This shift towards cleaner transportation can https://paperio2.io contribute significantly to improving air quality and reducing greenhouse gas emissions in crowded urban areas.
Paper io: Conquer the Virtual World!
Paper io - Step into the colorful and addictive world of Paper games, a popular online multiplayer game that will test your strategy and skill. Let's dive in!
Be the first person to like this.
Kepustakaan Populer Gramedia
posted a blog.
Pada akhir tahun, orang-orang menunda atau membatalkan angan dan ingin pelesiran ke Bali. Wabah belum rampung. Bali mendingan terimajinasikan dengan sekian gubahan teks sastra atau melihat foto-foto mengisahkan Bali, dari masa ke masa. Bali boleh sepi, babak jeda setelah puluhan tahun selalu ramai gara-gara ribuan orang bergairah mengartikan waktu. Jeda berhak milik Bali sambil menggoda kita berpikiran (lagi) sejarah Bali mungkin memberi kejutan tak habis-habis.
Kita mau bergerak ke sejarah tapi mampir dulu ke buku berjudul Menggugat Bali (1986) garapan Putu Setia. Buku terbit saat Orde Baru makin tegak dan nalar pelesiran makin membesar bertaraf internasional. Bali itu pikat. Putu Setia, wartawan dan pengarang, mengalami masa kecil dan remaja di Bali. Pada suatu masa ia bekerja di Jogjakarta dan Jakarta, sebelum pulang kembali ke Bali bermisi religius. Ia mengaku: "Ketika saya meninggalkan Bali di akhir 1977, saya merasakan, saya banyak tahu tentang perjalanan pulau ini. Ada kecemasan yang saya bawa ke Pulau Jawa, tetapi lebih banyak ketidakcemasan yang saya taruh di Bali. Yang tak perlu saya cemaskan itu, alasannya, masyarakat Bali sejak dulu kala terbukti pandai menyaring, bagian mana kebudayaan luar yang bisa diserap, dan bagian mana yang tidak. Ada filter pengaman yang ampuh.” Tahun-tahun dialami di Jawa dengan sekian kesibukan tapi ia terus teringat dan memandang Bali.
Bali terbukti berubah! Gugatan demi gugatan diajukan atas nasib Bali. Pembelaan dan argumentasi terus diadakan mengacu sejarah, identitas, politik, seni, dan lain-lain. Putu Setia memberi kesaksian dan tanggapan, tak bermaksud menuntun pembaca menempuhi jalan sejarah tapi ada percik-percik mengingat masa lalu. Bali belum selesai dalam penulisan. Bali pun belum khatam “terbaca”. Pada 2020, kita mulai memasuki jalan sejarah dengan buku berjudul Kebalian: Konstruksi Dialogis Identitas Bali garapan Michel Picard. Kita tak tergesa menunduk “malu”. Puluhan buku babon bertema Bali tetap saja hasil riset para intelektual dari negeri-negeri asing.
Penulis: Michael Picard
Penerjemah: Feybe Mokoginta
Kategori: Nonfiksi, Sejarah, Sosial
Terbit: 10 Agustus 2020
Harga: Rp 85.000
Tebal: 398 halaman
Ukuran: 160 mm x 240 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024814250
ID KPG: 592001811
Usia: 15+
Bahasa: Indonesia
Penerbit: KPG
Anggapan mendasar bahwa orang Bali berlindung dalam idaman identitas. Pengibaratan sebagai pohon berakar “agama”, berbatang “adat”, dan berbuah “budaya”. Michel Picard meriset dan membahasakan tentang dorongan orang-orang Bali merumuskan identitas. Lacakan demi lacakan perlahan memberi penjelasan babak-babak perubahan di Bali. Berlatar 1920-an, terjelaskan kemunculan kaum terpelajar atau tamatan sekolah di Bali berdampak ke pendefinisian identitas berbarengan dengan kemunculan pengaruh besar Islam dan Kristen. Situasi itu menutut mereka “mengarifi kebalian sebagai identitas bertumpu sekaligus pada ‘agama’ dan ‘adat’.” Mereka hidup di pulau kecil, berumpama berada di “pulau kecil agama Hindu” dalam kepulauan besar agama Islam.
