Sudah tuntas membaca Kosmos yang ditulis Carl Sagan? Tak lengkap rasanya bila tak melirik buku ini yang di dalamnya mengajak para pembaca menjelajahi antariksa dengan wahana berawak maupun nirawak serta menembus ruang waktu.
Pada lima bab awal, Sagan menyadarkan keberadaan manusia di bumi menggunakan paham chauvinisme dengan alur yang mengalir. Manusia terlalu angkuh menganggap dirinya sebagai peran utama di mahaluasnya Kosmos, bahwa ia adalah pusat dari segalanya.
Hal ini terus berlangsung sampai teori geosentris tergantikan oleh teori heliosentris. Bumi bukanlah satu-satunya planet, matahari bukanlah satu-satunya bintang, dan Bimasakti bukanlah satu-satunya galaksi. Mereka hanya segelintir kisah yang sedang menjalani hukum-hukum fisika sesuai dengan ritmenya. Perspektif soal dunia kemudian berubah. Dengan penemuan tersebut serta berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia ingin menjangkau bagian dunia luar lain yang sebelumnya tak pernah terjamah.
Buku ini mengupas tuntas berbagai wahana antariksa milik Amerika dan Uni Soviet beserta misi yang dibawanya seperti Sputnik 1, Vostok 1, Voyager 1 dan 2, Galileo, Venera, Mariner 1 dan 2, Magellan, Pioneer 12, Apollo, Cassini-Huygens, dan sebagainya. Penulis mengungkap cara kerja wahana tersebut, kendala-kendala yang dihadapi, penyebab kegagalan, anggaran dana, dan rekaman data yang didapatkan. Siapa sangka proyek Apollo dulu merupakan indikasi Perang Dingin Amerika dengan Uni Soviet? Kompetisi kedigdayaan yang meluaskan cakrawala.
Tiga bab terakhir menyinggung soal teraformasi yang mungkin bisa dilakukan di Mars, Venus, dan Titas dalam upaya menyeimbangkan kondisi atmosfer, suhu, serta kondisi geologi supaya layak huni. Program pencarian kehidupan cerdas seperti Search for Extra-Terrestrial Intelligence (SETI), Million-channel Extra-Terrestrial Assay (META), dan Billion-channel Extra-Terrestrial Assay (BETA) juga tak luput dibahas. Ditutup denga probabilitas kehidupan manusia yang nanti tersebar di Bimasakti.
Penulis: Carl Sagan
Penerjemah: Ratna Satyaningsih
Editor: Andya Primanda
Kategori: Nonfiksi, Sains
Terbit: 17 Februari 2021
Harga: Rp110.000
Tebal: 364 halaman
Ukuran: 150mm x 230mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024815370
ID KPG: 592101883
Usia: 15+
Bahasa: Indonesia
Penerbit: KPG
Pale Blue Dot memberikan segenap informasi baru kepada saya, sekaligus menyampaikan pesan spiritual dari sudut pandang sains. Imajinasi melayang ke antariksa; dunia yang jauh, tapi selalu mengundang ketertarikan itu.
Mungkin begini dulu bagaimana Farid Harja menuliskan hitnya, "Bercinta di Udara", yang kemudian juga konon menginspirasi Melancholic Bitch melahirkan "Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa".
Penuturan Sagan tidak jelimet sehingga mudah untuk memahami buku ini, meski pada beberapa bagian memang perlu dibaca ulang untuk mencerna apa yang dimaksud. Kualitas terjemahan Ratna Satyaningsih sangat oke. Kekurangannya hanya terletak pada hasil suntingan. Banyak sekali kata yang typo.
Saya merekomendasikan buku ini untuk orang-orang yang masih skeptis dengan misi wahana antariksa, yang masih menganggap misi-misi tersebut sebagai bualan belaka. Buku ini akan membuka perspektif pembaca dari yang semula ragu menjadi yakin terhadap bentuk kehidupan di luar bumi.
