Selain para pribumi yang menjadi tokoh pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia, ternyata ada pula beberapa nama Belanda yang ikut bersumbangsi berjuang demi meraih kemerdekaan Indonesia. Salah satunya adalah Douwes Dekker, yang memiliki nama lengkap Ernest Francois Eugene Douwes Dekker. Dia lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 8 Oktober 1879. Dia memiliki darah campuran Belanda, Prancis, Jerman dan Jawa.
Namun meski bukan penduduk Indonesia tulen, tapi semangat nasionalismenya lebih menggelora daripada penduduk bumiputra. Dalam pergerakan revolusi, Douwes Dekker memiliki pemikiran dan gagasan yang melampaui zaman. Buku ini memaparkan tentang semangat perjuangan Douwes Dekker dalam meruntuhkan pemerintah Hindia-Belanda.
Dengan sifat kritis dan penuh keberanian, dia mengkritisi kekejaman pemerintahan Hindia-Belanda dan berani menolak diskriminasi. Hal inilah yang pada akhirnya membuat pemerintah Belanda berang dan menganggap Douwes Dekker sebagai agitator berbahaya.
Bersama Tcipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker mendirikan partai politik pertama di Indonesia, bernama Indische Partij. Di mana partai ini didirikan dengan tujuan untuk membangkitkan rasa patriotisme orang Hindia untuk tanah yang memberikan kehidupan, yang mendorong untuk bekerjasama atas dasar persamaan hak politik nasional untuk mengembangkan tanah air Hindia ini, dan untuk mempersiapkan sebuah kehidupan bangsa yang merdeka (hal 26).
Hadirnya partai ini meniupkan roh di awal masa pergerakan dan merupakana pondasi penting bagi nasionalisme Hindia. Douwes Dekker adalah sosok organisator yang tidak pernah lelah berjuang. Dia mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk kemerdekaan Indonesia. Douwes Dekker yang ternyata masih satu keturunan dengan Eduard Douwes Dekker—penulis buku Max Havelaar yang memiliki nama pena Multatuli—ini menyerukan ide pentingnya warga Hindia menjadi satu bangsa, yang membangun kekuatan sendiri.
Dia sama sekali tidak gentar meski berkali-kali keluar masuk penjara bahkan diasingkan untuk beberapa waktu yang cukup lama. Memang sejak dia menunjukkan sikap anti penjajah, Belanda sudah mengawasi dan menganggap Douwes Dekker adalah salah satu tokoh yang berbahaya, yang bisa mengkompori bumiputra untuk melawan pemerintah Hindia-Belanda sewaktu-waktu. Oleh karena itu ketika Douwes Dekker mendaftarkan perjininan berdirinya partai Indische Partij, dengan tegas Beladan menolaknya, karena partai itu dianggap berbahaya, mengancam kemananan dan ketertiban umum.
Tapi bukan Douwes Dekker jika langsung menyerah. Dengan kemampuannya jurnalistiknya, kerap kali Douwes Dekker menantang pemerintah Hindia-Belanda lewat tulisan-tulisan yang tajam, memojokkan dan pedas di berbagai media. Dia mengkritisi politik etis yang memecah belah penduduk pribumi, indo dan priyayi. Akibat keberaniannya itu, Douwes Dekker di mata tokoh-tokoh politik Belanda dianggap sebagai avonturir, oportunis bahkan schoelje atau “si bangsat” (hal 38). Di mana akibat dari tulisannya yang kerap kali menggugat, dan mengecam Belanda dan terus membangkitkan nasionalisme, dia mendapat lima gugatan hukum.
Dia pernah menjalani hukuman penjara di beberapa negara. Lalu bersama Tcipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker dibuang ke Belanda. Kemudian mereka memanfaatkan waktu ada untuk melanjutkan sekolah. Selain itu Douwes Dekker juga pernah dituduh menjadi kaki tangan Jepang dan ditahan di Jakarta, kemudian dibawa ke Ngawi, Magelang dan Jawa Timur. Di juga pernah diasingkan di Suriname. Namun semua kejadian itu tetap tidak membuatnya gentar berjuang meraih kemerdekaan Indonesia.
Ketika akhirnya dia kembali ke Indonesia, dia kemudian memilih berjuang lewar jalur pendidikan. Dia menjadi guru mengajar di Ksatrian Institut, sebuah sekolah yang dia bangun bersama beberapa tokoh pentolan Indische Partij. Dalam sekolah ini Douwes Dekker dengan serius mengajarkan pentingnya bangsa merdeka dan mandiri (hal 64). Hal ini tentu saja membuat pemerintah Hindia-Belanda semakin membenci Douwes Dekker.
Kiprah Douwes Dekker ini akhirnya memberi inspirasi bagi para pejuang muda. Seperti Tjokroaminoto dengan Serikat Islam, juga Sukarno dalam mendirikan Partai Nasional Indonesia. Sebelum wafat Douwes Dekker ini menjadi mualaf dan mengganti nama menjadi Danudirja Setiabudi. Dia meninggal tanggal 28 Agustus 1950 karena sakit. Sebuah buku yang patut dibaca dan diapresiasi. Mengajarkan kita untuk tidak mudah menyerah dalam berjuang dan selalu mencintai Indonesia.
Peresensi: Ratnani Latifah
Dimuat di: Koran Jakarta, Kamis, 26 Oktober 2017