Di Bali, sejarah bergerak dengan kejutan-kejutan dan “kebingungan”. Dokumen atau buku-buku masa lalu terbaca, membedakan sumber-sumber pengaruh dan siasat Bali turut di arus sejarah. Kita diingatkan sejarah bertema agama. Pada 1866, misionaris Belanda bernama Rutger van Eck menetap di Buleleng, membuka sekolah. Ia melakukan riset dan penulisan artikel-artikel mengenai Bali: sejarah, bahasa, dan sastra. Dakwah dan studi serius dengan hasil: mengkristenkan satu orang Bali saja. Babak kemurungan itu turut menentukan sikap pemerintah Belanda dengan menutup akses misionaris ke Bali. Kebijakan-kebijakan lanjutan pemerintah kolonial “justru” menjadi sejenis sokongan atas pemaknaan kasta, agama, adat, dan budaya. Sekian hal menjadi kekhasan. “Belanda telah membantu menonjolkannya,” tulis Michel Picard.
Sejarah Bali tambah meriah pada abad XX. Pembentukan identitas makin “mengencang”. Peran pemerintah kolonial Belanda diimbuhi oleh para orientalis dalam melestarikan Bali sebagai "museum hidup". Studi-studi mengenai Bali bertambah, memikat para sarjana asing. Mereka berdatangan dan menjelaskan untuk dunia. Di luar hal-hal berkesan “formal”, sejarah Bali juga dipengaruhi kedatangan wisatawan dan seniman, tak ketinggalan para etnolog. Para pembaca buku-buku berat bisa mengingat studi Margareth Mead. Di lakon pariwisata, kita bisa membaca buku berjudul Pulau Bali: Temuan yang Menakjubkan (2013) susunan Miguel Covarrubias. Lelaki asing itu semula pelancong. Takjub melihat Bali bereferensi buku-buku panduan pariwisata dan album foto. Ia melakukan perjalanan panjang, bekeliling di pelbagai tempat di Bali, 1930-an. Semua itu dituliskan dalam buku telah dianggap klasik. Para seniman, pelancong, dan etnolog itu mengartikan Bali adalah “surga terakhir”.
Ironi terasakan di Bali akibat tatapan dan studi orang-orang asing. Kajian Bali cenderung terpahamkan dan milik orang-orang asing, menjelaskan ke orang-orang Bali atau Indonesia. Pada 1933, Michel Picard menemukan artikel mengandung sesalan bahwa orang Bali ingin mengetahui tradisi-kesenian mesti merujuk kajian para ahli asing. Hal mirip berlaku pula di Jawa. Kita mendapat informasi itu gara-gara publikasi studi berupa artikel dan buku mengenai Bali dalam bahasa-bahasa asing di Eropa semakin berlimpahan tapi cuma sedikit dalam bahasa Bali atau Indonesia. Situasi itu berbeda dengan perjalanan ditempuhi Putu Setia untuk menemukan (lagi) dan menuliskan seni-tradisi yang masih lestari di Bali. Perjalanan itu sempat dipicu oleh ledekan dan kecewa bahwa Bali terjerat komersial. Upacara adat dan seni Bali dituduh “bisa dijinakkan oleh dolar”.
Sejarah Bali merumit setelah berpisah dari lakon kolonial. Pada 1945-1949, Michel Picard menganggap ada rumit dalam masalah sifat agama di Bali pada tatapan formal-birokrasi Indonesia. Perdebatan-perdebatan berlangsung menambahi keseruan sejarah. Bali menjadi bagian Indonesia tapi menanggung pergolakan dalam memahami hubungan agama dan adat. Pergolakan berpengaruh atas identitas etnis dan religius. Michel Picard menulis: "Setelah kategori agama dan adat itu dibentuk, masalahnya tetap saja bagaimana membedakan keduanya dengan tegas, suatu masalah yang pelik dan tak terhindarkan karena keduanya secara bersamaan dianggap terlalu mirip dan mesti terpisah".
