Mei 2023 ini menjadi momen yang istimewa bagi dunia pendidikan kita. Di samping memperingati Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei, tahun ini kita juga memperingati 25 tahun reformasi dan 20 tahun Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003.
“Indonesia mengalami krisis pembelajaran dalam 20 tahun terakhir. Tidak ada peningkatan yang signifikan dalam 10–15 tahun terakhir meskipun sudah ada berbagai program terobosan. Sekitar 70 persen siswa usia 15 tahun di Indonesia memiliki kompetensi minimum di bawah standar internasional dari tes internasional, seperti PISA,” demikian laporan Kompas, 2 Mei 2023.[1] Ini menyedihkan dan oleh karena itu kita perlu mengambil langkah-langkah perbaikan. Mengacu pada slogan “belajar sepanjang hayat” ala Finlandia, saya ingin menawarkan dan mengingatkan tiga hal penting yang semestinya dapat kita implementasikan dalam pendidikan di Indonesia: (1) perlunya desentralisasi pendidikan, (2) kemudahan akses bacaan bermutu untuk meningkatkan keterampilan literasi, dan (3) peningkatan kualitas guru.
Perlunya Desentralisasi Pendidikan
Indonesia sudah memasuki era desentralisasi atau otonomi daerah sejak 1999. Namun, tampaknya desentralisasi masih diartikan dalam bidang politik saja, dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, tapi tidak diaplikasikan dalam bidang lain. Misalnya, diversifikasi pangan apalagi pendidikan.
Kesenjangan yang terjadi antara kota besar dan daerah tampaknya merupakan konsekuensi tak langsung dari sentralisasi pendidikan ini. Bahasa-bahasa daerah mulai menghilang karena tidak digunakan dan dikembangkan. Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional negara kita amat penting digunakan, namun jangan lupakan bahasa daerah. Dan apabila daerah atau sekolah mampu melaksanakan pendidikan dalam bahasa daerah, dengan sumber-sumber alat ajar (referensi) dari kearifan lokal—utamanya di daerah 3T—mengapa harus memaksakan pendidikan dalam ruangan kelas atau seperti di kota besar? Apalagi untuk tingkat sekolah dasar, di mana potensi anak-anak perlu dibuka seluas-luasnya, baik pelajaran maupun pengembangan kepribadian dan kreativitas seperti olahraga, musik, prakarya, teater atau drama. Contoh nyata dari dampak sentralisasi pendidikan adalah anak-anak suku Bajo yang mulai berkurang kemampuan menyelamnya, selain beberapa bahasa daerah yang menghilang.
Untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan, dibutuhkan komitmen dan gotong royong yang besar antara kepala daerah setempat, dinas pendidikan, perpustakaan daerah, sekolah, guru, murid, orangtua, juga lembaga swadaya masyarakat/LSM setempat bahkan masyarakat luas. Pendidikan harus menjadi tanggung jawab bersama dalam masyarakat, agar anak-anak dapat mengenyam pendidikan seutuhnya, juga sembari melestarikan budaya setempat, terutama bahasa daerah. Pelestarian budaya daerah atau muatan lokal dapat berupa pelajaran metode bercocok tanam/pertanian, kuliner khas daerah, permainan alat musik tradisional, dan bahkan pelestarian hutan. Jadi, siswa-siswa wilayah 3T tidak perlu khawatir apabila tidak mengetahui bentuk kereta api cepat ataupun pengetahuan/keterampilan lain yang sangat bias kota besar, namun mereka patut bangga akan budayanya sendiri, dan lebih baik lagi dapat belajar dalam bahasa daerahnya sendiri.
Literasi dan Akses Bacaan
Kita tahu bahwa pemahaman bacaan atau keterampilan literasi siswa-siswi Indonesia amat memprihatinkan. Hal ini disebabkan karena anak-anak di Indonesia tidak dibiasakan membaca bacaan-bacaan bermutu. Dan tidak ada cara lain untuk mengasah keterampilan literasi selain membaca buku secara teratur dan aksesnya difasilitasi sekolah dan daerah, baik dengan adanya buku-buku bermutu yang disediakan dalam bahasa lokal/daerah atau bahasa Indonesia, juga koleksi bacaan di perpustakaan (sekolah atau daerah) yang banyak, beragam, dan bermutu.
Anak-anak di Finlandia dibiasakan membaca atau dibacakan buku selama minimal dua puluh menit sehari. Format ataupun bentuk bacaan ini bisa berupa buku audio dan buku-buku bergambar/berilustrasi—termasuk komik. Yang penting siswa paham akan isi buku yang diminatinya. Membaca bahkan dilakukan juga di dalam kelas pada saat pelajaran bahasa; kadang siswa diminta melakukan hal-hal yang meliputi kegiatan membaca; misalnya, mengumpulkan laporan cerita dari buku, memiliki diploma membaca (minimal membaca 6 buku dalam 6 bulan), atau mengunjungi perpustakaan bersama teman sekelas setiap sebulan sekali.
