|
Mulanya, saya berniat hanya akan mengandalkan catatan Ahmad Sahal dan Rizal Malarangeng dalam memberikan komentar untuk buku Pembentuk Sejarah karya Goenawan Mohamad ini. Sahal, dalam kata pengantarnya menekankan bahwa Goenawan Mohamad menolak konsentrasi kekuatan fisik dan simbolik—karena secara struktural itu senantiasa mengandung pemaksaan dan karena itu cenderung mendorong ketidakmerdekaan. Juga, melalui frasa yang lahir dalam sajaknya, "kita bersandar pada angin", Sahal melihat Goenawan Mohamad menolak pada kemutlakan berpikir. Sementara Rizal menekankan peran intelektual Goenawan sebagai model ideal generasi terpelajar di masanya dan tulisan-tulisannya telah memperkaya bahasa Indonesia. Mulanya, sekali lagi, saya akan memulai pembicaraan saya dengan dua tulisan hebat dua junior saya ini.
Akan tetapi, setelah membaca beberapa tulisan Goenawan Mohamad dalam buku ini, saya mendapat kesan lain. Tulisan-tulisan Goenawan Mohamad bukan saja "melampaui deskripsi", melainkan "menghidupkan" (kembali) peristiwa yang telah "mati". Jadi, ada dimensi lain daripada kecenderungan Goenawan terhadap kebebasan.
Bagaimana ini bisa kita dekati?
||
Saya ingat komentar Aulia pada 1995 ketika ia berumur kurang lebih empat tahun. Ketika melihat penampilan penyanyi Amerika, Michael Jackson di RCTI: "Hey, he is god!" Ketika saya tanya apa alasannya, Aulia menjawab, "He brings the destroyed forest back into live." Di televisi itu, bersama dengan dia, saya memang melihat Michael Jackson, dalam sebuah lagu yang saya tak ketahui judulnya, merentangkan tangannya lebar-lebar dan dengan itu melahirkan energi dahsyat yang membuat hutan-hutan yang terbakar itu atau telah gundul tersebut hidup kembali seperti semula. Aulia, yang masuk crest (semacam pra-taman kanak-kanak) di dekat kampus Monash University, Clayton, Melbourne, pada umur 2 tahun, sepanjang 1991-1994, memang telah diajarkan untuk menolak duduk di atas kursi atau meja kayu (karena berasal dari penebangan hutan) dan secara tidak langsung, dianjurkan menonton film Captain Planet. Film tersebut, kita tahu, adalah "propaganda" yang ditujukan kepada anak-anak tentang keutamaan menjaga lingkungan hidup.
Saya kira inilah asal-usul spontanitas Aulia melihat Michael Jackson sebagai "tuhan"—karena ia mampu menghidupkan kembali hutan-hutan yang telah "mati".
Spontanitas Aulia ini menginspirasi saya untuk menyatakan bahwa tulisan-tulisan Goenawan Mohamad mempunyai daya "menghidupkan" suasana dan peristiwa yang telah "mati". Ini antara lain, terlihat ketika ia memberi arti tentang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan memperkenalkan sebuah frasa "Yang ambruk (adalah) sebuah wacana" dalam tulisannya "Tan Malaka". Di sini, Goenawan tidak menulis tentang prosesi dan urut-urutan kejadian di sekitar proklamasi. Melainkan, "menemukan" sebuah frasa tentang sebuah peristiwa—yang di tangan kaum sejarawan konvensional tersajikan dalam bentuk deskripsi "mati"—menjadi "hidup". Bagaimana suasana itu "dihidupkan"? Goenawan menulis:
Sebuah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya membangun dan menopang kekuasaan itu. Ia mencengkeram, kita takluk dan bahkan takzim kepadanya. Sebelum 17 Agustus 1945, ia membuat ribuan manusia tak mampu menyebut diri dengan suara penuh, 'kami bangsa Indonesia'—apa lagi sebuah 'kami yang bisa 'menyatakan kemerdekaan'.
