Catatan M. Fadjroel Rahman: Cara Cerdas Memilih Presiden Ft. Fachry Ali, Dhianita Kusuma Pertiwi
33 views
Yuk Gabung bersama Komunitas Total Politik dan Dukung Channel kita lewat Saweria agar kita tetap bisa buat konten menarik untuk temani hari-harimu di rumah :
► Whats App Group: https://chat.whatsapp.com/B8JfUkLnXE2LP952KvnJcC
► Telegram : https://bit.ly/3orLO3r
► Saweria: http://saweria.co/totalpolitik
Jangan Lupa Follow Social Media Total Politik:
► Instagram: https://www.instagram.com/TotalPolitikCom/
► Facebook: https://fb.me/TotalPolitik
► Twitter: https://twitter.com/TotalPolitikCom
► Podcast: https://open.spotify.com/show/6K6xeuUeT2QUlxFlrE8UrF?si=8zRiGBTqQpeZ64PqGuB18g
► Youtube: https://www.youtube.com/TotalPolitik
► LinkedIn: https://www.linkedin.com/company/total-politik
Host Podcast Politik Arie Putra:
► Youtube: https://www.youtube.com/channel/UCgWEhkKav1nOEaJ_xMXo8mA/videos
► Instagram: https://www.instagram.com/arieputrabn/
► Twitter: https://twitter.com/arieputrabn
Be the first person to like this.
Kepustakaan Populer Gramedia
added new photo album "Peluncuran Buku Catatan Bawah Tanah"
Saya belum genap berusia satu tahun ketika Goenawan Mohamad mengulas terbitan pertama Catatan Bawah Tanah, terbitan Yayasan Obor Indonesia, di Catatan Pinggir majalah Tempo tahun 1993. Begitu pun ketika T. Mulya Lubis mengulas buku kumpulan puisi tersebut dalam tulisan yang lebih panjang dan komprehensif dengan judul “Suara Hati dari Balik Terali Besi”. Saat kedua tulisan tersebut dibuat, Indonesia masih berada dalam cengkeraman rezim otoriter Orde Baru yang singgasananya sudah mulai lapuk dan rentan, tetapi tetap terus berupaya melanggengkan diri dengan tindakan-tindakan represif-militeristik terhadap pihak-pihak yang dianggap sebagai lawan–termasuk penulis dari buku puisi itu sendiri.
Dalam ulasannya, Goenawan mengakui puisi-puisi Fadjroel Rachman sebagai “puisi aktivis, grafiti kemarahan di tembok sel, gema kegeraman sendiri di ruang tertutup, pernyataan hasil renungan yang tidak ingin bimbang”. Sementara itu, Mulya Lubis membaca puisi yang ditulis oleh seorang anak muda yang “dalam usianya yang produktif ia dibelenggu oleh tembok-tembok penjara” tersebut penuh dengan kemarahan dan kritik tajam. Dengan luwes Mulya Lubis juga mengaitkan kritik-kritik dalam puisi Fadjroel Rachman dengan konteks kebijakan dan perundang-undangan di Indonesia. Secara khusus, Mulya Lubis mengaitkannya dengan contempt of court yang pada saat tulisan itu dibuat “masih belum jelas sehingga penyair yang menulis puisi tidak usah terkena jeratan hukum”, meski sebenarnya konsep tersebut dapat ditemukan di UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung–delapan tahun sebelum Catatan Bawah Tanah pertama kali diterbitkan–serta pasal 216 KUHP. Argumen-argumen yang tertuang dalam kedua pembacaan tersebut agaknya berkaitan erat dengan semangat zaman yang menggelora pada saat itu, yakni meruntuhkan rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 27 tahun dengan segala kesewenang-wenangannya.