Benarkah Neil Armstrong, dkk pernah menapaki bulan atau itu sekadar teori konspirasi? Apakah International Space Station (ISS) betulan ada? Bagaimana kinerja wahana-wahana antariksa sehingga berhasil menjalankan misinya? Adakah kesempatan manusia untuk tinggal di sana?
Semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut terangkum dalam buku ini. Bersiaplah memandang titik biru pucat itu - rumah kita - di antara miliaran bintang. Dan, "menghilang" di dunia yang jauh itu, sebagaimana Melancholic Bitch:
Jalan pulang telah menghilang
Tertulis dan menghilang
Karena kita telah bercinta di luar angkasa
Jalan pulang telah menghilang
Tertulis dan menghilang
Karena kita, sebab kita telah bercinta di luar angkasa.
Dimuat di: Jawa Pos, Minggu, 4 April 2021
Peresensi: Monique Clariza (Mahasiswa Prodi S-1 Pendidikan Bahasa Jerman di Universitas Negeri Malang)
Be the first person to like this.
siapabilang.com
added new photo album "Main Bareng Rumah Main STrEAM: Eksperimen Mobil Te..."
siapabilang.com
added new photo album "Main Bareng Rumah Main STrEAM: Eksperimen Gelembun..."
siapabilang.com
added new photo album "Webinar Buka Buku KPG: How to Die"
siapabilang.com
added new photo album "Webinar Buka Buku KPG: Adam, Hawa dan Durian"
siapabilang.com
added new photo album "Webinar Buka Buku KPG: Wali Berandal Tanah Jawa"
Berikut adalah beberapa keseruan yang tertangkap oleh kamera dalam kegiatan Webinar Buka Buku KPG: Wali Berandal Tanah Jawa.
siapabilang.com
added new photo album "Icip-icip Buku Seri Nat Geo Apa Jadinya?"
Seberapa sering kamu berandai-andai, Bookmanias? Yuk, berangan-angan sepuasnya di buku “Seri National Geographic: Apa Jadinya?”.
Kenangan masa kecil memberi warna dan cerita. Ingatan perihal permainan, petualangan dan bersuka ria, tanpa harus memikirkan beban dan perkara hidup yang entah akan menimpanya dikemudian hari. Kesenangan dan keceriaan semasa kecil terekam gamblang dalam sketsa kehidupan setiap diri manusia.
Kenangan tentang memori masa kecil tersaji secara epik nan bijak dalam buku bertajuk Semasa Kecil di Kampung, garapan Muhamad Radjab. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1950. Menarasikan keluguan seorang bocah bernama Muhamad Radjab-dipanggil Rijal-yang kelak menjadi seorang jurnalis dan penerjemah ampuh. Dilahirkan di Sumpur, Padang Panjang, Radjab mengawali perlawanan hidupnya. Bagi sebagian orang, nama Muhamad Radjab kurang mendapat sorotan dan perhatian di dunia jurnalistik (pers) jika disejajarkan dengan Rosihan Anwar (1922), BM Diah (1917) maupun Tirto Adhi Soerjo (1880). Dalam buku ini, Radjab mengajak kita bernostalgia dan menerawang jauh perjalanan semasa kecilnya.
Penulis: Muhamad Radjab
Editor: Udji
Kategori: Nonfiksi, Memoar
Terbit: 25 November 2019
Harga: Rp 80.000
Tebal: 240 halaman
Ukuran: 140 mm x 210 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024812942
ID KPG: 591901724
Bahasa: Indonesia
Usia: 15+
Penerbit: KPG
Pada bab-bab awal, kita didongengkan Radjab perihal keindahan alam tanah Sumatra Barat. Dongengan mendemokan khayalan dan keasrian tanah kelahirannya, seperti lembah yang menghijau dan diantaranya ada dua jajar bukit barisan, yang membujur dari Utara ke Selatan, dan ditengahnya mengalir sungai Batang Sumpur (halaman 2).
