Kepustakaan Populer Gramedia
by on July 6, 2022
123 views

Jakarta, 22 Juni 2022 — Dalam sejarah industri musik Indonesia, Jan Djuhana menjadi salah satu sosok yang tidak bisa diabaikan. Banyak lagu top yang sejak dulu hingga kini masih kita dengarkan tersaji berkat kepekaan dan kepiawaian Jan Djuhana.

Dengan telinganya, dia “menangkap” potensi berbagai penyanyi/band yang lagu-lagunya bakal disambut khalayak umum. Sebut saja nama band dan penyanyi kenamaan Indonesia yang tidak lepas dari insting “telinga tajam”-nya, seperti Dewa 19, KLa Project, Sheila on 7, Padi, Ratu, Cokelat, Glenn Fredly, Audy, Bondan & Fade2Black, dan banyak lagi.

Lewat buku Di Balik Bintang: Jan Djuhana dalam Industri Musik Indonesia, yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada Maret 2022, Jan Djuhana menceritakan pahit dan manis kariernya sejak 1970-an di balik dapur perekaman. Frans Sartono, dengan bantuan Herlambang Jaluardi, menuliskan kisah yang disampaikan Pak Jan, panggilan akrab Jan Djuhana, secara detail dalam buku itu. Dapat kita baca, misalnya, kehidupan awal dan masa kecil Pak Jan, usaha rintisan sebelum terjun ke industri musik hingga memiliki label perekaman sendiri, dan kisah pertemuan Pak Jan dengan banyak calon bintang.

 

Bersyukur pernah jadi anak band

Kecintaan Jan Djuhana terhadap seni bermula dari lingkungan keluarga. Kakeknya, Djoe Koet Tjin atau Yoe Tjoe Ping, adalah kolektor lukisan, guci, kaligrafi China, dan patung. Bung Karno bahkan sempat berkunjung ke kediaman keluarga besar mereka untuk menikmati koleksi benda-benda seni itu.

Terkait musik, Pak Jan menyebut bahwa dia tumbuh dengan lagu-lagu pop. Kegemarannya terhadap musik kian bertambah ketika dia beranjak remaja dengan tergabung dalam band. Pengalaman bermain band benar-benar berguna ketika pada akhirnya Pak Jan menjadi produser album rekaman. Dia mengaku dapat membaca kekuatan lagu baru sebelum dipasarkan ke publik.

“Lagu-lagu yang dimainkan di band itu juga melatih kepekaan saya dalam menghayati lagu-lagu. Saya tidak hanya sekadar menikmati lagu dari band-band atau penyanyi. Dengan bermain band, saya dapat lebih menghayati feel atau rasa, pesan, dan jiwa lagu,” ujar Pak Jan.

Lewat pengalaman tergabung dalam sebuah band pula Pak Jan bisa merasakan tingkat kesulitan lagu secara teknis. Karena itu, dia dapat menghargai usaha musisi dalam bermain musik. “Saya dapat menghayati jiwa lagu yang dimainkan sebuah band atau dibawakan penyanyi. Saya juga bisa memproyeksikan respons audiens jika mereka nanti mendengar suatu lagu,” ungkap Pak Jan

Setelah tidak aktif di band, Pak Jan mengurus toko perlengkapan rumah tangga di daerah Pancoran, Jakarta Barat. Di sana Pak Jan juga menjual kaset yang lagu-lagunya dia rekam sendiri dari piringan hitam ke pita kaset. Dari perekaman kaset itu, Pak Jan terlatih untuk membaca selera pasar. Ini salah satu yang menjadi modal dia kelak saat menjadi produser rekaman.

Seiring dengan maraknya usaha kaset rekaman, tanpa disadari toko perabotan itu lama-lama berubah menjadi toko kaset. Pada saat itulah Pak Jan mulai melihat masa depan di dunia rekaman, dengan membangun label musik bernama Angel Sound. Pada 1976, Pak Jan bergabung oleh Ronald Yo dari Saturn Record dan mulai serius merambah pasar yang lebih luas.  Namun sayang, beberapa tahun kemudian usaha Saturn harus berhenti karena satu dan lain hal.

Pak Jan kemudian membentuk Team Records bersama Harinata dari Top’s Records dan rekan Johnny Tjondrokusumo atau Onny yang memiliki saham di Prambors. Katalog Team Records sangat luas, dari pop, rock dengan segala jenisnya, jaz segala genre, funk, soul, country, dan sebagainya. Misalnya, Team punya The Doors untuk rock, Iron Maiden untuk heavy metal, ELP yang rock progresif, Otis Redding untuk soul, grup synth-pop Eurythmics, sampai musik country dari grup Alabama.

