Kepustakaan Populer Gramedia
posted a blog.
20 tahun Reformasi berlalu, beberapa sektor kehidupan mengalami perbaikan namun korupsi masih menggurita dari level pemerintahan pusat hingga desa. Kesenjangan pendapatan dan kekayaan tetap tinggi yang menjadi ancaman laten terhadap kikisnya rasa saling percaya di masyarakat yang berpotensi menggoyang kohesi masyarakat. Ini juga akan membuat masyarakat krisis kepercayaan terhadap demokrasi.
Tahun 1969, Soe Hok Gie, menulis para pejuang kemerdekaan yang kecewa kepada sebagian teman-teman seperjuangan mereka yang melakukan praktik kotor demi kekuasaan ketika kemerdekaan tercapai. “Perasaan dikhianati, ditipu, dan lain sebagainya, pada akhirnya melahirkan krisis kepemimpinan dan krisis kepercayaan pada generasi kemerdekaan ini, “ tulis Hok Gie (hlm vii).
Buku ini hadir agar hal serupa tidak terjadi di Era Reformasi ini. Ia mengingatkan bahwa Reformasi digapai dengan pengorbanan dan penderitaan yang diawali Krisis moneter Agustus 1997. Krisis ini dipicu lemahnya fondasi ekonomi Orde Baru akibat korupsi. Harga barang meroket. Soeharto dengan licik menaikkan anggaran RAPBN 1998-1999 hingga 32 persen. Banyak rakyat yang tidak kuat membeli kebutuhan pokok sehari-hari. Masyarakat banyak membuat telur mata sapi tanpa minyak goreng (hlm 55).
Per Februari 1998 demo menuntut lengsernya Presiden Soeharto mulai meluas. Mahasiswa turun jalan. Sayangnya, aksi militer merenggut banyak nyawa mahasiswa. Beberapa di antara mereka diculik. Ini menyulut keprihatinan sekaligus kemarahan. Beragam kerusuhan pun terjadi dan tidak terkendali. Paling parah di Jakarta.
Buku ini menjelaskan bahwa kerusuhan tersebut diikuti penjarahan, pembakaran, penganiayaan, serta pelecehan seksual. Suasana Jakarta tidak kondusif. Ekonomi Indonesia makin akut. Banyak investor asing tidak percaya lagi ke Indonesia karena stabilitas keamanan yang rendah (hlm 108).
Penulis: Penerbit Buku Kompas
Kategori: Nonfiksi, Referensi, Politik
Terbit: 20 Agustus 2018
Harga: Rp 70.000
Tebal: 264 halaman
Ukuran: 170 mm x 240 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024248604
ID KPG: 591801518
Usia: 13+
Bahasa: Indonesia
Penerbit: KPG
Warga keturunan Tionghoa menjadi incaran. Banyak dari mereka yang segera mengevakuasi diri ke luar negeri karena merasa terancam. Di antara mereka ada yang dianiaya dan dilecehkan secara seksual. Tidak terhitung rumah dan tempat usaha mereka yang dibakar. Buku ini juga merekam kisah Han, keturunan Tionghoa, yang selamat dari kerusuhan.
Han yang mendengar informasi bahwa banyak toko dibakar segera menutup show room mobilnya di Jakarta Barat. Sekelompok perusuh datang. Mereka berhasil membongkar pintu besi lalu menjarah dan membakar tokonya. Han bersama istri dan anak-anak bersembunyi di loteng selama lima jam dengan berjongkok. Beruntung api tidak mencapai loteng di lantai tiga. “Anak saya yang masih bayi, untung tidak menangis selama para penjarah menguras habis isi toko. Selamatlah kami, “ Tutur Han (hlm 121).
Jhosephine yang saat itu masih berumur 12 tahun mengingat kepanikan keluarganya. Untungnya beberapa tetangganya yang saat itu melakukan ronda berkata akan menjaga keselamatan keluarganya. “Kata-kata mereka itulah yang ternyata berpengaruh besar dalam pembentukan cara pandang dan harapanku terhadap Indonesia di kemudian hari,” katanya (hlm 125).
Mengapa warga keturunan yang menjadi ancaman? Menurut buku, ia tidak lain akibat kebijakan orde baru yang membedakan mereka dengan warga Indonesia yang lain. Dalam persoalan administratif, warga keturunan selalu dipersulit. Diskriminasi ini memantik intoleransi yang memuncak dalam kerusuhan tersebut.
Puncak kerusuhan tersebut yang akhirnya juga melengserkan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Ini bukan akhir segalanya. Krisis multidimensi negeri ini akut. Apa yang sudah tertanam dalam pikiran dan menjadi budaya selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa tidak mudah diubah. Buktinya, korupsi hingga saat ini masih marak terjadi. Persoalan pribumi dan non-pribumi kembali diungkit. Padahal Reformasi sudah satu generasi berlalu.
Buku yang diangkat dari liputan Kompas ini digenapi karikatur yang dibuat orang yang pernah mengalami langsung peristiwa Reformasi. Buku ini juga penting dibaca generasi milineal yang tidak menyaksikan peristiwa penting tersebut.
Peresensi: Habibullah, Alumnus Pascasarjana UIN Malang
Be the first person to like this.
Ini unggahan terakhir. Untuk kembali ke unggahan awal, klik:
https://siapabilang.com/buku-kita-hari-ini-20-tahun-lalu/wall/
Untuk kembali ke laman Karya, klik:
https://siapabilang.com/pages/category/...View More
Kita Hari Ini 20 Tahun Lalu
Kita Hari Ini 20 Tahun Lalu. 1 like. Sinopsis“Bu, saya mau berjuang bersama mahasiswa. Saya tidak ikut-ikutan. Saya benar-benar ingin memperjuangkan kebenaran bersama mahasiswa dan melihat jalannya