Tiga puluh tahun kemudian, Catatan Bawah Tanah dihadirkan kembali oleh Kepustakaan Populer Gramedia dengan penambahan isi, dari yang sebelumnya 27 puisi saat pertama kali diterbitkan menjadi 34 puisi pada terbitan yang kedua. Dalam tulisan sekapur sirih terbitan yang kedua, Fadjroel mengenang pesan Mochtar Lubis yang kala itu menjadi pimpinan Yayasan Obor agar tidak perlu ada revisi terhadap naskah puisi Fadjroel yang ditulisnya ketika ia mendekam di empat penjara sebagai narapidana politik Orde Baru. “Biarkan seperti aslinya, asli kata-kata, emosi dan semangatnya,” pesan Mochtar Lubis kala itu. Tiga sajak yang sebelumnya tidak dimuat pada terbitan pertama karena dianggap “terlalu keras” (informasi diperoleh dari Alpha Hambally) ditambahkan di terbitan yang kedua kali ini. Seleksi naskah yang berlangsung dalam proses penerbitan Catatan Bawah Tanah sekali lagi masih berkaitan erat dengan konteks politik yang mengelilingi karya tersebut. Kejatuhan Orde Baru pada 1998 memang menjadi momentum penting dalam perjalanan Indonesia sebagai negara yang demokratis, membuka lebih luas ruang-ruang ekspresi yang sebelumnya dibatasi atau bahkan ditutup atas nama stabilitas dan ketertiban.
Kelahiran kembali Catatan Bawah Tanah dibarengi dengan pembacaan baru atas puisi-puisi Fadjroel, kali ini oleh Hasan Aspahani yang ulasannya dimuat dalam cetakan kedua sebagai pengantar. Dalam ulasannya yang berjudul “Pernyataan Itu Fana, Pertanyaan Itu Abadi”, Hasan tidak lagi hanya berfokus pada sosok penulisnya sebagai seorang narapidana politik. Tentu identitas tersebut tidak secara penuh dikesampingkan atau dianulir, tetapi terbaca kecenderungan untuk menanggapi teks tersebut sebagai entitas karya sastra yang lebih “mandiri” dengan menanggalkan gagasan-gagasan aktivisme dan menggarisbawahi ekspresi pertanyaan yang mendominasi puisi-puisi Fadjroel. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menurut Hasan lebih kuat daripada pernyataan, “seperti gema yang tak hilang, berpantulan di tebing-tebing realitas hari ini”. Menolak objektifikasi yang dicangkokkan oleh sistem penjara Orde Baru, Hassan mengapresiasi pertanyaan-pertanyaan eksistensialis dalam puisi-puisi Fadjroel sebagai “cara untuk bangkit dan menata diri, menjadikan diri sebagai sesuatu atau seseorang”. Dalam kata lain, puisi menjadi cara mempertahankan eksistensi penulisnya sebagai manusia di tengah sistem yang mereduksinya menjadi semata isi daftar dan jajaran angka.
Spesifikasi Produk
Penulis: M. Fadjroel Rachman
Perancang sampul: Nai Rinaket
Penataletak: Setyo Bekti Nugroho
Editor: Alpha Hambally
Kategori: Fiksi, Sastra, Puisi
Terbit: 17 Januari 2024
Harga: Rp90.000
Tebal: 194 halaman
Ukuran: 135 mm x 200 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786231341051
ISBN Digital: 9786231341068
ID KPG: 592402196
Usia: 15+
Bahasa: Indonesia
Penerbit: KPG
Pembacaan baru yang ditawarkan Hasan menurut saya juga masih ada kaitannya dengan konteks waktu lahirnya (kembali) Catatan Bawah Tanah. Tentu kritik dari masyarakat masih menjadi bagian dari kehidupan bernegara, bahkan menjadi unsur fundamental dalam sistem demokrasi. Namun, perubahan situasi politik serta tata kelola pemerintahan dan kebijakan turut memengaruhi semangat zaman. Kepatuhan terhadap aturan presiden maksimal menjabat dua periode menjadi salah satu penekanan utama dalam pelaksanaan pemerintahan pascakejatuhan Orde Baru. Kita tidak lagi bergerak untuk menjatuhkan suatu rezim yang bercokol puluhan tahun, tetapi mengawasi dan mengawal jalannya pemerintahan agar tetap berada di rel demokrasi. Di samping itu, lengsernya Suharto juga menandai munculnya narasi korban kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan negara ketika Orde Baru berkuasa. Beberapa penyintas pembunuhan dan pemenjaraan massal antikomunis 1965–66 misalnya, menerbitkan memoar tentang kehidupannya sebagai tahanan dan narapidana politik. Peneliti, sejarawan, dan bahkan keturunan orang-orang yang sempat merasakan neraka penjara dan kamp Orde Baru juga menghadirkan narasi-narasi yang mengedepankan eksistensi korban sebagai subjek manusia.
