Kembali menginjak hari kelahiran setelah melewati dua tahun pandemi, tak lain dari rasa syukur yang langsung terasa. Banyak yang ingin kami letakkan di belakang, tetapi ada pula yang ingin kami lanjutkan. Kerja sama, bela rasa, dan empati. Tiga inilah yang kami rasa menjadi semangat utama kami, juga kita semua bisa bertahan sejauh ini.
Sebagai penerbit, kami ingin terus menghidupkan api kerja sama, bela rasa, dan empati itu lewat apa yang menjadi kemampuan, keahlian, dan kecintaan kami: bekerja sama di, dari, dan untuk buku.
Buku belakangan memang dipandang sudah usang karena berbenturan dengan dunia digital. Pandemi mengajarkan, betapa digdaya kemajuan dunia digital. Meskipun tak bisa keluar rumah, kita tetap bisa menjelajah ke mana-mana, bahkan beberapa orang mengalami penjelajahan yang lebih luas daripada sebelumnya. Mau belanja bisa, mau beli makanan bisa, mau cari berita, baca buku, melihat negara lain, menonton film, ketemu artis, menyaksikan konser, semua bisa dari gawai saja. Bekalnya hanya paket data dan jaringan yang lancar.
Tetapi toh buku memang tak mesti dilawanhadapkan dengan digital. Betapa kita juga menikmati film, lagu, gim, atau aneka animasi lain yang berangkat dari buku, atau sebaliknya, dari media yang berbeda berujung pada buku. Ada kalanya, kita juga bertemu, berdiskusi, atau sekadar saling cuit atau senggol di dunia maya karena buku.
Semangatnya sama. Seperti jagat maya, buku ibarat ruang temu tanpa batas. Melalui buku, gagasan-gagasan bertemu. Rolf Dobelli di buku Stop Membaca Berita (KPG, 2021) menyebut pengalaman membaca menjadi semacam dialog mental singkat dengan penulis. “Jika saya secara bertahap membenamkan diri di dalam buku setelah memikirkan perenungan saya sendiri, maka saya dapat membandingkan gagasan penulis dengan gagasan saya,” tuturnya.
Samuel Ichiye Hayakawa, mantan senator Amerika Serikat pun menyebut buku sebagai ruang imajinasi dan menemukan jati diri seluas-luasnya. “Tidak benar bahwa kita hanya bisa hidup sekali; Jika kita membaca, kita bisa hidup sebanyak mungkin dan sebagaimana pun yang kita inginkan,” katanya. Senada dengan itu, Mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama meyakinkan bahwa membaca buku itu penting karena, “Jika kita tahu cara membaca, maka seluruh dunia akan terbuka untukmu.”
Begitulah kegemaran membaca buku telah mempertemukan kita, bukan? Maka, kata-kata yang mencuat di sini, sekali lagi, kerja sama, empati, dan bela rasa.
Mari bersama kita merayakan semangat kebaikan itu dan terus menemukan kebahagiaan melalui #bertemudibuku.
siapabilang.com
added new photo album "HUT 26 Tahun KPG"
Pada usia ke-26 tahun ini, KPG mengajak seluruh pembaca untuk bersyukur dan terus merayakan kebaikan, menemukan kebahagiaan dengan #BertemudiBuku.
siapabilang.com
posted a blog.
Asyik! Lebaran kali ini kita sudah bisa pulang kampung lagi dan temu kangen sama keluarga besar. Sayangnya, momen yang seharusnya menyenangkan ini bisa jadi menyebalkan kalau ada yang kepo menanyakan hal-hal yang sebenarnya terlalu sering ditanyakan dan jadinya menyebalkan. Bisa ditebak sendiri lah ya pertanyaannya. Nah, daripada kamu bete sendiri, Penerbit POP punya rekomendasi bacaan sebagai jurus jitu menghadapi acara keluarga selama Lebaran nih, Sobat Sibil.
1. Fresh Grad, karya Laili Muttamimah
"Kok skripsinya belum kelar-kelar? Kok sudah lulus tapi belum juga dapat kerjaan?" Mungkin cerita Sofia dan teman-temannya di Fresh Grad bisa membantu kamu lebih santai menghadapi pertanyaan serupa.
2. Kerja Selain Kantoran, karya Saenggang
"Kerja apaan tuh? Memang ada duitnya ya? Kok nggak ngantor aja?" Eits, mohon maaf, Om, Tante, kerja enggak harus selalu ngantor, lo. Tapi kalau kamu butuh back-up buat bantu jelasin keadaan profesional kamu, go grab Kerja Selain Kantoran at the nearest bookstore!
