Kepustakaan Populer Gramedia
by on January 4, 2021
482 views

Wacana untuk membuka kembali sekolah-sekolah di Indonesia atau pembelajaran tatap muka (PTM) mulai digulirkan. Berdasarkan Keputusan Bersama Menteri (lihat di sini), sekolah mulai dapat dibuka pada awal 2021 dengan memperhatikan banyak hal. Para menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri, menyampaikan hal ini dalam acara “Pengumuman Penyelenggaraan Pembelajaran Semester Genap TA 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 20 November 2020 pukul 13.30 WIB (saksikan di video ini).

     Semua pihak mengungkapkan bahwa belajar dari rumah memang sulit bagi banyak siswa. Ada sekitar 68 juta siswa sekolah dari sekitar 646.000 institusi pendidikan di Indonesia yang terkena dampak Covid-19. Dampak yang dialami berbeda-beda, bahkan termasuk kekerasan di dalam rumah. Kementerian Pendidikan menyampaikan bahwa melalui pembelajaran jarak jauh (PJJ) hanya unsur ilmu pengetahuan (knowledge) yang didapat oleh siswa, namun keterampilan (skills), sikap atau perilaku (attitude), dan nilai-nilai sosial (social values) menghilang dalam proses pembelajaran, padahal ini amat penting bagi siswa sekolah.

     Dalam catatan ini saya bermaksud memberikan sumbangan pemikiran untuk persiapan PTM dengan melihat praktik-praktik sekolah di beberapa negara manca selama pandemi Covid-19. Saya mengikuti secara langsung praktik yang dijalankan di Finlandia, tempat saya tinggal saat ini. Sementara praktik PTM di negara lain saya ketahui dari teman-teman yang memiliki anak yang bersekolah di Eropa (Inggris, Belanda, Denmark, Italia, Prancis), Amerika Serikat, Tiongkok, dan India.

     Mematuhi protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19 (menjaga jarak, rajin mencuci tangan, memakai masker, dll.) tentu tidak boleh ditawar. Perlu diingat juga bahwa risiko infeksi korona meningkat juga tidak kecil. Maka, jajaran kesehatan haruslah siap. Pihak kesehatan harus siaga! Kembali ke sekolah dengan kebiasaan baru saja tidak cukup, harus ada mekanisme tanggap darurat apabila terdeteksi kasus korona. Contoh-contoh berikut dapat dijadikan acuan.

 

Belajar dari Finlandia

     Di Finlandia, siswa sekolah dasar hanya mengalami pembelajaran dari rumah selama dua bulan. Sejak pertengahan Mei, anak-anak sekolah dasar kembali ke sekolah dengan protokol kesehatan yang ketat.

     Pemerintah mengambil keputusan berdasarkan data riset atau penelitian bahwa Covid-19 banyak menimpa orang dewasa di atas usia 25 tahun, dinilai bahwa dampak untuk anak-anak sekolah dasar lebih kecil dan angka kesembuhannya lebih cepat. Pemerintah memberikan amanat kembali membuka sekolah untuk sekolah dasar, siswa di bawah usia 15 tahun diperbolehkan untuk tidak memakai masker (tapi mohon diingat bahwa kepadatan penduduk Finlandia sangat berbeda dengan Indonesia, 18 orang per kilometer persegi berbanding 151 orang per kilometer persegi berdasar data Worldometer). Perencanaan secara mendetail tentu dilakukan oleh pihak sekolah sendiri, dengan memperhatikan data dan arahan dari pemerintah daerah.

     Secara umum, masyarakat di negara kecil Finlandia, yang memiliki populasi sekitar 5,5 juta ini, taat terhadap arahan pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19. Sejak awal pemerintah mendelegasikan wewenang kebijakan mitigasi pandemi ini ke Lembaga Kesehatan dan Kesejahteraan Finlandia (THL), yang kemudian terus memberikan data terbaru mengenai perkembangan situasi secara nasional dan tiap daerah (bisa dilihat di sini). Inilah satgas Covid-19 di Finlandia, data dan informasi dari lembaga ini sangat jelas dan membantu masyarakat secara langsung.

     Warga Finlandia juga dikenal taat menjaga jarak dan hanya berkumpul atau bertemu apabila perlu, sehingga saat THL memberikan arahan kepada warga agar melakukan karantina mandiri selama 14 hari setelah bepergian dari luar negeri, atau saat siswa harus karantina karena seseorang di kelasnya atau di kelompoknya terdeteksi kena virus korona, para warga atau siswa akan taat untuk melakukan karantina di rumah selama 10 hari, dan tetap taat walau tes koronanya negatif. Siswa boleh masuk sekolah apabila sehat; apabila flu, walaupun cuma kena gejala ringan, lebih baik siswa belajar di rumah. Tidak ada pemeriksaan dengan termometer misalnya, karena rasa kepercayaan yang tinggi akan tugas dan peran masing-masing. Berita nasional pun amat terpercaya (bisa disimak di sini).

     Selain itu ada juga inovasi dari Finlandia untuk menggunakan aplikasi Penanda Korona (Koronavilkku) untuk mengetahui paparan yang potensial dialami seseorang; yang menarik, aplikasi ini menjaga kerahasiaan/anonimitas pengguna. Sebanyak dua juta warga menggunakan aplikasi ini di telepon genggam mereka.

     Apa yang khas dan mungkin bisa diadaptasi atau bahkan ditiru dari Finlandia?

