Muhamad Radja tak hanya melaporkan kota-kota yang ia jelajahi, tapi juga merefleksikan fenomena-fenomena yang ia saksikan.
Bayangan jika Anda terlempar oleh mesin waktu ke wilayah Sumatera ketika Republik Indonesia baru berusia dua tahun. Anda akan dibawa pada kondisi pemerintahan Republik belum sepenuhnya tegak. Peperangan dengan tentara KNIL, yang hendak menguasai kembali wilayah Nusantara selepas kekalahan Jepang di Perang Dunia II, masih terjadi di mana-mana.
Di beberapa bagian wilayah, ada kondisi vacuum of power. Sebenarnya tidak vakum-vakum amat, karena kekuasaan politik formal yang belum lagi tegak digantikan oleh kehadiran laskar-laskar pemuda. Para laskar ini memanfaatkan kondisi peralihan kekuatan untuk mengambil alih kekuasaan. Mereka adalah remaja yang memegang senjata berapi ataupun senjata tajam, menjaga di jalan raya untuk memeriksa, atau mengorek sogok dari setiap kendaraan yang lewat.
Jangan tanya soal infrastruktur masa itu: Jalan berlubang dan berbatu-batu. Masih bagus jalan masih bisa dilewati kendaraan. Jika kendaraan mogok, bisa-bisa harus menginap di jalan yang kiri-kanan nya masih hutan lebat, ditambah dengan sengatan hangat para nyamuk hutan. Hujan, kelaparan di jalan, adalah beberapa tantangan yang harus dihadapi para penerobos hutan ini.
Itulah kondisi Sumatera yang dituliskan dalam buku Catatan di Sumatra karya Muhamad Radjab. Aslinya buku ini terbit pada 1949, dan diterbitkan ulang oleh Balai Pustaka (September 2018) dan kemudian oleh Kepustakaan Populer gramedia (2020).
Terbitnya kembali naskah ini menarik, karena kita diajak untuk menikmati harta karun literatur (terutama juga dari sisi catatan jurnalistik dari jurnalis pasca-kemerdekaan) terusik untuk melakukan perbandingan dengan kondisi hari ini. Penulisannya dilakukan secara naratif dan detail menggambarkan kota-kota yang disinggahi rombongan wartawan tersebut. Jadi, naskah ini enak sekali dibaca.
Selai naskah Catatan di Sumatera, ada dua buku Radjab lain yang juga diterbitkan ulang. Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838) dan Semasa Kecil di Kampung.
Muhamad Radjab adalah seorang wartawan kantor berita Antara kelahiran 1913. Dalam kata pengantar buku ini dikatakan, pada 14 Juni 1947, Radjab diutus Kementerian penerangan di Yogyakarta, bersama tiga wartawan lain, di bawah pimpinan “Tuan Parawah dan Harap” untuk menggambarkan kondisi di Sumatera. Perjalan ini memakan waktu hampir delapan bulan (berakhir pada 5 Februari 1948).
Radjab adalah alumnus Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia (nama sebelum Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) pada 1963. Namanya tercantum dalam daftar lulusan pada buku Pendidikan dan Perkembangan Komunikasi Massa Universitas Indonesia (1981), walau diberi catatan "Drs. M. Radjab (almarhum)”.
Radjab dalam buku ini tak semata melaporkan kota-kota yang ia jelajahi, lihat dan rasakan pergaulan dengan masyarakatnya. Ia pun mencatat seputar bagaimana benaknya berputar merefleksikan fenomena-fenomena yang ia saksikan. Radjab dan tim mulai berkelana dari Tanjung priok, naik ke kapal ke bangka, dan dari situ mereka menyusuri Sumatera Timur, Aceh, Tapanuli, Minangkabau, Jambi dan Riau.
Dari catatan perjalanan ini, Radjab menulis bahwa ia punya kekhawatiran besar masyarakat di Sumatera akan sangat tertinggal dibanding penduduk di Jawa karena banyak hal yang masih membatasinya: sarana transportasi yang belum memadai, pendidikan yang tertinggal;, ketiadaan guru dan masih kuatnya adat tradisional yang menghalangi kemajuan.
Radjab yang juga penikmat musik klasik dan doyan mengecap naskah-naskah filsafat serta sejarah, mencatat dengan sangat kritis, misalnya, tempat yang merupakan tanah asalnya, Sumatera Barat. Sebagai pembaca, kita mungkin membayangkan betapa kerinduan seorang Radjab akan ditumpahkan ketika ia mengunjungi kampung halaman yang telah lama ia tinggalkan. Ternyata Radjab tak melihat kampung halamannya dengan romantik-sentimental.
Saat tiba di Kota Padang Panjang, Radjab tajam menulis: “Alangkah asingnya kota ini di mata saya. heran, apakah saya yang berubah ataukah Padang Panjang yang berganti rupa…. Di sepanjang jalan dari Bukittinggi ke Padang Panjang, saya lihat kelaziman orang-orang Minangkabau yang belum berubah pakaian, tingkah laku, kebiasaan pergi ke pasar, berdagang, dan buah percakapan antara mereka sama saja dengan yang dulu. Keinsafan jadi warga negara merdeka belum mendalam pada mereka. Jiwa sebagian dari mereka tetap kuno, membeku….”
Di balik pesimismenya, Radjab menyimpan keinginan agar saah satu bagian dari republik ini segera merasakan kemerdekaan seutuhnya, dan kemerdekaan diharapkan memajukan masyarakatnya. Sumatera pulau yang indah dan kaya, harusnya tidak terttinggal jauh oleh Jawa.
Tentu saja pesismisme Radjab pada republik yang masih berusia balita tersebut tak bisa dibandingkan dengan kemajuan yang telah terjadi dalam tujuh dekade kemudian. Meski begitu, tetap saja Catatan di Sumatra ini akan menarik dan enak untuk dibaca kembali. Membca karya Radjab ini bisa menjadi suatu kilas balik, siapa tahu ada jurnalis di hari ini yang mau menapak ulang jejak Radjab dan mencatatkan kembali kemajuan dan ketidakmajuan apa yang sedang berlangsung setelah Republik berusia 75 tahun ini.
Peresensi: Ignatius Haryanto (Pengajar jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Tangerang)