Melawan Korupsi
shared a photo
Perjalanan sejarah politik Indonesia dalam membangun sistem tata Kelola pemerintahan yang baik dan pemberantasan korupsi mengalami proses yang berliku-liku dan seringkali membuahkan hasil yang tidak t...View More
Be the first person to like this.
Kepustakaan Populer Gramedia
posted a blog.
Sepanjang sejarah, Indonesia terus bergulat dengan memerangi korupsi. Gelombang pasang dan surut melawan korupsi terjadi. Buku karya Vishnu Juwono ini beranjak dari keprihatinan yang mendalam atas mewabahnya korupsi di Indonesia. Korupsi dilihat bukan semata-mata permasalahan hukum, melainkan juga akibat cacatnya praktik politik bernegara.
Dalam menilik kecacatan itu, kacamata sejarah dipakai untuk memperbandingkan langkah-langkah dan kendala-kendala yang dihadapi setiap rezim atas maraknya korupsi. Juga mengapa rezim-rezim itu gagal melawan korupsi.
Tentu tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan setiap rezim—dalam rentang tahun 1945-2014—gagal melawan korupsi. Di situlah menariknya buku ini. Dengan memakai pendekatan pluralisme politik, korupsi dilihat sebagai buah dari persaingan antar-aktor politik dan atau antar-otoritas dalam pemerintahan untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Naik-turunnya aksi korupsi ditentukan oleh terkonsolidasi atau tidaknya demokrasi dalam setiap lintasan sejarah dari rezim-rezim itu.
Karena buku ini mengkaji kebijakan rezim yang dijalankan oleh para pemuncaknya, maka pengertian korupsi yang dipakai dalam buku ini adalah “penyalahgunaan jabatan publik berikut otoritas maupun sumber dayanya oleh para pejabat tinggi bersangkutan demi keuntungan pribadi, komersial, politik, ataupun keluarga” (hlm 9). Jadi bias diandaikan semakin besar korupsi, semakin besar pula kekuasaan yang menopangnya.
Pemberantasan korupsi
Tesisnya, ketika kekuasaan terpusat dan demokrasi lumpuh, Vishnu menguraikan tesis itu dengan menyorot rezim Soekarno dan Soeharto. Pemberantasan korupsi di era Soekarno menemui jalan buntu di kala aktor-aktor politik yang disebut sebagai “administrator” tersingkir dari gelanggang kekuasaan. Para “administrator” yang personifikasinya adalah Hatta dilihat Vishnu sebagai pembaru tata kelola pemerintahan yang menentang korupsi. Pesaingnya para “pembangkit solidaritas” dengan simbolnya Soekarno dengan dukungan massa permisif terhadap perilaku korup. Akibatnya seluruh upaya pemberantasan korupsi gagal karena kehilangan dukungan politik dari Soekarno.
Penulis: Vishnu Juwono
Editor: Ining
Kategori: Nonfiksi, Politik, Sejarah
Terbit: 29 Oktober 2018
Harga: Rp 100.000
Tebal: 462 halaman
Ukuran: 140 mm x 210 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024248703
ID KPG: 591801524
Bahasa: Indonesia
Usia: 15+
Penerbit: KPG
Sementara di era Soeharto, sedari awal, upaya pemberantasan korupsi sudah tidak tampak. Hal itu terjadi karena Soeharto dalam waktu yang singkat mampu melumpuhkan semua kekuatan politik penantangnya. Mahasiswa sebagai penantang potensial utama rezim dalam waktu singkat dipreteli dengan represi politisasi kampus. Bahkan, dia tidak memberikan ruang kepada semua kelompok oposisi.
Hasilnya adalah sumber daya politik dan keuangan untuk memberantas korupsi menjadi hilling. Makan segala agenda pemberantasan korupsi di era Soeharto sekadar menjadi agenda ad hoc. Sebab, Soeharto mampu mengkonsolidasikan seluruh otoritas ke tangannya sendiri. Semetara para teknokrat di dalam pemerintahan yang dianggap bias memberikan perlawanan berdasarkan keahliannya, tidak berkutik.
Agenda pemberantasan korupsi kembali bangkit ketika reformasi berkembang dan Soeharto tumbang pada tahun 1998. Namun, awal era reformasi adalah era yang tidak stabil. Konsolidasi politik dan konsolidasi para aktor politik belum terjadi. Sampai 2004 terjadi tiga kali pergantian presiden.