Pendidikan dan Kritisisme. Proses pendidikan Radjab kecil ditempuh di lembaga pendidikan pesantren. Digembleng lewat kultur budaya pendidikan keagamaan yang kental. Masa-masa mondok di pesantren, bagi Radjab membuatnya (sedikit) jemu, bosan dan kehilangan waktu bermain bersama teman-temannya di rumah. Mengaji berjam-jam dengan melahap delapan kitab, setiap malam sampai larut malam dilaluinya selama menempuh pendidikan di pesantren (halaman 98). Buah keterampilan selama mengaji di pesantren, yaitu kekritisannya dalam berargumentasi tentang perkara keislaman.
Buku ini, tidak hanya menyoal perangai bocah kecil belaka. Di dalamnya tersirat pesan penting perihal tradisi, budaya, sejarah, pendidikan dan agama di tataran Minangkabau masa lampau. Dataran tinggi dan aliran sungai di Minang, menyimpan pelbagai macam peradaban panjang yang kemudian membentuk suatu entitias yang luhur.
Cerita-cerita kebudayaanpun tak luput dari sorotan Radjab dalam buku ini. pokok kebudayaan Minang ditulis dengan rasa bangga dan kejenakaan. Pembaca patut mengerti manakala Radjab sedikit sinis, terhadap suatu adat yang hanya dipisah oleh bukit tempat tinggalnya itu. Baginya adat ditempat itu dianggap mudzir dan memboroskan uang belaka tanpa faedah yang berarti. Seperti menyalakan mercon semalam suntuk hanya untuk beradu gengsi kekayaan dan keglamoran (halaman 186).
Pada dasarnya tuturan tokoh kondang semacam Radjab memberi warna dan nuansa nostalgia. Ingatan perihal masa silam, menuliskan latar belakang pendidikan, budaya, adat, dan sejarah. Buku ini pada dasarnya menyuguhkan tentang proses terbentuknya adat-adat Minang yang panjang. Muhamad Radjab, dibesarkan oleh lingkungan yang punya rentetan sejarah panjang pula. Buku ini penting. Ditulis dengan gaya khasnya, yaitu jurnalistik.
Dimuat di Harian Tribun Jateng
Peresensi: Oscar Maulana
Pada akhir tahun, orang-orang menunda atau membatalkan angan dan ingin pelesiran ke Bali. Wabah belum rampung. Bali mendingan terimajinasikan dengan sekian gubahan teks sastra atau melihat foto-foto mengisahkan Bali, dari masa ke masa. Bali boleh sepi, babak jeda setelah puluhan tahun selalu ramai gara-gara ribuan orang bergairah mengartikan waktu. Jeda berhak milik Bali sambil menggoda kita berpikiran (lagi) sejarah Bali mungkin memberi kejutan tak habis-habis.
Kita mau bergerak ke sejarah tapi mampir dulu ke buku berjudul Menggugat Bali (1986) garapan Putu Setia. Buku terbit saat Orde Baru makin tegak dan nalar pelesiran makin membesar bertaraf internasional. Bali itu pikat. Putu Setia, wartawan dan pengarang, mengalami masa kecil dan remaja di Bali. Pada suatu masa ia bekerja di Jogjakarta dan Jakarta, sebelum pulang kembali ke Bali bermisi religius. Ia mengaku: "Ketika saya meninggalkan Bali di akhir 1977, saya merasakan, saya banyak tahu tentang perjalanan pulau ini. Ada kecemasan yang saya bawa ke Pulau Jawa, tetapi lebih banyak ketidakcemasan yang saya taruh di Bali. Yang tak perlu saya cemaskan itu, alasannya, masyarakat Bali sejak dulu kala terbukti pandai menyaring, bagian mana kebudayaan luar yang bisa diserap, dan bagian mana yang tidak. Ada filter pengaman yang ampuh.” Tahun-tahun dialami di Jawa dengan sekian kesibukan tapi ia terus teringat dan memandang Bali.