Tidak semua siswa mampu membeli buku, oleh karena itu pemerintah daerah wajib menyediakan akses buku bacaan bermutu di wilayahnya, yang dapat bekerja sama dengan sekolah atau LSM pendidikan di daerah setempat. Dengan demikian kebiasaan membaca bisa dibangun sejak dini.
Kualitas Guru sebagai Kunci
Di balik semua upaya bersama di atas, guru tetap memegang peranan amat besar dalam pendidikan. Oleh karena itu, guru harus memiliki kompetensi setidaknya dalam tiga hal: memfasilitasi pembelajaran, mengembangkan identitas guru, dan menciptakan masa depan (Adiputri, 2023: 13).[2] Ketiga kompetensi ini sama bobotnya karena semua bermuara pada pemahaman dan penguasaan kompetensi oleh peserta didik dan kepuasan/kepenuhan emosional sang guru itu sendiri.
Pendidikan juga tidak terpaku di dalam kelas saja. Siswa dapat belajar dari buku pelajaran, video (termasuk materi dari Youtube yang berkualitas), bahkan siniar (podcast). Dalam hal pengembangan karakter, siswa semestinya mempelajari etika dan pengembangan karakter dari interaksinya dalam berbagai hal: kerja kelompok, mengunjungi museum, melakukan pekerjaan tangan, menjaga keheningan kelas, atau beraktivitas bersama seperti olahraga, pentas musik, teater, dll. Tugas pihak sekolah, terutama guru, adalah untuk selalu memfasilitasi pembelajaran. Juga dalam hal membaca. Bagaimana mungkin siswa dapat memiliki kebiasaan membaca apabila gurunya sendiri pun tidak menyukai bacaan? Saya perhatikan bahwa masih banyak guru yang tidak memahami informasi dalam teks bacaan. Bahkan isi koran.
Guru juga tidak harus satu arah memberikan pembelajaran. Siswa bisa belajar berkelompok atau membuat proyek bersama (membuat kue, prakarya, ekstrakurikuler, dll.), dan guru hanya memfasilitasi. Oleh karena itu pendidikan guru amat penting, untuk menjamin terciptanya suatu kompetensi guru sehingga ia dapat membuat program pembelajaran untuk anak didiknya (di Finlandia malah guru harus memiliki ijazah pasca-sarjana sebelum dapat mengajar di kelas).
Program Guru Penggerak mungkin dapat menjadi acuan. Namun, jika sistem pendidikan masih terpusat dari Jakarta dan dinas pendidikan daerah tidak menjadi motor (dan muatan lokal tidak mendapat porsi yang selayaknya) tampaknya program ini tidak membawa perubahan yang berarti.
Guru juga tidak bekerja sendirian, namun dibantu pihak sekolah dan daerah. Kepala daerah melalui dinas pendidikan dapat memberikan platform belajar untuk setiap sekolah. Misalnya, situs web pendidikan untuk setiap sekolah di daerah tersebut dan masing-masing guru kelas dapat mengisi rencana ajarnya: misal seminggu sekali mengisi apa topik atau kegiatan yang direncanakan dalam minggu depan. Hal ini, selain menciptakan keterbukaan (transparansi) kepada masyarakat, juga dapat mengurangi beban administratif guru dan sekolah, karena semua informasi tersedia dan mudah diakses. Sekolah dan guru tidak perlu lagi membuat rapor pendidikan yang diminta pemerintah, namun fokus dalam mendidik murid di kelasnya!
Jadi, di momen peringatan 25 tahun reformasi ini saya ingin mengusulkan agar kita mulai mempertimbangkan juga desentralisasi pendidikan. Dan mari secara bersama-sama kita memulai langkah-langkah kecil untuk meningkatkan kualitas guru serta kemudahan akses bacaan bagi siapa pun. Yang terakhir ini jelas bisa kita mulai dari diri sendiri dan dari lingkungan terdekat kita—kita, misalnya, bisa mulai berkomitmen untuk membaca atau memberikan satu buku per bulan, untuk diri kita ataupun untuk orang terdekat kita.
Ratih D. Adiputri
Penulis buku Sistem Pendidikan Finlandia: Belajar Cara Belajar (2019),
Sistem Pendidikan Finlandia: Belajar Cara Mengajar (2023)
[1] Ester Lince Napitupulu. 2023. “Sekolah Berjibaku Mengatasi Ketertinggalan”, https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/05/01/sekolah-berjibaku-mengatasi-ketertinggalan, Kompas.id, 2 Mei, terakhir diakses pada 17 Mei 2023.
[2] Ratih D. Adiputri. 2023. Sistem Pendidikan Finlandia: Belajar Cara Mengajar. Jakarta: KPG. Hlm. 13.