Maka, melalui paragraf di atas kita merasakan sesuatu yang melampaui lukisan peristiwa. Karena yang muncu dalam perasaan adalah sebuah gelora yang, sekali lagi, "menghidupkan" daya tangkap atas realitas sejarah: kebangkitan sebuah masyarakat untuk menolak "takdir" yang distrukturkan oleh wacana ketakberdayaan rumusan kolonial. Bukankah ini mengingatkan kita kepada ketakberdayaan Soetatmo, tokoh Panitia Nasionalisme Jawa pada 1918 yang dalam perdebatannya dengan Tjipto Mangunkusumo tentang masa depan Hindia Belanda, mengungkapkan kepasrahan orang-orang Jawa berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda?1 Bukankah justru wacana destruktif itu yang kini hancur melalui Proklamasi 17 Agustus 1945—ketika rakyat dengan tiba-tiba, bahkan juga dengan "garang", memiliki keberanian menyatakan diri merdeka dan menolak kembali ke masa lalu?
Dalam tulisannya tentang Hatta, Goenawan duduk bersisian dengan tokoh ini. Dan "dialog" berlangsung. "Bung Hatta", kata Goenawan, "kau bukanlah 100 tahun kesendirian." Dan dengan meyakinkan Goenawan berkata kepada Hatta: "Bukankah sejarah adalah kerja orang ramai yang namanya terlupakan?" Di sini, Goenawan mengusik hati Hatta. Dan usikan ini diangkat dari data sejarah yang ditulis Hatta sendiri dalam memoarnya. Fakta sejarah inilah yang digunakan Goenawan, seakan-akan ingin menarik kembali ingatan Hatta akan sebuah hari revolusioner, peristiwa 10 November 1945 di Surabaya:
Hari itu kau berada di atas jib Jenderal Howthorn yang mengantarmu. Di sebuah tikungan, kau lihat seorang anak berumur 12 tahun tertidur, menyandang bedil.
Dengan mengingatkan kembali kenangan Hatta tentang bocah yang tertidur dengan memeluk bedil itu, kita melihat peristiwa revolusioner itu "hidup" (kembai). Tetapi, di atas itu, yang membuat lukisan itu menjadi lebih "hidup" (kata ini terpaksa saya ulang-ulang, karena dalam kesempitan waktu saya tak sempat mencari kata lain yang lebih pas), Goenawan ingin menegaskan bahwa bahkan partisipan peristiwa revolusioner itu tak hanya terbatas pada kalangan pemuda dan orang dewasa. Melainkan, juga kanak-kanak. Dalam konteks inilah kita bisa memahami apa yang dicetuskan Goenawan, dalam bentuk pertanyaan di atas kepada Hatta: "Bukankah sejarah adalah kerja orang ramai yang namanya terlupakan?" Kalimat ini mengandung daya "hidup". Sebab, dengan itu, kita terinspirasi menambahkan pertanyaan-pertanyaan baru, justru ketika peristiwa itu telah terpendam selama puluhan tahun lalu, yang antara lain, bisa berbunyi: "Ke manakah perginya kalangan revolusioner itu? Adakah sebagian mereka yang kelak menjadi aktor-aktor ludruk Surabaya, yang lukisan antropologisnya dibuat pada 1960-an oleh James Peacok? Melalui pertanyaan Goenawan terhadap Hatta di atas, tiba-tiba ada keinginan untuk melihat kelanjutan cerita revolusioner tersebut di dalam sebuah rekaman antropologis.2
