MUMAMMAD YAMIN merupakan tokoh dari Sumatera mengejar karir sebagai politikus beserta dipelopori sastra pertama di era modern. Melalui buku ini mengulas tentang kehidupan M. Yamin dari kecil di tanah minang, perpindahannya ke Jawa bertujuan untuk mengejar sekolah, karir organisasi sampai politik, kehidupan keluarga, proses perumusan undang-undang dasar dan lambang negara, hingga hari wafat, dan juga peninggalan-peninggalan yang kini dimuseumkan oleh pemerintah. Kehidupan M. Yamin yang penuh kontroversi karena kasus salinan naskah UUD 1945 dalam buku Naskah persiapan Undang-Undang Dasar 1945 serta kontroversi mengenai penggambaran wajah gajah mada yang digunakan masyarakat luas hingga saat ini. Namun dibalik segala kontroversi dalam kehidupan M. Yamin, beliau merupakan negarawan besar yang memberikan sumbangsih yang banyak terhadap Indonesia. Selain itu M. Yamin memang jago menulis dan menerjemahkan buku yang memuat kisah majapahit. Berikut ini beberapa poin dari kisah yang diperoleh dari buku ini.
M. Yamin lahir di Sumatera, dalam keseharian Yamin membaca teks apa saja, bahkan koran bekas pembungkus makanan sekalipun. Kegemaran membaca itu membuat ia menguasai kaidah bahasa. Tak mengherankan kalau penguasaan bahasa Melayu amin di atas rata-rata. Bahkan ia sering membantu Yaman memeriksa pekerjaan pekerjaan rumah pelajaran bahasa murid-murid yang dibawa pulang ke rumah (hal 48). Dengan hidup berpindah-pindah, justru ia banyak melihat dunia. M. Yamin bergabung dalam organisasi politik Jong Sumateran yang mendatangkan anggota dari Sumatera. Restu Gunawan, penulis biografi mengatakan, pada periode tersebut, pengaruh Yamin semakin penting di Jong Sumateran. Dia juga berpengaruh dalam Kongres Pemuda I dan II. restu mencatat fase penting ketika Yamin menolak peleburan organisasi kepemudaan menjelang Kongres Pemuda II, 1928. Mulanya tidak setuju terhadap ide penggabungan lembaga kepemudaan dan mengusulkan pembentukan federasi organisasi pemuda (hal 76).
Yamin pada mulanya bergabung dengan partindo, yang lahir setelah partai Nasional Indonesia (PNI) dibubarkan pada 25 April 1931. Partai ini didirikan oleh Sartono, bekas pemimpin PNI. Restu menyebut Yamin sebagai bentuk pragmatisme. Sedangkan Restu menilai aksi Yamin menggambarkan kecerdasan dalam mengambil langkah politik. Masuknya Yamin ke Volksraad bukan sebagai utusan Gerindo membuat pimpinan Gerindo meradang. Ia diberi opsi: menolak keinginan rakyat Minangkabau dan tetap menjadi pemimpin partai atau bertahan di Volksraad tapi keluar dari Gerindo.
Berikutnya Yamin menguraikan gagasannya tentang dasar negara. Pimpinan sidang menganggap apa yang disampaikan Yamin bukanlah dasar negara, melainkan tentang terbentuknya Indonesia Merdeka. Dalam pidatonya, ia juga menyebut melampirkan rancangan undang-undang dasar, yang ternyata tidak tercatat dalam notulen rapat. Muhammad Jengkel terhadap sikap Yakim. Ketika terjadi perdebatan panas antara kelompok Islam dan nasionalis mengenai dasar negara, Hatta mengatakan bahwa Yamin hanya mondar-mandir (hal 108). Ia menilai M. Yamin sebagai sosok yang paling licik.
Saking cintanya dengan Indonesia sudah dimulai sejak beliau masih usia dini. Sajak-sajak yang sebelumnya bertemakan persatuan kedaerahan akhirnya berubah menjadi persatuan Indonesia. Sosok pahlawan yang tergila-gila dengan kebudayaan Jawa ini, mengalami pengalaman politik yang berliku-liku. Yamin telah menjabat mulai dari Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan dan Menteri Kehakiman, hingga masuk ke dalam penjara pernah ia lalui. Kiprahnya dalam pengabdian untuk Indonesia sangatlah besar, perguruan tinggi keguruan pertama di Indonesia (yang belakangan menjadi IKIP) adalah gagasan beliau. Usulan dasar negara juga bahasa persatuan adalah hasil karya beliau. Dalam dunia sastra, peran besar beliau adalah dengan memperkenalkan soneta pada dunia sastra Indonesia.
Saat menjadi sastrawan Indonesia lain tergila-gila dengan kesusastraan Indonesia, beliau memilih jalan lain dengan mempelajari romantisme sastra eropa. M. Yamin wafat di Jakarta, 17 Oktober 1962 atau berusia 59 tahun. Sisi penilaian dari ulasan buku ini adalah selalu membuat bahasa paling berat lalu bisa dipahami sebagai bagian dari sejarah.
Peresensi: M. Ivan Aulia Rokhman, mahasiswa Universitas Dr. Soetomo Surabaya.