  • Siswa hanya bertemu dengan guru dan teman-teman satu kelasnya saja. Mereka tidak bertemu teman dari kelas lain, bahkan saat istirahat di halaman yang luas pun, karena waktunya diatur sedemikian rupa sehingga berbeda-beda tiap kelas. Mereka tidak saling berkontak fisik. Apabila ada kasus terjadi di salah satu kelas, karantina hanya berlaku di kelas tersebut dan tidak seluruh sekolah terkena dampaknya.
  • Makan siang dibawakan oleh pihak kantin sekolah ke kelas masing-masing. Setelah selesai, peralatan dan sebagainya akan dibawa kembali keluar kelas.
  • Di sekolah, hanya guru dan siswa dan yang berkepentingan di sekolah yang diperkenankan masuk. Orangtua dan pihak luar tidak diizinkan masuk. Penjemputan hanya dilakukan di halaman sekolah. Semua pertemuan orangtua dan guru atau rapat-rapat sekolah dilakukan secara daring.
  • Siswa sekolah menengah atau SMA masih melakukan pembelajaran dalam dua metode, di sekolah maupun jarak jauh (PTM dan PJJ). Sesuai peraturan bahwa semua orang di atas lima belas tahun wajib memaki masker, maka seluruh siswa di tingkat SMA wajib memakai masker di sekolah. Apabila sakit, mereka harus di rumah mengikuti PJJ yang tetap disediakan pihak sekolah.
  • Aktivitas hobi dan olahraga juga sudah diperbolehkan sejak bulan Agustus, protokolnya sama dengan kegiatan sekolah. Mereka hanya bertemu dengan rekan satu grupnya. Jadi, saat terdeteksi infeksi korona, penanganannya cepat dan hanya menimpa kelompok tersebut, tidak seluruh pengguna gedung dan klub.
  • Apabila seseorang terdeteksi positif terkena koronavirus, maka informasi diberikan kepada kelas atau kelompok hobi yang bersangkutan. Guru kelas dan kepala sekolah memberitahu pihak kesehatan dan pihak kesehatan akan menelepon keluarga (orangtua siswa yang bersangkutan) untuk menjalankan karantina. Siswa yang bersangkutan juga diberi kesempatan untuk melakukan tes virus korona di rumah sakit atau sarana kesehatan terdekat. Hasilnya akan keluar dalam waktu maksimal dua hari. Walaupun hasilnya negatif, siswa dan kelas bersangkutan tetap mengalami karantina selama 10 hari sejak kontak ditemukan untuk memutus rantai penyebaran virus.

     Sampai saat ini tidak ada kasus korona di sekolah anak-anak saya. Anak sulung saya mengalami masa karantina dari hobi olahraganya dan sekolah masih berlangsung dalam metode PJJ.

 

Belajar dari negara-negara lain

     Negara-negara Eropa bagian utara seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia memiliki kebijakan yang sama dengan Finlandia. Siswa sudah kembali ke sekolah seperti biasa sejak Agustus lalu. Di negara-negara lain juga sama; di Belanda, Inggris, Italia, dan Jerman, misalnya, siswa sudah kembali ke sekolah sejak September lalu dengan jadwal waktu masuk yang berbeda-beda di tiap kelas. Siswa hanya bertemu dengan teman sekelasnya saja dan diatur waktu makan, istirahat, dan pulang untuk meminimalkan kontak. Namun, apabila suatu kasus virus korona terdeteksi, sekolah kembali melakukan PJJ selama 14 hari—tidak ada upaya dari pihak kesehatan, kecuali ada gejala yang mengarah ke sakit.

     Di Amerika Serikat kebijakan yang berbeda-beda diterapkan sesuai kondisi tiap daerah. Ada yang menerapkan kebijakan hybrid, PJJ dan PTM, dan banyak yang masih melakukan PJJ.

     Di India ternyata praktiknya sama dengan Indonesia. Untuk wilayah perkotaan yang memiliki koneksi internet yang baik, PJJ dapat berlangsung dengan Zoom dan Google Meets. Sedangkan di pedesaan, tugas sekolah dikirimkan melalui surat elektronik dan pesan-pesan guru ataupun teman sekelas dikirim melalui media sosial serta aplikasi percakapan/pengirim pesan seperti WhatsApp.

     Yang mengagumkan adalah Tiongkok. Situasi sudah kembali normal. Siswa sudah kembali belajar di sekolah sejak April seperti biasa dan hanya memakai masker. Daerah asal virus korona, Wuhan, pun sudah melaksanakan PTM sejak Mei. Tidak ada lagi PJJ dan bahkan kegiatan belajar mengajar yang melibatkan 50 siswa dalam satu kelas dapat berlangsung seperti biasanya (lihat di sini). Namun, karena pemerintahannya kuat, saat terjadi kasus korona, pihak kesehatan siap untuk melakukan tes virus korona massal. Misalnya, di Qingdao pada bulan Oktober, karena 6 kasus korona terdeteksi, 8 juta warga daerah tersebut (yang total populasinya 9,4 juta) melakukan tes kesehatan masal selama 5 hari.

     Belajar dari pengalaman-pengalaman negara lain, kelihatan bahwa kerja sama antar-pihak dan kesiapan jajaran kesehatan (tes Covid-19 dan sarana kesehatan) amat diperlukan apabila pembukaan sekolah akan dilaksanakan.

 

Penulis: Ratih D. AdiputriPenulis buku Sistem Pendidikan Finlandia (KPG, 2019) dan peneliti/pengajar di Universitas Jyväskylä, Finlandia.
Ilustrasi oleh Pinahayu Parvati/Dok. KPG. 


Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Persiapan Belajar Tatap Muka 2021: Belajar dari Finlandia hingga Tiongkok.

Posted in: Esai
Be the first person to like this.