Tentu, saya tak ingin berkepanjangan mendiskusikan dimensi distinktif yang baru saya "temukan" atas jenis tulisan-tulisan Goenawan Mohamad ini. Akan tetapi, sebelum beralih kepada dimensi lainnya, ada catatan yang perlu ditambah. Jenis dan kualitas tulisan-tulisan Goenawan ini mengingatkan saya kepada President the American Historical Association William L. Langer. Dalam pidato yang disampaikan di hadapan para anggota perhimpunan sejarawan Amerika Serikat pada 1958 itu, Langer menganjurkan pengadopsian psikoanalisis di dalam penulisan sejarah. Itulah sebabnya, pidatonya diberi judul "The Next Assignment". Di situ, Langer berbicara tentang bagaimana psikoanalisa bukan saja telah membantu memahami tingkah laku yang abnormal para pemimpin politik atau memahami tradisi dan budaya "aneh" masyarakat-masyarakat Bukan Barat di dalam studi-studi antropologi. Melainkan, sangat membantu memahami sejarah "tipikal" yang tampil ke permukaan sebagai respons psikologis atas bencana dan serangan penyakit pandemik yang menimpa masyarakat Eropa pada abad ke-14 dan ke-15.3 Untuk itulah, antara lain, sejarawan kesenian Meyer Shapiro menulis sebuah karya menarik dengan pendekatan psikoanalisa ini. Walau dalam tulisan tersebut Shapiro berusaha "memperbaiki" kesimpulan-kesimpulan ahli psikoanalisa Sigmund Freud tentang impuls kejiwaan pelukis klasik Leonardo da Vinci, pengaruh psikoanalisa dalam penulisan sejarah itu jelas terlihat.4 Para ahli lainnya telah juga terinspirasi oleh Freud. Karena itu, tak mengherankan jika Langer menyebut pencetus psikoanalisa ini telah "in large part created the intellectual climate of our time."5 Di antara karya-karya yang terinspirasi Freud ini, kita temukan Writings on Art and Literature yang menggunakan perspektif psikoanalisa dalam menjelaskan fenomena kesenian dan literatur.6
Untuk konteks Indonesia, penulisan sejarah dengan corak ini telah dilakukan oleh Justus van der Kroef, Indonesian Social Evolution: Some Pyschological Considerations pada 1958. Saya tidak atau belum membaca karya menarik ini. Tetapi informasi tentang buku ini saya peroleh secara tak sengaja ketika membaca tinjauan buku tersebut yang ditulis oleh Robert van Niel. Meskipun, di samping memuji, pengarang buku yang kini klasik —The Emergence of the Indonesian Elite—ini memberikan catatan kritis terhadap karya Justus van der Kroef di atas,7 kita menemukan fakta bahwa pendekatan psikoanalisa atas sejarah Indonesia pernah dibuat.
Dari kiri ke kanan: Gabby (editor KPG), Goenawan Mohamad (penulis, intelektual & seniman), Boediono (mantan Wapres RI), Nirwan Ahmad Arsuka (penulis & pegiat literasi), dan Rizal Mallarangeng (penulis & politikus Golkar). Foto bersama di acara "Membincangkan Pembentuk Sejarah, Pilihan Tulisan Goenawan Mohamad" (29 November 2021).
Sebagai intelektual, saya menerka bahwa Goenawan Mohamad tentu telah membaca karya-karya di atas. Dengan mengatakan ini bukan berarti saya menyangka bahwa Goenawam Mohamad telah dipengaruhi oleh pendekatan ini—walau, andai kata benar, tak ada yang salah dengan itu. Melainkan, bahwa dalam konteks tradisi penulisan (sejarah), kita menemukan jejak genre dan "teoretis" gaya dan mutu tulisan-tulisan Goenawan Mohamad yang kita bicarakan di atas. Inilah yang diungkap Goenawan dalam dialognya dengan Hatta:
Kau yakin Rais tak bersalah. Dalam umurmu yang masih kanak itu kau dengar bagaimana Tuan Westenenk, Asisten Residen Agam, menggunakan pemberontakan Kamang sebagai dalih untuk memenjarakan Rais. Sebelumnya, Rais-lah yang mengirim surat kritik di koran Utusan Melayu di Padang tentang kelakuan pembesar kolonial itu. Tentu saja ia tak dibiarkan bebas. "Belanda tidak dipercaya," kau dengar Idris, pamanmu berkata.
