Kepustakaan Populer Gramedia
by on August 18, 2020
376 views

PADA 28 April 1949 pukul 14.30 WIB, Chairil Anwar meninggal dunia di Rumah Sakit Centrale Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ) atau sekarang lebih dikenal Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Chairil yang mati muda meninggalkan warisan materi bagi istrinya, Hapsah, berupa satu ons gula merah, sepasang sepatu dan kaos hitam, selembar uang rupiah, dan satu map berisi bundelan sajak dalam tulisan tangan. Tinggalan material tampak tak berharga dan gampang terlupakan orang. Namun tinggalan 70 sajak asli, 4 sajak saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli dan 4 prosa terjemahan dari si Binatang Jalang membuatnya lekat dalam ingatan masyarakat sastra Indonesia, sampai sekarang. 

Penerbitan buku Chairil Anwar: Bagimu Negeri Menyediakan Api (2017) menjadi bukti bahwa pengisahan biografi Chairil belum usai. Sesungguhnya telah ada beberapa buku biografi Chairil yang lebih dulu terbit. Ada Chairil Anwar: Pelopor Angkatan’45 (HB Jassin, 1956); Hari-Hari Akhir Si Penyair (Nasja Djamin, 1982); Rumah Tersembunyi Chairil Anwar (Damiri Mahmud, 2015); Chairil Anwar (Damiri Mahmud, 2015); Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (Arief Budiman, 1976); Chairil Anwar: Sebuah Biografi (Hasan Aspahani, 2016). Daftar ini belum termasuk artikel-artikel, esai, makalah, karya ilmiah, kuliah umum tentang Chairil maupun karya-karyanya yang bertebaran di sana-sini. 

Buku Chairil Anwar: Bagimu Negeri Menyediakan Api menjadi berbeda sebab penelusuran perjalanan hidup Chairil dimulai dari tempat-tempat yang pernah disinggahi sang penyair. Kisah Chairil kecil dilacak di sebuah lahan kosong berpagar seng yang sudah karatan di Jalan Mutia, Medan. Di lahan kosong itu, dulu sebelum 1999 berdiri gedung SMP 1 Medan yang merupakan pewaris gedung Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), tempat bersekolahnya Chairil. Kecintaan Chairil pada dunia literasi sudah tampak pada masa itu. Dalam sebuah perkumpulan pelajar (Inheemse Jeugd Organisatie) di Meda pada 1937, Jassin menemukan nama Chairil terpampang sebagai pengurus majalah dinding Ons MULO Blad. Pertemuan kali pertama antara Jassin dan Chairil waktu itu tak disadari kedua nya, sampai pada akhirnya mereka menjadi tokoh besar dalam sejarah kesusastraan Indonesia. 
 

Penulis: Redaksi Tempo
Editor: Galang
Kategori: NonfiksiHumanioraSejarahBiografiSeri Tempo
Terbit: 3 Oktober 2016
Harga: Rp 60.000
Tebal: 164 halaman
Ukuran: 160 mm x 230 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024241889
ID KPG: 591601263
Bahasa: Indonesia
Usia: 15+
Penerbit: KPG


Prahara keluarga di Medan memastikan keluarga Chairil tercerai berai. Ayahnya menikah lagi. Chairil dan Ibunya, Saleha, pindah ke Jakarta pada 1941. Mereka menumpang di rumah Sutan Sjahrir di jalan Dambrink, Menteng. Chairil adalah keponakan Sjahrir. Sekian tahun berlalu, Sjahrir pindah. Nama jalan Dambrink pun berubah menjadi jalan Latuharhary. Sekarang rumah itu menjadi kantor firma hukum Elza Syarief dan rekan. Keberadaan Chairil dalam lingkaran Sjahrir membuatnya jadi mengenal banyak tokoh pergerakan dan para wartawan. Boleh jadi di rumah inilah nasionalisme Chairil untuk mendukung kemerdekaan Indonesia semakin terpupuk. Tempat lain yang paling sering disinggahi Chairil adalah sanggar pelukis Affandi di Taman Siswa. Sanggar itu dulu beralamat di jalan Garuda (atau jalan Jawa 28A), Kemayoran, sekarang alamatnya berubah menjadi jalan HOS Cokroaminoto. Di rumah ini, Chairil bisa makan, minum, tidur, pulang pergi sesuka hatinya. Kedekatannya dengan keluarga Affandi bahkan membuat Chairil punya duplikat kunci rumah Affandi. Kepada Affandi, Chairil mempersembahkan dua buah puisi berjudul Kepada Pelukis Affandi dan “Betina”-nya Affandi. 

Tahun ini, 68 tahun sudah, Chairil meninggalkan kita. Pembaca yang ingin menziarahi atau napak tilas sang Pelopor Angkatan 45 ini bisa menjadikan buku Chairil Anwar: Bagimu Negeri Menyediakan Api sebagai petunjuk. Sebab, tak sekadar menyajikan narasi-narasi biografi Chairil, buku ini juga menyediakan jejak-jejak Chairil di pelbagai kota, seperti Medan, Jakarta, Yogyakarta, dan Malang yang ditelisik secara menarik dalam sistem kerja jurnalistik. 


Peresensi: Hanputro Widyono, Mahasiswa Sastra Indonesia, UNS

Posted in: Ulasan
Be the first person to like this.