Kepustakaan Populer Gramedia
posted a blog.
Jurnal Prisma edisi September 1980, pernah membuat tema Politik Pangan: Mencari Pengganti Beras. Usia Republik masih cukup muda, masalah nyata harus diatasi: lapar dan kedaulatan pangan nasional. Tegak dan rontoknya suatu rezim sangat ditentukan oleh strategi kebijakan dan strategi memenuhi kebutuhan pangan. Di sini, beras masih dan tetap begitu kentara menjadi poros pangan pokok di Indonesia. John A. Dixon lewat tulisan “Sistem Makanan Pokok di Indonesia” mengatakan kebijakan pemerintah soal pangan terpusat pada beras yang berimbas pada cara masyarakat perdesaan dan perkotaan berkonsumsi. Beras sering merujuk pada kemapanan ekonomi.
Alternatif sumber kalori, seperti jagung atau umbi-umbian dianggap santapan jelata dalam kondisi jelata pula. Selain itu, memusatkan beras jelas mengancam keanekaragaman hayati (pangan). Persoalan agak klasik inilah yang turut dibentangkan Ahmad Arif dalam seri kedua seri pangan Nusantara, Sorgum: Benih Leluhur untuk Masa Depan (KPG, 2020) bersama dukungan Yayasan Keragaman Hayati Indonesia (KEHATI). Beberapa waktu ini, aneka pangan dan benih di luar padi mulai dimunculkan kembali terutama oleh solidaritas masyarakat.
Di beberapa wilayah Nusantara, persepsi kultural dan biologis pangan selalu dipondasi oleh mitologi dan pitutur (le)luhur. Kita mengingat kisah asal-usul padi dari pelbagai versi yang sebenarnya tidak hanya memusat pada beras, tapi juga aneka benih (jagung, jawawut, sorgum, mentimun, labu). Ahmad Arif membuka bukunya dengan kisah asal usul benih d Lamaholot, Flores Timur. Dikisahkan beragam benih berasal dari pengorbanan Tonu Wujo, satu-satunya perempuan dari 7 bersaudara. Tonu Wujo mengingatkan pada Dewi Sri di Jawa. Tradisi bertani Flores mengharuskan bertanam sorgum dulu. Yohanes Manue Hurit, tokoh adat Desa Ile, Lewolema, mengatakan “Kita belum bisa makan beras sebelum ada ritual makan sorgum. Jadi, sorgum harus tetap ada, walaupun kita sekarang sudah tanam padi. Kalau tidak tanam sorgum, tidak bisa panen padi (hlm.3).”
Data artefaktual berupa relief di Candi Borobudur digambarkan tanaman biji-bijian setinggi pohon pisang dengan malai menjuntai ke bawah. Tanaman ini lebih dimungkinkan sebagai sorgum, bukan jagung yang lebih lambat masuk ke Indonesia pada abad ke-16. Namun meski ditumbuhkan jauh sebelum kolonialisme Belanda dan turut dalam arus perhubungan etnis, silang budaya, dan perdagangan lewat kedatangan orang-orang India di Nusantara, lantas menapak Melayu, Jawa, dan Indonesia Timur, Indonesia tidak masuk 10 besar penghasil sorgum. Amerika Serikat menduduki peringkat pertama disusul Nigeria, Sudan, Etiopia, dan India. Data FAO 2006 mencatat meski dalam jumlah kecil Indonesia termasuk negeri pengimpor sorgum, lebih untuk pakan ternak daripada alternatif pangan manusianya.
Padahal, pelacakan lokal dilakukan Ahmad Arif, menandai bahwa pelbagai wilayah nusantara mengenal dan mempunya penyebutan masing-masing. Di Lamaholot-Flores bagian timur, sorgum disebut wata belolong (“jagung” tinggi) atau wata solor. Orang Sunda menyebut gandrung atau gandrum. Naskah klasik Jawa Serat Centhini pun menyebut canthel (sorgum).
Sorgum memang benih yang tua, setua peradaban manusia. Diperkirakan pertama dibudidayakan dan dikonsumsi sejak 8000 SM di Afrika, tanah asal manusia modern. Tersebar dan menempati posisi penting dalam kebudayaan, “Tak heran, tanaman ini mendapatkan banyak nama lokal. Di Afrika Barat, sorgum dinamakan great millet dan guinea, di Afrika Selatan disebut kafir, di Sudan diberi nama durra, dan di bagian timur Afrika disebut mtama (hlm.14)”
Penulis: Ahmad Arif
Editor: Candra Gautama, Galang Aji Putro
Kategori: Nonfiksi, Humaniora
Terbit: Mei 2020
Harga: Rp 85.000
Tebal: 163 halaman
Ukuran: 140 mm x 210 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024817303
ID KPG: 592001782
Usia: 15+
Bahasa: Indonesia
Penerbit: KPG
Bersendi pada Masyarakat
Sorgum sekalipun terlihat berangkat dari narasi keragaman lokal turut menjawab masalah global; kebutuhan pangan seiring pertumbuhan populasi, perubahan iklim, dan pelestarian keragaman benih. “Jika kita tidak mengonsumsi suatu pangan lokal, pangan itu akan hilang,” begitu kampanye pangan dari FAO dikuti oleh Titania Febrianti dalam “Berburu Benih” (National Geographic Indonesia, Mei 2015). Salah satunya gerakan Slow Food Indonesia mengampanyekan aksi melawan makanan cepat saji dengan pangan lokal. Termasuk anak-anak dikenalkan pada asal usul, penanam, geografis tanam, ikatan dengan kultur setempat, sampai pada rasa, tekstur, aroma. Di Indonesia dengan keragaman pangan, setiap provinsi perlu memiliki bank benih lokal, seperti ditegaskan Andreas Dwi Susanto, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI).