Ketidakadilan memang bisa dibaca tanpa huruf. Petani yang terbelakang sekali pun, juga anak yang belum lagi 15 tahun, dengan rasa sakit dan gusar, bisa mengerti artinya. Itulah sebabny di tahun 1933, setelah Bung Karno ditangkap, juga berpuluh-puluh pemimpin lain, kau tak ingin melangkah surut.8
III
Walau sebenarnya tak perlu ditegaskan di sini bahwa Goenawan Mohamad tentu telah (sangat) menguasai bidang-bidang yang ia bicarakan, saya tetap "terkejut" menemukan konsitensi tesis-tesis dan pemahaman mendalam segi teoretis atas fenomenan yang dibahasnya. Tentang yang pertama, konsistensi tesis-tesisnya, terlihat dalam seluruh Catatan Pinggir (Caping) yang dibuat setiap pekan di Majalah Tempo. Tesis itu, antara lain, seperti disinggung Ahmad Sahal dalam pengantarnya, adalah penolakan pengekalan segala sesuatu dan, perlu ditambahkan di sini, tentang ketakterelakkan kemajemukan. Selalu saja akan ada tindakan yang bersifat memaksa jika kemajemukan tersebut direduksi. Dan ancaman yang jelas akan muncul dari penyeragaman itu adalah hilangnya kemerdekaan.
Dalam buku ini, tesis-tesis tersebut diungkap Goenawan Mohamad ketika menulis tentang Sukarno ("Bung Karno, 1 Juni 1945 dan "Bung Karno dan Islam").9 Juga terungkap ketika ia menulis tentang Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Sangat jelas di sini bahwa Goenawan Mohamad memproyeksikan tesis-tesis yang "dipegang teguh" kepada tokoh-tokoh yang ditulis dalam buku ini. Maka, mungkin perlu didiskusikan lebih lanjut apakah Goenawan Mohamad masih berniat kembali kepada "pembenaran" logika yang diproyeksikan kepada Presiden Zia ul Haq, dalam sebuah Caping-nya pada 1908-an, jika tak salah ingat, ketika Presiden Pakistan itu menggelar "rasa tega"-nya menggantung manta Perdana Menteri Ali Bhuto.
Tentang pemahaman mendalam atas teori tak perlu panjang lebar diuraikan di sini, karena memang tidak perlu. Akan tetapi, masih treingat senyum spontan saya ketika terpergok kalimat cerdas Goenawan Mohamad—ketika ia menulis tentang Sjahrir dalam buku ini: "Dengan kata lain, pada mulanya adalah tubuh dengan kaki di tanah." Sampai detik ketika kalimat itu saya kutip di sini (pukul 22:47, Ahad, 28 November 2021), saya masih tersenyum. Mengapa? Karena kepintaran dan pemahaman luar biasa Goenawan Mohamad akan teori Marx. Sebab, bukankah kalimat itu mengungkapkan penjelasan (sangat) ringkas dan mengena atas teori Karl Marx tentang struktur dan suprastruktur? Bukankah "kaki yang menginjak tanah" adalah kata lain dari "struktur" dalam pengertian Marx? Bukankah dengan demikian, apa yang akan berlangsung di dalam tubuh (terutama otak alias pengertian alias pemahaman atas realitas) yang disebut Marx sebagai "superstruktur", terpengaruh dari kaki yang "menginjak tanah"? Atau, saya langsung mengutip Goenawan:
Pikiran atau ide hanya mempunyai otonomi yang semu. Subjek sebenarnya dibentuk oleh hubungan sosial.