Bali terbukti berubah! Gugatan demi gugatan diajukan atas nasib Bali. Pembelaan dan argumentasi terus diadakan mengacu sejarah, identitas, politik, seni, dan lain-lain. Putu Setia memberi kesaksian dan tanggapan, tak bermaksud menuntun pembaca menempuhi jalan sejarah tapi ada percik-percik mengingat masa lalu. Bali belum selesai dalam penulisan. Bali pun belum khatam “terbaca”. Pada 2020, kita mulai memasuki jalan sejarah dengan buku berjudul Kebalian: Konstruksi Dialogis Identitas Bali garapan Michel Picard. Kita tak tergesa menunduk “malu”. Puluhan buku babon bertema Bali tetap saja hasil riset para intelektual dari negeri-negeri asing.
Penulis: Michael Picard
Penerjemah: Feybe Mokoginta
Kategori: Nonfiksi, Sejarah, Sosial
Terbit: 10 Agustus 2020
Harga: Rp 85.000
Tebal: 398 halaman
Ukuran: 160 mm x 240 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024814250
ID KPG: 592001811
Usia: 15+
Bahasa: Indonesia
Penerbit: KPG
Anggapan mendasar bahwa orang Bali berlindung dalam idaman identitas. Pengibaratan sebagai pohon berakar “agama”, berbatang “adat”, dan berbuah “budaya”. Michel Picard meriset dan membahasakan tentang dorongan orang-orang Bali merumuskan identitas. Lacakan demi lacakan perlahan memberi penjelasan babak-babak perubahan di Bali. Berlatar 1920-an, terjelaskan kemunculan kaum terpelajar atau tamatan sekolah di Bali berdampak ke pendefinisian identitas berbarengan dengan kemunculan pengaruh besar Islam dan Kristen. Situasi itu menutut mereka “mengarifi kebalian sebagai identitas bertumpu sekaligus pada ‘agama’ dan ‘adat’.” Mereka hidup di pulau kecil, berumpama berada di “pulau kecil agama Hindu” dalam kepulauan besar agama Islam.
Di Bali, sejarah bergerak dengan kejutan-kejutan dan “kebingungan”. Dokumen atau buku-buku masa lalu terbaca, membedakan sumber-sumber pengaruh dan siasat Bali turut di arus sejarah. Kita diingatkan sejarah bertema agama. Pada 1866, misionaris Belanda bernama Rutger van Eck menetap di Buleleng, membuka sekolah. Ia melakukan riset dan penulisan artikel-artikel mengenai Bali: sejarah, bahasa, dan sastra. Dakwah dan studi serius dengan hasil: mengkristenkan satu orang Bali saja. Babak kemurungan itu turut menentukan sikap pemerintah Belanda dengan menutup akses misionaris ke Bali. Kebijakan-kebijakan lanjutan pemerintah kolonial “justru” menjadi sejenis sokongan atas pemaknaan kasta, agama, adat, dan budaya. Sekian hal menjadi kekhasan. “Belanda telah membantu menonjolkannya,” tulis Michel Picard.
Sejarah Bali tambah meriah pada abad XX. Pembentukan identitas makin “mengencang”. Peran pemerintah kolonial Belanda diimbuhi oleh para orientalis dalam melestarikan Bali sebagai "museum hidup". Studi-studi mengenai Bali bertambah, memikat para sarjana asing. Mereka berdatangan dan menjelaskan untuk dunia. Di luar hal-hal berkesan “formal”, sejarah Bali juga dipengaruhi kedatangan wisatawan dan seniman, tak ketinggalan para etnolog. Para pembaca buku-buku berat bisa mengingat studi Margareth Mead. Di lakon pariwisata, kita bisa membaca buku berjudul Pulau Bali: Temuan yang Menakjubkan (2013) susunan Miguel Covarrubias. Lelaki asing itu semula pelancong. Takjub melihat Bali bereferensi buku-buku panduan pariwisata dan album foto. Ia melakukan perjalanan panjang, bekeliling di pelbagai tempat di Bali, 1930-an. Semua itu dituliskan dalam buku telah dianggap klasik. Para seniman, pelancong, dan etnolog itu mengartikan Bali adalah “surga terakhir”.