Ketika Team Records sedang berada di puncak, datang ujian dalam bisnis. Pemerintah melakukan imbauan pada masyarakat dunia perekaman nasional untuk tidak melakukan perekaman tanpa izin atas lagu-lagu ciptaan musisi luar negeri, terkhusus yang berasal dari negara-negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dan Amerika Serikat. Hal itu terjadi karena Indonesia telah mencapai kesepakatan mengenai perlindungan hak cipta perekaman bunyi dengan negara-negara itu. Kesepakatan tersebut mulai berlaku pada 1 Juni 1988.

Hikmah dari pelarangan itu, Team mulai memproduksi album artis Indonesia. Inilah yang menjadi fase paling fundamental keterlibatan dari Pak Jan untuk berkiprah di ranah industri musik tanah air.

 

Telinga tajam

“Pak Jan itu terbiasa bikin kompilasi hit lagu-lagu Barat sejak 1980-an. Itu adalah ‘Sekolah Tinggi Ilmu Lagu Hit’. Jadi secara tidak langsung, sudah sah Pak Jan jadi ‘doktor’ bidang lagu hit. Terbukti, ‘Kangen’ yang saya sendiri kurang suka, menjadi lagu hit sepanjang masa,” begitu Ahmad Dhani memberikan kesannya terhadap Jan Djuhana.

Eross Candra, gitaris Sheila on 7, menilai Pak Jan sebagai sosok yang unik. Bagi Eross, cara Pak Jan mendengar musik berbeda dengan yang dilakukan oleh kebanyakan orang. “Beliau mempunyai nalar atau sense yang unik terhadap sebuah lagu. Akurasi dalam menilai hook lagu adalah kelebihan atau gift beliau,” ujar Eross.

Pada 1998, banyak produser perekaman yang menolak demo Sheila on 7. Namun, berbeda cerita ketika Eros dan Adam Subarkah menemui Pak Jan. “Di antara produser yang menolak musik Sheila on 7, atau bahkan tidak mau menemui saya dan Adam, beliaulah satu-satuya produser atau artist and repertoire director yang bisa menangkap vibe musik Sheila on 7, tentunya juga berani mengambil risiko untuk Sheila on 7.”

Setelah tidak lagi berada di Sony Music dan Universal, sejak 13 Mei 2019 Jan Djuhana mengibarkan JD Records, label perekamannya sendiri. Lewat JD Records, dia berprinsip mengembangkan penyanyi atau band-band baru yang berpotensi dari berbagai daerah. Dia lebih fokus menggarap artis-artis baru, meski tetap terbuka untuk penyanyi atau band lama.

“Saya juga terbuka untuk segala genre musik, sejauh kuat unsur popnya. Kami punya artis dengan lagu pop, hiphop, nuansa jaz, pop punk, sampai keroncong. Yang penting, saya tertarik dan menganggap berpotensi untuk dikembangkan,” ujar Pak Jan.

 

Bersaing secara sehat

Tantowi Yahya memberikan kesaksian tentang betapa Pak Jan merupakan sosok yang memiliki totalitas dalam industri musik Indonesia. Hampir semua bidang dalam musik pernah digeluti Pak Jan, dari pemain band, distributor, produser, sampai peretail. “Dia begitu mencintai industri musik meski harus melalui banyak pasang surut…. Ini membuatnya menjadi figur paripurna,” ujar Tantowi.

“Ketika saya mempunyai label kecil bernama Ceepee Production dan Pak Jan sudah di Sony Music, saya tidak pernah khawatir penyanyi/grup yang diorbitkan Ceepee akan dibajak oleh Sony. Artis-artis yang diorbitkan oleh Pak Jan hampir semuanya pendatang baru, yang lewat polesannya kemudian menjadi superstar,” Tantowi menambahkan.

Kesaksian Tantowi Yahya itu sejalan dengan apa yang dikatakan Sutanto Hartono, Direktur Utama Emtek dan CEO Surya Citra Media. Bagi Sutanto, yang merupakan Pendiri dan Direktur Utama pertama Sony Music Indonesia, Pak Jan adalah sosok yang mau merangkul semua kalangan. “Pak Jan selalu rajin menjaga hubungan ke semua kalangan pelaku industri musik…. Pak Jan menjadi sosok mentor kami yang senantiasa sangat ringan tangan untuk membagi berbagai ilmunya ke semua orang,” ucap Sutanto.

 


Untuk informasi lebih lanjut:

Alcia, PR Gramedia (+6287878000452)

Posted in: Press Release
Be the first person to like this.