Sebenarnya saya ingin memberikan beberapa catatan kecil tinjauan Goenawan Mohamad atas pemikiran Soedjatmo, juga sahabatnya Arief Budiman di dalam buku ini. Sayang sekali, karena telah larut, itu tak mungkin saya lakukan. Urungnya niat ("baik") saya ini terutama karena saya harus membuat catatan (walau sangat ringkas), tentang tulisan Goenawan atas Sukarno di dalam buku ini. Semula, saya berharap Goenawa menulis Hatta dengan perspektif yang sama seperti yang dilakukan atas Sukarno. Dengan itu, akan mempermudah saya membuat "pernyataan" apakah Goenawan mempunyai pandangan "bergaya" Herbert Feith di dalam bukunya yang terkenal The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia.10 Atau The Politics of Economic Decline oleh pengarang yang sama.11
Tentu, yang saya maksud "bergaya" Herbert Feith di sini bukanlah sekadar konsepnya tentang kaum administrator(s) dan solidarity maker(s) yang terkenal itu. Sebab, sebagaimana biasa terjadi pada nasib kategori-kategori yang dibuat oleh ilmuwan sosial, selalu ada celah yang bisa diperdebatkan. Lagi pula, dalam menulis tentang Sukarno dalam buku ini, saya senang dan "mendukung" kritik Goenawan Mohamad terhadap visi "linear" Benhard Dahm. Persoalannya adalah Goenawan Mohamad menulis tentang Sukarno hanya sampai pada masa gerakan nasional dan, sedikit melintasi periode itu, pada 1 Juni 1945. Walau tentunya absah, bahkan secara akademik, ada catatan penting yang harus saya goreskan di sini. Yaitu, pilihan periode itu bukan tanpa sengaja. Ada maksud "ideologis" di situ. Dalam arti bahwa dengan memilih periode itu, Goenawan Mohamad menjadi leluasa memproyeksikan "ideologi"-nya (anti pemutlakkan, arti konsentrasi, dan ketakterelakkan kemajemukan) ke dala diri da pemikiran Sukarno. Akan tetapi, dalam konteks tanggung jawab intelektual, kecenderungan ini problematik.
Ada dua alasan yang bisa saya berikan di sini. Pertama adalah, sambil menyutujui apa yang dikatakan Rizal Malllarengeng (bahwa Goenawan adalah a witness of history), bersama dengan sejarawan Taufik Abdullah, Goenawan adalah intelektual "paling" senior di Indonesia dewasa ini. Dan karena itu, ia terkena beban etik (dengan menyandang status sebagai intelektual) untuk menjelaskan apa yang terjadi pada 1957—ketika Sukarno mencetuskan "Konsepsi Presiden" dan melaksanakan gagasan "Dewan Nasional" yang menghancurkan fungsi parlemen hasil pemilu 1955—dan 1959—ketika Sukarno membuat Dekrit 5 Juli. Kedua, berkaitan dengan yang pertama, Goenawan termasuk "intelektual yang sadar" (bersama Wiratmo Sukito, Arief Budiman, Taufiq Ismail, dll) yang secara langsung melihat implikasi perkembangan kekuasaan Sukarno sejak 1957 dan 1959 hingga meletus G-30-S pada 1 Oktober 1965.
Mengapa ini saya anggap penting? Karena mengulang Rizal Malarangeng, Goenawan adalah a witness of history. Dalam konteks inilah, Goenawan perlu merenungkan karta Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Walau Feith, dalam karyanya itu telah dikritik oleh sejarawan Harry Benda, karena telah memindahkan pertanyaan-pertanyaan yang hanya absah di Barat ke wilayah bukan Barat, frasa the decline of constitutional democracy Feith bergaung keras dalam apa yang saya sebut "politik anarki" sepanjang 1959 hingga 1965. Bukankah dinamika politik semakin berjalan tak konstitusional, dalam pengertian "anarkik", pasca-1959 itu? Bukankan itu inti "tangisan" Herbert Feith di dalam karyanya The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia?
Maka, jika tinjauan ini bisa dianggap "gugatan", proyeksi "ideologis" Goenawan Mohamad atas Sukarno yang terbatas pada periode pergerakan nasional dan 1 Juni 1945 mengandung dilema etis. Mengapa? Karena pandangan "ideologis" yang sama tidak lagi cocok diproyeksikan Goenawan Mohamad kepada Sukarno pasca-1957, 1959 hingga hari-hari terakhir sebelum 1 Oktober 1965.