Ironi terasakan di Bali akibat tatapan dan studi orang-orang asing. Kajian Bali cenderung terpahamkan dan milik orang-orang asing, menjelaskan ke orang-orang Bali atau Indonesia. Pada 1933, Michel Picard menemukan artikel mengandung sesalan bahwa orang Bali ingin mengetahui tradisi-kesenian mesti merujuk kajian para ahli asing. Hal mirip berlaku pula di Jawa. Kita mendapat informasi itu gara-gara publikasi studi berupa artikel dan buku mengenai Bali dalam bahasa-bahasa asing di Eropa semakin berlimpahan tapi cuma sedikit dalam bahasa Bali atau Indonesia. Situasi itu berbeda dengan perjalanan ditempuhi Putu Setia untuk menemukan (lagi) dan menuliskan seni-tradisi yang masih lestari di Bali. Perjalanan itu sempat dipicu oleh ledekan dan kecewa bahwa Bali terjerat komersial. Upacara adat dan seni Bali dituduh “bisa dijinakkan oleh dolar”.
Sejarah Bali merumit setelah berpisah dari lakon kolonial. Pada 1945-1949, Michel Picard menganggap ada rumit dalam masalah sifat agama di Bali pada tatapan formal-birokrasi Indonesia. Perdebatan-perdebatan berlangsung menambahi keseruan sejarah. Bali menjadi bagian Indonesia tapi menanggung pergolakan dalam memahami hubungan agama dan adat. Pergolakan berpengaruh atas identitas etnis dan religius. Michel Picard menulis: "Setelah kategori agama dan adat itu dibentuk, masalahnya tetap saja bagaimana membedakan keduanya dengan tegas, suatu masalah yang pelik dan tak terhindarkan karena keduanya secara bersamaan dianggap terlalu mirip dan mesti terpisah".
Sejarah bertambah masalah pada masa Orde Baru. Kebijakan-kebijakan Soeharto kadang memberi sulit dan dilema. Malapetaka 1965 berpengaruh besar dalam penentuan sikap: agama, adat, dan politik. Situasi tak menentu mengakibatkan keputusan-keputusan cepat. Michel Picard menjelaskan tiga organisasi resmi Hindu secara resmi berafiliasi dengan Golkar berlatar tatanan politik “baru”. Pada 1968, tergelar acara ingin gamblang dalam kongres diadakan Parisada Hindu Dharma. Kongres itu bertema “Umat Hindu dalam Repelita”. Di birokrasi, sulit masih belum terjawab dalam sebutan. Perubahan besar terjadi melalui Keputusan Presiden RI, No 39, Tahun 1969, Direktorat Djenderal Bimbingan Masjarakat Hindu Bali dan Buddha menjadi Direktorat Djenderal Bimbingan Masjarakat Hindu dan Buddha.
Di luar birokrasi dan hal-hal politis, Bali terus bergerak membuat arus sejarah mencengangkan tetap tercatat dalam studi-studi pelbagai kalangan intelektual di Indonesia, Eropa, dan Amerika Serikat. Kita mungkin terlalu serius bila membaca pelbagai hasil penelitian dalam beragam bahasa. Puisi bisa menjadi ingatan dan referensi. Pada 21 Mei 1976, Sitor Situmorang menggubah puisi berjudul “Toyabungkah”, puisi tak terlalu moncer tapi mengisahkan Bali pada masa Orde Baru keranjingan mengumumkan Bali itu pariwisata. Kita membaca: Dari perut bumi/ meruah desa Trunyan/ panggung upacara/ suku danau moyang// menyongsong kala baru/ dewi-dewi seberang/ naik perahu batang pohon// di sisik bulan// minum coca-cola/ sajen kaliyuga pariwisata/ di Puri Besakih. Kita membaca saja, tetap terpana Bali dengan sekian perubahan dalam arus sejarah, dari masa ke masa. Begitu.
Dimuat di Koran Sindo, 20 Desember 2020
Peresensi: Bandung Mawardi