3. Bukannya Aku Nggak Mau Menikah, karya Lee Joo Yoon
"Kapan nikah? Kapan nyusul? Mana calonnya?" Pertanyaan sejenis ini seolah wajib hadir dan sulit ditepis ya, yeorobun. Engak apa-apa, hadapi saja dengan santai. Tak perlu panik. Kamu cukup baca buku Bukannya Aku Nggak Mau Menikah agar kamu siap menghadapi serangan serupa tiap acara kumpul bareng keluarga!
4. Cerita untuk Ayah, karya Candra Aditya
Kadang kesenjangan usia bikin kita rikuh berinteraksi, termasuk sama orangtua sendiri. Kita merasa enggak dipahami dan akibatnya hubungan kian hari jadi kian renggang. Nah, pertanyaannya adalah apakah kita sendiri sudah belajar memahami orangtua kita? Mumpung lagi Lebaran, mungkin ini saatnya kita memperbaiki hubungan sama orangtua dan kerabat tersayang, seperti yang dilakukan Elang di novel Cerita untuk Ayah.
5. Gmorning, Gnight!, karya Lin-Manuel Miranda dan Jonny Sun
Setelah berpuasa satu bulan lamanya, sayang banget kalau hari lebaran malah dihabiskan dengan ngedumel sendiri gara-gara faktor eksternal yang di luar kendali kita. Nah, makanya jangan lupa bawa Gmorning, Gnight! ke mana-mana, a gentle reminder yang bisa kamu baca kapan pun di mana pun, kapan pun kamu butuh suntikan kebahagiaan instan!
Penulis: Anida Nurrahmi
Sumber: Infografis di akun Instagram Penerbit POP berjudul Jangan Mudik Sebelum Baca Ini, 28 April 2022
siapabilang.com
shared a video
“Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api”, Pintu Menuju “Dunia Alternatif” Korea | Prakata #7
42 views
Pada masa ini, pamor produk kebudayaan (populer) Korea kian naik. Dari musik, serial drama, reality show, film, semuanya menembus pasar dunia. Belakangan, prosa fiksi Korea pun mulai diperhatikan khalayak. Novel-novel Korea banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia, dan diminati banyak pembaca. Lantas, bagaimana nasib dan kiprah puisi Korea?
Puisi Korea seakan tetap berada di wilayah “lain”. Pernyataan tersebut tidak sekadar bermakna ketersingkiran, tetapi juga berarti puisi memberi cara pandang berbeda tentang Korea, menjadi pintu masuk menuju sebuah dunia alternatif di balik ingar-bingar industri budaya populer Korea. Dalam konteks itulah kumpulan puisi Moon Changgil, “Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api”, hadir. Moon Changgil menulis puisi tentang petani, buruh pabrik, korban kekerasan militer, dan rakyat kecil pada umumnya. Ia menunjukkan pada kita kita berbagai sisi Korea secara nyata, dengan luka-luka sosial, politik, dan sejarahnya.
Moon Changgil lahir di Gimje, Provinsi Jeolla Utara, Korea Selatan. Penyair angkatan ‘80-an di Korea ini mulai menulis puisi pada 1984. Selain menulis, ia memimpin sejumlah media dan aktif di organisasi sastra di Korea. Ia memimpin kelompok Changjak21 sekaligus mengelola majalah sastra Changjak21 dan memimpin penerbit Dlkot. Di samping itu, ia bergabung dalam Konferensi Pengarang Korea, Perhimpunan Penyair Korea, Persatuan Pengarang Bangsa Korea, Lembaga Riset Kesusastraan Bangsa, Perhimpunan Pengarang Goyang, dan Solidaritas Sosial Masyarakat Demokrasi Goyang.
Info dan pemesanan buku klik di sini.
-----
pra.ka.ta
n. keterangan (uraian dan sebagainya) yang ditulis oleh penulis atau pengarang sebagai pengantar suatu karya tulis (buku, laporan, penelitian, dan sebagainya); mukadimah
siapabilang.com
shared a video
Jejak Listrik di Tanah Raja karya Eko Sulistyo, Komisaris PT PLN | Prakata #5
100 views
Solo yang remang menjadi benderang sejak listrik masuk pada awal abad ke-20. Ketika pertama kali ditemukan dan lampu-lampu menyala hanya dalam satu cetekan, masyarakat Solo menyambutnya dengan sukacita tapi juga takjub sampai-sampai menyebutnya sebagai lampu setan. Karena lampu-lampu itu bisa menyala terang dengan sendirinya tanpa sumbu, tanpa perlu terpicu hasil bakar minyak maupun diisi gas.
Sejarah kehadiran listrik di Surakarta dan sekitarnya bisa Bookmanias simak selengkapnya dalam buku Jejak Listrik di Tanah Raja: Listrik dan Kolonialisme di Surakarta 1901-1957 karya Eko Sulistyo.
Info dan pemesanan buku klik di sini.