IV
Pertanyaan atau catatan terakhir: di mana tempat Goenawan Mohamad dalam sejarah intelektual Indonesia? Inilah pertanyaan yang selalu menghantui saya hingga detik ini, setelah saya mengatakan kepada Goenawan Mohamad di Konsulat Indonesia di Melbourne pada 1993, bahwa saya akan menulis tentangnya.
Tetapi, untuk sementara, dengan memberikan jawaban "sekena"-nya, kita bisa melihat kemunculan Hamid Basyaib dan Lukas Luwarso akhir-akhir ini. Keduanya telah menulis buku tersendiri yang secara khusus "mengkritik" Goenawan Mohamad. Tema yang diangkat adalah "Goenawan Anti-sains". Tentang apakah "kritik" mereka ini berlanjut kepada membongkar tesis-tesis Goenawan, masih harus kita tunggu. (Saya sendiri membaca buku-buku yang mereka kirimkan dan banyak belajar tentang sains pada keduanya.) Kendati pun demikian, "aksi" kedua intelektual "muda" tersebut justru memperlihatkan tempat Goenawan Mohamad di dalam sejarah intelektual Indonesia. Walaupun berbeda dengan respons Ahmad Sahal, Rizal Mallarangeng, dan lainnya, inti masalahnya adalah sama: dengan cara tersendiri, mereka telah menghirup inspirasi dari karya-karya intelektual GM. Dan ini juga hinggap dalam diri saya. Kesadaran civic culture di dalam benak saya terus-menerus terasah dengan setidak-tidaknya setiap pekan, membaca "Caping" yang ditulisnya. Walau harus menanggung "malu", harus saya akui bahwa saya membaca majalah Tempo mulai dari belakang—semata-mata karena "Caping" Goenawan Mohamad ditempatkan di "garis" belakang.
Maka, disadari atau tidak, GM adalah satu-satunya intelektual Indonesia yang secara konsisten selama 40 tahun menyiram benih-benih kesadaran civic culture kpada generasi tepelajar Indonesia. Sebuah peranan yang dalam kesaksian saya, tak mampu dilakukan oleh siapa pun. (Sambil berharap catatan ini bisa saya sempurnakan kelak, untuk sementara tinjauan ini saya akhiri di sini. Pagi sekali—29 November 2021—. Karena harus bertemu dengan seseorang "besar", saya harus melakukan tes swab antigen).
1 Dikutip Anthony Reid, "The Nationalist Quest for An Indonesia Past", dalam Anthony Reid and David Marr, (eds.), Perceptions of the Past in Southeast Asia (Kuala Lumpur and Hong Kong: ASAA Southeast Asia Publications Series, 1979), hlm. 281-298.
2 Lihat James L. Peacock, "Comedy and Centralization in Java: The Ludruk Plays", The Journal of American Folklore, Vol. 80, no. 318 (Oct-Dec, 1967), hlm. 345-356.
3 Lihat William L. Langer, "The Next Assignment", The American Historical Review. Vol. LXIII, No. 2, January, 1958, hlm. 283-304.
4 Meyer Shapiro, "Leonardo and Freud: An Art-Historical Study", Journal of the History of Ideas, Vol. 17, No. 2 (April, 1955), hlm. 147-178.
5 William L. Langer, "The Next Assignment", hlm. 285.
6 Sigmund Freud, Writings on Art and Literature (Standford, California: Stateford University Press, 1997 [1953-74]).
7 Robert van Niel, "Indonesian Social Evolution: Some Psychological Considerations", Journal of Southeast Asian History, Vol. 3, September 1962, hlm. 150-152.
8 Huruf miring adalah tambahan.
9 Di akhir catatan ini, saya akan kembali kepada tulisan Goenawan Mohamad tentang Sukarno.
10Diterbitkan oleh Cornell University Press pada 1964.
11Dimuat dalam T. K. Tan (ed.) Sukarno's Guided Indonesia (Brisbane, Melbourne: The Jakaranda Press, 1967).