Selama enam tahun itu tentu ada reformasi tata kelola pemerintahan, mulai dari kebebasan pers. Kebebasan mendirikan partai, hingga perubahan konstitusi. Namun, hal itu belum cukup memperkokoh agenda memberantas korupsi. Gagalnya membawa Soeharto ke pengadilan adalah tandannya. Hal itu terjadi karena pertikaian politik dan persaingan berebut sumber daya Negara begitu kerasa dalam rangka memenangi pemilu 2004.
Agenda pemberantasan korupsi baru mulai berbentuk ketika Susilo Bambang Yudhoyono terpilih menjadi presiden melalui pemilihan langsung 2004. Bermodal capaian dari pemerintahan Megawati Soekarnoputri, yakni konstitusi yang lebih demokratis dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang lebih kuat, SBY tidak punya pilihan selain mendukung kehadiran KPK. Sekaligus SBY mampu mempertahankan laju kembang demokrasi. Agenda pemberantasan korupsi tidak lagi agenda ad hoc yang bias dikesampingkan oleh penguasa. Hasilnya beberapa pejabat tinggi dan strategis dalam pemerintahan SBY diseret KPK ke pengadilan dan dijatuhi hukuman berat.
Perlu dicatat, SBY menjalankan pemerintahan 10 tahun dengan stabil. Hail itu memangkas inefisiensi politik dan birokrasi. Namun, Vishnu memberikan catatan bahwa langkah maju era SBY dalam memberantas korupsi masih ditandai oleh kekurangan, ya itu belum berhasilnya SBY menyingkirkan sistem sosial-ekonomi dan politik yang menjadi sarang para koruptor.
Buku ini menarik karena menghadirkan argumen yang jarang dikemukakan para akademisi sebelumnya. Korupsi dilihat sebagai produk relasi kuasa antar-aktor politik. Maka pemberantasan korupsi tidak cukup dengan langkah hukum, juga langkah politik. Khususnya dukungan dari sosok pemimpin tertinggi pemerintahan. Makna kehadiran KPK sesungguhnya adalah kristalisasi dari kehendak terhadap perbaikan tata kelola pemerintahan, sekaligus komitmen kekuatan politik demokratis melawan korupsi.
Dalam buku ini terentang argumentasi bahwa ancaman utama agenda melawan korupsi adalah pemimpin yang lemah komitmennya atas agenda itu. Di samping itu, sistem politik terus memberikan ruang kelompok elite bernegosiasi atau menekan para pengambil kebijakan. Mereka terus-menerus bertindak layaknya predator terhadap pembaruan tata kelola pemerintahan antikorupsi.
Meskipun demikian, buku ini ditulis agak miskin argumentasi kultural. Akibatnya sistem politik dan aktor politik yang korup Indonesia itu dilihat seakan-akan lahir dari dunia yang tidak bersejarah. Bukankan elite politik dan elite birokrasi Indonesia adalah anak kandung budaya politik Indonesia seperti kebiasaan memberikan “upeti” dari kawula kepada majikannya di masa lampau.
Dengan memperhatikan budaya politik yang menghalalkan upeti itu, mungkin penulis buku ini bias terhindar dari argumentasi yang mengandaikan persaingan antar-aktor politik itu terjadi secara hitam putih. Sebab, semua actor politik di Indonesia berpotensi memiliki DNA Korupsi.
Dimuat di Harian Kompas, 4 Agustus 2019, Jendelah Halaman A.
Peresensi: Amiruddin al Rahab, Dosen Tetap Universitas Bhayangkara Jaya, Komisioner Komnas HAM.
Melawan Korupsi
shared a photo
Dalam memberantas kejahatan 'extra ordinary crime' bangsa Indonesia mengalami lika-liku yang begitu pelik. Dari era Kemerdekaan sampai saat ini, bangsa Indonesia terus berperang melawan tindak korupsi...View More
Ini unggahan terakhir. Untuk kembali ke atas, klik:
https://siapabilang.com/buku-melawan-korupsi/wall/
Untuk kembali ke laman Karya, klik:
https://siapabilang.com/pages/category/1/karya
Melawan Korupsi
Melawan Korupsi. 1 like. Sinopsis“Dr Vishnu Juwono berhasil menguraikan dengan gamblang sejarah pasang-surut pemberantasan korupsi di Indonesia yang dilakukan ‘setengah hati’ dan akhirnya padam