Ahmad Arif mencatat tindakan masyarakat sebagai sendi “mengembalikan” demi menjaga keragaman hayati sekaligus asupan nabati. Sorgum memiliki ciri morfologis yang toleran pada kekeringan sekaligus tahan genangan air. Gerakan kembali ke sorgum di Pulau Flores mencatat nama Maria Loretha dan suami, Jeremias D. Letor. Mereka pindah ke kampung halaman di Larantuka, Flores Timur, setahun setelah krisis 1998. Lorentha berburu benih, mulai menanam di kebun, mengampanyekan pada petani lain, dan berbagi cerita di forum-forum pangan. Aksi konsisten berdampak besar ini membuat Maria diganjar KEHATI Award pada 2011.
Dalam narasi “orang-orang biasa” mengabarkan pangan, selalu ada pihak yang represif atau juga negara tetap berkuasa dengan kebijakan impor. Politik pangan digerakkan oleh masyarakat bisa pemecah poros beras dan sekarang, gandum. Kita barangkali menyadari, beberapa tindakan kembali ke pangan lokal dan organik belakangan, sering disokong oleh suatu tren dan gaya hidup sehat. Semakin sehat, lokal, dan organik, justru semakin modern. Dulu, tren santap makanan berbahan gandum (roti dan mi) yang memasuki desa cenderung dipicu masyarakat kelas menengah ke atas. Sebaliknya, pergerakan sorgum justru diawali dari desa menuju ke kota yang lebih dekat dengan pusat kekuasaan. Politik pangan negara memang sangat berkuasa, tapi sebaran tren melokal bisa jadi terobosan tidak terduga. Di seri pangan Nusantara selanjutnya, Ahmad Arif berhak lebih mengulik pergerakan tren pangan lokal ini.
Peresensi: Setyaningsih, Esais dan penulis buku Kitab Cerita (2019)
Dimuat di: Suara Merdeka, 30 Agustus 2020
Be the first person to like this.
Jejaknya di Nusantara bisa ditemukan dari sebaran bahasa lokal sorgum di sekitar Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, hingga kepulauan Maluku. Di Jawa bisa dilac...View More
Pangan Lokal, Jalan Keluar dari Jebakan Krisis Pangan Halaman all - Kompas.com
Strategi pemenuhan pangan sudah saatnya kembali berbasis pada keberagaman ekologi dan budaya Nusantara.
Halaman all
Sorgum: Benih Leluhur untuk Masa Depan
shared a video
Pandemi Covid-19 telah membuka kelemahan fondasi pangan kita. Apakah keragaman pangan lokal bisa menjawab krisis itu? Bisakah sorgum menjadi alternatif?
Acara Zoom Diskusi Buku Sorgum: Benih Leluhur untuk Masa Depan
264 views
Video ini merupakan rekaman acara yang diselenggarakan Jumat, 22 Mei 2020, pkl. 15.00-17.00 WIB.
Pandemi Covid-19 telah membuka kelemahan fondasi pangan kita. Apakah keragaman pangan lokal bisa menjawab krisis itu? Bisakah sorgum menjadi alternatif?
Memperingati Hari Keanekaragaman Hayati, Penerbit KPG bekerjasama dengan Kehati menyenggarakan diskusi buku "Sorgum: Benih Leluhur untuk Masa Depan" karya penulis buku yang juga wartawan harian Kompas, Ahmad Arif dengan keynote speaker Bapak Emil Salim, pendiri dan pembina Yayasan Kehati dan pembicara Rony Megawanto (Direktur Program Yayasan Kehati), Mama Loretha (pemenang Kehati Award 2012, pendamping petani dari Yaspensel, NTT), dan Arum Ayu (generasi milenial, pegiat UMKM pangan lokal).
Sorgum: Benih Leluhur untuk Masa Depan
shared a photo
Buku ini menyajikan selayang pandang mengenai awal mula masuknya sorgum ke Nusantara, arti pentingnya, dan tantangan yang dihadapi. Baca sekilas buku ini secara gratis di icip-icip buku.
https://siap...View More
Penulis buku Sorgum: Benih Leluhur Untuk Masa Depan
https://siapabilang.com/penulis-ahmad-arif/
Ahmad Arif Info » Ahmad Arif
Ahmad Arif. 1 like. Ahmad Arif bekerja sebagai wartawan di harian Kompas sejak 2003. Dia menamatkan pendidikan di jurusan Teknik Arsitektur UGM dan Magister Sosiologi UI.Arif mendapatkan fellowship un
Ini unggahan terakhir. Untuk kembali ke atas, klik:
https://siapabilang.com/buku-sorgum-benih-leluhur/wall/
Untuk kembali ke laman Karya, klik:
https://siapabilang.com/pages/category/1/karya
Sorgum: Benih Leluhur untuk Masa Depan
Sorgum: Benih Leluhur untuk Masa Depan. 2 likes. SinopsisSorgum memiliki jejak kultural dan sejarah panjang, tetapi belakangan keberadaannya makin terpinggirkan. Di banyak desa di Flores, misalnya, ta