Kepustakaan Populer Gramedia
posted a blog.
INILAH buku yang menyajikan kebetulan-kebetulan dalam hidup yang ditulis dengan gaya bertutur ringan dan jenaka. Meski saya sendiri merasa bingung, buku ini termasuk ke dalam kategori kumpulan cerita pendek atau justru novel. Sebabnya setiap judul cerita dalam buku ini dapat berdiri sendiri, atau dengan kata lain dapat melepaskan diri dengan cerita sebelumnya maupun cerita sesudahnya. Namun jika kita membacanya secara terus-menerus, maka kita akan menemukan suatu korelasi yang semakin lama tampak semakin erat antar cerita satu sama lain. Saya tak berani mengklaim jika ini merupakan kebetulan, eksperimen atau justru teknik memang dipersiapkan dengan telaten oleh penulisnya.
Muhamad Wahyudi adalah lelaki kelahiran Medan yang namanya cukup mencuat belakangan ini. Dirinya ditemukan oleh Comma Books di antara ratusan peserta Seleksi Penulis Emerging Ubud Writers & Readers Festival 2018. Setelah ditemukan itulah buku ini bertakdir untuk terbit dengan judul “Serayu Malam”. Serayu merupakan nama kereta api dengan Jakarta-Purwokerto. Disebut Serayu Malam, sebab kereta api ini mengeluarkan tenaganya untuk perjalanan di malam hari. Buku ini berkisah berbagai peristiwa sekaligus hikmah yang terjadi dan dialami oleh Dirga, sang tokoh. Peristiwa-peristiwa itu berlangsung sejak dimulainya keberangkatan Dirga dari Stasiun Senen menuju pulang ke kampung halamannya, Sidareja.
Cerita dibuka dengan suasana senja yang riuh di selasar musala Stasiun Senen. Diawal buku ini, penulis tampaknya langsung menyeret emosi pembaca kepada permasalahan. Di senja yang riuh itu Dirga kehilangan sepatunya. Sepatu itu bukan sepatu biasa bagi Dirga. Bukan karena sepatu tersebut dapat membawanya terbang atau berpindah tempat dalam tempo singkat. Sepatu itu merupakan hadiah dari Arum, kekasihnya. Terlebih lagi harga sepatu itu 800 ribu rupiah. Bagi Dirga itu harga yang begitu malah untuk sepasang sepatu. Cerita selanjutnya—sebagaimana judul buku ini—tentu saja Dirga menaiki kereta Serayu Malam. Di seputaran tempat duduknya duduk orang-orang yang tak dikenalnya. Belakangan diketahuinya bernama Mustafa, Hasan Magrib dan perempuan bercodet beserta ayahnya. Nah, pada saat di dalam kereta inilah berbagai cerita peristiwa-peristiwa dituturkan. Peristiwa siapa, dan apa sajakah? Bukan, bukan. Sama-sekali bukan tentang Dirga, melainkan cerita atas peristiwa orang-orang yang duduk dekat Dirga dalam kereta malam itu.
Penulis: Muhamad Wahyudi
Editor: Udji
Kategori: Fiksi, Sastra, Puisi
Terbit: 24 September 2018
Harga: Rp 55.000
Tebal: 200 halaman
Ukuran: 115 mm x 175 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024810368
ID KPG: 591801557
Usia: 15+
Bahasa: Indonesia
Penerbit: Comma Books
Hasan magrib yang pertama diceritakan. Seorang yang dibantu kelahirannya oleh mahasiswa keperawatan yang nekat menjadi bidan-dadakan. Mahasiswa yang amat percaya diri itu ternyata benar-benar serius mengeluarkan Hasa Magrib untuk melihat dunia, dan menjadi masinis kereta setelah dewasa. Adapun perempuan bercodet itu bernama Sari. Ayahnya yang bermata cekung dan ikut bersamanya dalam perjalanan kereta itu ialah penjudi kelas berat. Pipi Sari Robek ketika serpihan logam yang entah dari mana datangnya menyambar pipinya. Itu semua terjadi saat Sari diajak ayahnya menyaksikan tinju, namun tiba-tibat digerebek oleh polisi karena terendus aroma judi.
Sementara Mustafa adalah pengusaha telur asin yang bangkrut. Pada cerita selanjutnya kita akan menemukan cerita bagaimana Mustafa bisa bangkrut, sekaligus bagaimana cara ia meneruskan hidupnya. Bila dicermati, cerita-cerita yang dikisahkan dalam buku ini berusaha menggambarkan bagaimana arah kehidupan itu amat sulit untuk diperkirakan. Harapan tentang kebahagiaan justru membawa kejatuhan yang menyakitkan. Namun orang-orang seperti mereka tak cukup mudah menyerah—apalagi menyerahkan diri mereka kepada kematian. Tidak. Mereka terus berupaya hidup meski dengan cara-cara tidak baik. Sebab mereka yakin: waktu bukanlah penunggu yang baik. Segala perasaan, baik sedih maupun senang, digilas hingga terlupa. (hal 130).
Walau demikian saya kira Muhamad Wahyudi tidak sedang memamerkan kemiskinan ataupun penderitaan belaka dalam cerita-ceritanya ini. Lebih dari sekedar itu, ia membawa kita kepada kenyataan hidup yang memang pahit, dan mau tak mau harus dijalani. Jalan yang ditempuh berbeda bagi setiap insan tentunya. Ada yang menempuh jalan lurus. Namun kebanyakan yang tak lurus, sebagaimana diceritakan perihal kepercayaan terhadap magis (ilmu hitam). Pada dua judul terakhir, terlukis gambaran bahwa kerasnya tuntutan hidup mendorong orang yang tidak kuat mental menuju ketidakwarasan. (hal 122). Ngepet (berubah menjadi babi) atau memelihara tujul adalah jalan keluar yang tidak waras tersebut. Kedua cara ini dilakukan orang-orang yang telah terlalu lama hidup dalam kemelaratan. Kedua cara ini dianggap solusi yang tepat sekaligus cepat untuk menjadi kaya. Pemikiran cermat Muhamad Wahyudi mengamat perilaku sosial masyarakatnya yang selama ini memang benar-benar ada.
Serayu Malam merekam setiap peristiwa itu menjadi cerita yang berkelindan sekaligus berkorelasi erat satu sama lain. Tokoh-tokoh dan berbagai kisah hidup yang melingkupinya tertinggal pada persoalannya sendiri. Sementara Serayu Malam terus dengan deru perjalanannya yang lelah membelah malam. Muhamad Wahydui telah menyimpan semua ke dalam buku putih-kecil ini.
Dimuat di Harian Waspada edisi, 23 Desember 2018
Peresensi: Muhammad Husein Heikal, esais/kolumnis
Be the first person to like this.
Ini unggahan terakhir. Untuk kembali ke atas, klik:
https://siapabilang.com/buku-serayu-malam/wall/
Untuk kembali ke laman Karya, klik:
https://siapabilang.com/pages/category/1/karya
Serayu Malam
Serayu Malam. 1 like. Sinopsis"Di setiap pemakaman, pasti ada saja nisan yang tak lagi dikunjungi siapa pun. Tak ada lagi yang peduli kisah hidup siapa yang ditanam di sana. Begitu pun di setiap