Hingga sekarang, ungkapan true love last forever atau cinta sejati akan abadi selamanya masih dipegang teguh kaula muda. Mereka berusaha mencari calon pasangan yang dianggap cinta sejatinya. Dianggapnya cinta sejati adalah wujud jadi. Tinggal mencari di mana ia bersemayam, mendekatinya, meminangnya dan seterusnya. Lalu mereka akan merasakan pertautan cinta yang tidak akan pudar.
Ini kesalahpahaman fatal, ia beresiko pada maraknya hubungan seksual ilegal di luar pernikahan ataupun juga berdampak pada rapuhnya pernikahan. Atas nama cinta sejati yang banyak kaula muda yakini – sebagian besar distimulasi euphoria kasmaran berlebihan -, mereka gelap mata bahwa mereka beum mengenal utuh pasangan mereka. Mereka nekat melakukan apapun agar cinta sejati mereka tidak pergi. Bagi yang sudah di jenjang pernikahan, tiba-tiba heran atas ketidakcocokan yang terjadi karena yang sejak awal yakin cinta sejati itu pasti sempurna.
Buku ini menjelaskan hakikat cinta sejati dari perspektif psikologi. Rosalina Verauli, penulis buku ini, adalah psikologi. Selama belasan tahun dia memandu talkshow tentang cinta sejati di televisi sekaligus membuka klinik konsultasi. Hasil bacaan dan kajiannya selama ini membawanya pada satu kesimpulan bahwa gambaran cinta sejati seperti di atas tidak ada. Itu mitos. “Yang ada hanyalah kisah cinta yang butuh diusahakan agar bertahan selamanya. Saat cinta tersebut bertahan selamanya, maka cinta tersebut adalah cinta sejati,” katanya (hlm 4).
Cinta sejati ada di cerita akhir, baru ditemukan ketika pasangan bisa bertahan hingga mati, kisah indah di awal pertemuan bukan tanda cinta itu sejati. Bisa jadi cinta penuh duka berubah menjadi cinta sejati jika masing-masing pasangan bisa bertahan melalui ketidakcocokan, konflik dan beragam tantangan lainnya.
Menurut Robert Sternberg, cinta sejati dibangun di atas tidak fondasi: intimacy, desire, dan commitment. Intimacy menunjukkan keterhubungan emosional sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan. Selalu ingin get connected. Jika bersama keduanya mereka asyik dan sangat akrab. Keakraban ini juga didorong desire atau dorongan seksual. Di sini perlu pengetahuan tentang fungsi seksual sehingga ia tidak disalahgunakan. Maka ia harus dibentengi dengan commitment agar keakraban dan dorongan seksual tersebut berlanjut hingga jenjang pernikahan.
Ketika menikah, ketiga elemen itu terus mesti dirawat. Satu tidak ada, maka akan mendatangkan respons negatif dari pasangannya. Kebosanan dalam pernikahan karena suasana tidak romantis lagi, performance pasangan tidak lagi dirawat sehingga tidak bisa memancing desire. Ataupun paling fatal, commitment terkikis seiring perjalanan waktu. Inilah yang sering terjadi.
Buku ini tidak hanya menyajikan teori, tapi juga kisah-kisah di balik klinik yang dia asuh. Dia juga mengisahkan kisah cintanya. Ini menarik disimak karena sejak awal, hubungan asaramanya. Terjal dia orang Batak beragama Islam sementara pasangannya adalah Tionghoa beragama Buddha. Di Indonesia, beda suka saja suit menikah, apalagi beda ras dan agama. Namun karena kuatnya komitmen, akhir keduanya bertahan hingga saat ini.
Puluhan kisah-kisah tersebut dibedah dari sudut kajian psikologis. Pembaca bisa melihat secara riil personal cinta yang dialami banyak orang. Mungkin sebagian kisah tersebut sesuai dengan persoalan yang sedang pembaca hadapi. Buku ini juga menyajikan uraian persoalan dan solusinya secara ilmiah.
Peresensi: Lailatul Qadariyah, Alumnus Universitas Trunojoyo Bangkalan.