamparan cerita.

Spesifikasi Produk
Penulis: Siddhartha Mukherjee
Editor: Andya
Kategori: NonfiksiSains
Terbit: 24 Februari 2020
Harga: Rp 150.000
Tebal: 720 halaman
Ukuran: 150 mm x230 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024813130
ID KPG: 592001761
Bahasa: Indonesia
Usia: 15+
Penerbit: KPG
 


Pada suatu hari, Mendel berhasil membuat makalah disampaikan di hadapan sedikit orang. Makalah itu diam, tersimpan tanpa pembaca selama puluhan tahun. Dunia melupakan Mendel. Ketekunan tokoh dalam bercocok tanam tak menjadi cerita milik dunia saat bergairah dengan pelbagai penemuan. Pakar genetika malah memberi lelucon penuh sesalan atas nasib makalah atau penemuan Mendel: “…. kesunyian paling aneh dalam sejarah biologi.” Para ilmuwan telat “menghidupkan” dan “mengagungkan” Mendel. Pada akhir 1920-an, orang-orang pintar mulai kelabakan memberi jawab tentang gen dan identitas. Kesibukan berlangsung tapi jawab selalu ragu. “Bahkan ketika genetika dimanfaatkan untuk menjustifikasi perubahan besar-besaran dalam hal hukum dan masyarakat, gen itu sendiri tetap dengan keras kepala berupa entitas abstrak, hantu yang bersembunyi dalam mesin biologis,” tulis Siddharta Mukherjee.

Para peminat bacaan sains mungkin sudah khatam duluan buku berjudul Mapping Human History: Gen, Ras, dan Asal-Usul Manusia (2004) garapan Steve Olson. Buku membekali kita sedang tercengang sejarah dan masa depan dunia. Steve Olson menjelaskan: “Para ahli genetika baru saja mulai membaca cerita yang tertulis dalam DNA kita, dan mereka telah menemukan adanya sebuah hikayat yang luar biasa kaya.” Kita pasti tercengang setelah hasil-hasil penelitian tersampaikan dari pelbagai penjuru. Dunia mengerti maksud Mendel meski tak pernah dituntaskan, menanti lanjutan-lanjutan dari pakar-pakar pada abad XXI. Tersibak. Sejarah perlahan tersibak, terbaca dengan genetika memicu sorotan atas identitas, bahasa, kesehatan, politik, dan lain-lain.

Tahun demi tahun, riset-riset besar dan fantastis berterima kasih pada biografi keintelektualan dan religius Mendel. Dunia meriah oleh penasaran-penasaran genetika. Abad XX dan XXI memiliki para ahli bekerja keras, saling membantah, melengkapi, atau meralat segala misi bereferensi genetika. Di buku tebal, Siddharta Mukhrejee mencantumkan puluhan tokoh penting tapi kita sulit mengingat dan mengurutkan segala kontribusi sanggup membuka tabir sejarah dan “membaca” masa depan dalam bahasa-bahasa (genetika) pernah dituduh rumit. Pengutipan omongan tokoh diperlukan dalam mengikuti alur ruwet riset-riset abad XX dan XXI. “Terkadang dalam sains, seperti juga dalam sisi-sisi kehidupan lainnya, tidak perlu menyelesaikan suatu kalimat atau pemikiran,” seperti dikutip oleh Siddharta Mukhrejee. Kita terpana saja.

Keinginan semakin “mengerti” mungkin didampingi dengan membaca buku Richard Dawkins berjudul The Selfish Gene (2017). Buku sulit tapi terlalu penting. Buku anggap saja “fiksi ilmiah” seperti kelakar Richard Dawkins. Kita memasuki masalah-masalah mendebarkan dengan bacaan-bacaan sains. Penjelasan agak rumit dari Richard Dawkins: “Gen adalah pemrogram utama, dan dia memprogram demi kelangsungan hidupnya. Gen dinilai berdasarkan keberhasilan programnya dalam menghadapi semua bahaya yang dihadirkan oleh kehidupan terhadap mesin kelestariannya dan hakimnya adalah hakim kejam di pengadilan kelangsungan hidup.” Segala itu penting tapi kita sering telat mendapat penjelasan, semakin telat paham.

Siddharta Mukherjee mendatangi kita dengan buku tebal. Kita membaca saat berduka gara-gara wabah. Bacaan semakin berat meski ada pikat sejenis “novel”. Kesanggupan khatam mungkin mengurangi secuil bodoh. Pesan minta pemahaman: “Dorongan hati sains adalah mencoba memahami alam dan dorongan hati teknologi adalah mencopa memanipulasinya.” Kini, kita geleng-geleng setiap ada kabar-kabar mengenai DNA. Dulu, genetika itu ranah sains, kebablasan masuk dalam ranah teknologi: membuat orang-orang memberi sangkalan mengacu iman, moral, kemanusiaan, alam, dan lain-lain. Begitu.

Resensi dimuat di Harian Suara Merdeka edisi Minggu, 25 Oktober 2020


Persensi: Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi, Surakarta

 

Posted in: Ulasan, Esai
Be the first person to like this.