Sejarah bertambah masalah pada masa Orde Baru. Kebijakan-kebijakan Soeharto kadang memberi sulit dan dilema. Malapetaka 1965 berpengaruh besar dalam penentuan sikap: agama, adat, dan politik. Situasi tak menentu mengakibatkan keputusan-keputusan cepat. Michel Picard menjelaskan tiga organisasi resmi Hindu secara resmi berafiliasi dengan Golkar berlatar tatanan politik “baru”. Pada 1968, tergelar acara ingin gamblang dalam kongres diadakan Parisada Hindu Dharma. Kongres itu bertema “Umat Hindu dalam Repelita”. Di birokrasi, sulit masih belum terjawab dalam sebutan. Perubahan besar terjadi melalui Keputusan Presiden RI, No 39, Tahun 1969, Direktorat Djenderal Bimbingan Masjarakat Hindu Bali dan Buddha menjadi Direktorat Djenderal Bimbingan Masjarakat Hindu dan Buddha.
Di luar birokrasi dan hal-hal politis, Bali terus bergerak membuat arus sejarah mencengangkan tetap tercatat dalam studi-studi pelbagai kalangan intelektual di Indonesia, Eropa, dan Amerika Serikat. Kita mungkin terlalu serius bila membaca pelbagai hasil penelitian dalam beragam bahasa. Puisi bisa menjadi ingatan dan referensi. Pada 21 Mei 1976, Sitor Situmorang menggubah puisi berjudul “Toyabungkah”, puisi tak terlalu moncer tapi mengisahkan Bali pada masa Orde Baru keranjingan mengumumkan Bali itu pariwisata. Kita membaca: Dari perut bumi/ meruah desa Trunyan/ panggung upacara/ suku danau moyang// menyongsong kala baru/ dewi-dewi seberang/ naik perahu batang pohon// di sisik bulan// minum coca-cola/ sajen kaliyuga pariwisata/ di Puri Besakih. Kita membaca saja, tetap terpana Bali dengan sekian perubahan dalam arus sejarah, dari masa ke masa. Begitu.
Dimuat di Koran Sindo, 20 Desember 2020
Peresensi: Bandung Mawardi
BUKU ini menelusuri kembali konstruksi dialogis para intelektual Bali tentang apa itu ‘kebalian’. Kebalian dianggap sebagai pohon dengan akar agama, berbatang adat, dan berbuah budaya. Gerakan untuk m...View More
Menjaga atau Mereformasi Tradisi Bali
BUKU ini menelusuri kembali konstruksi dialogis para intelektual Bali tentang apa itu ‘kebalian’. Kebalian dianggap sebagai pohon dengan akar agama.
Seri EFEO – Kebalian: Konstruksi Dialogis Identita...
shared a photo
Tujuan penelitian ini adalah, pertama, untuk menjelaskan sejumlah alasan mengapa orang Bali menjadikan agama Hindu sebagai penanda diakritik “kebalian” mereka dan, kedua, untuk menguraikan berbagai pe...View More
Ini unggahan terakhir. Untuk kembali ke atas, klik:
https://siapabilang.com/buku-kebalian/wall/
Untuk kembali ke laman Karya, klik:
https://siapabilang.com/pages/category/1/karya
Seri EFEO – Kebalian: Konstruksi Dialogis Identitas Bali
Seri EFEO – Kebalian: Konstruksi Dialogis Identitas Bali. 1 like. SinopsisBUKU INI menelusuri kembali konstruksi dialogis dari apa yang oleh para intelektual Bali disebut sebagai “kebalian”, yan