Terlepas dari temporalitas yang diindikasikan ketiga ulasan tersebut, terdapat satu bentuk ekspresi yang dalam puisi Fadjroel yang ditangkap oleh Goenawan Mohamad, Mulya Lubis, maupun Hasan Aspahani, yaitu kemarahan. Seperti yang saya kutip di awal tulisan ini, Goenawan mendapati puisi Fadjroel sebagai “grafiti kemarahan”. Sementara Mulya Lubis mengakui kemampuan penulis dalam menggunakan metafora sehingga mampu “mengalunkan kemarahan yang puitis”. Mengikuti kedua catatan yang lahir 30 tahun sebelumnya, Hasan juga membaca peran puisi bagi Fadjroel sebagai “sarana katarsis di mana dari emosi terpendam, rasa kehilangan, bahkan frustrasi”. Memang bukan hal yang sulit untuk membaca dan merasakan suasana kemarahan dalam puisi-puisi Catatan Bawah Tanah. Bahkan kemarahan bisa dibilang menjadi mood yang dibangun hampir di setiap dan keseluruhan puisi dalam buku tersebut. Pada satu sisi, hal tersebut memang tidak sulit untuk dideteksi. Secara keseluruhan, pilihan kata dan frasa dalam puisi-puisi di Catatan Bawah Tanah mengindikasikan secara cukup kuat emosi kemarahan yang ditumpahkan oleh penulis dalam karyanya.
Namun, ulasan-ulasan yang telah ditulis sebelumnya belum membahas secara mendalam strategi emosi tersebut diekspresikan. Hanya Mulya Lubis yang sempat membahas secara sekilas bahwa penulis menggunakan metafora untuk mengekspresikan kemarahannya, khususnya dalam puisi “Doa Manis Buat Tuhan”. Selain menggunakan metafora, Mulya Lubis juga mendapati penggunaan “percakapan yang menyentuh” dalam puisi “Sketsa Penjara III (Percakapan dengan katak selokan)” untuk menggambarkan kemarahan penulis dengan cara yang lebih meledak.
Berangkat dari ketiga pembacaan sebelumnya, saya tertarik untuk mengkaji strategi yang digunakan penulis dalam mengekspresikan emosinya dalam puisi-puisi yang ia buat. Menurut saya, terdapat strategi yang secara sadar dipilih penulis untuk membuat amarah yang membuncah dalam batinnya sebagai narapidana politik tetap terbingkai secara estetis. Secara khusus, saya menyoroti bentuk puisi-puisi dalam Catatan Bawah Tanah yang dipengaruhi oleh teknik pemenggalan larik. Saya ambil sebagai contoh, puisi yang juga menjadi sorotan Mulya Lubis dalam ulasannya, yakni “Sketsa Penjara III (Percakapan dengan katak selokan)”:
Kehidupan menggantung layaknya tanda-tanya
besar (aneh, aku ingat Aniko Senesh,
sanggupkah salju putih menghisap habis
darah dan otaknya yang berceceran dihantam
peluru kaum fasis? Siapakah yang
mengajarkan Aniko menahan penderitaan?
Siapakah yang bakal mengajarkan kita
menahan penderitaan? Siapakah yang bakal
mengabarkan penderitaan rakyat jelata
kepada ibu kita terkasih)
Bandingkan dengan:
Kehidupan menggantung
layaknya tanda-tanya besar
(aneh, aku ingat Aniko Senesh,
sanggupkah salju putih menghisap habis
darah dan otaknya yang berceceran
dihantam peluru kaum fasis?
Siapakah yang mengajarkan Aniko
menahan penderitaan
Siapakah yang bakal mengajarkan kita
menahan penderitaan?
Siapakah yang bakal mengabarkan penderitaan rakyat jelata
kepada ibu kita terkasih)
Sebagai catatan tambahan, saya sempat menanyakan kepada pihak penerbit KPG terkait proses penyuntingan puisi-puisi dalam Catatan Bawah Tanah. Terkonfirmasi bahwa terlepas dari adanya penambahan isi dalam cetakan kedua buku tersebut, sama sekali tidak dilakukan pengeditan atau perubahan pada bentuk puisi-puisi di dalamnya. Dengan demikian, strategi tekstual untuk mengekspresikan amarah penulis sebagai narapidana politik masih seperti aslinya ketika pertama kali puisi-puisi tersebut ditulis.
Perbandingan di atas menunjukkan bahwa penulis menggunakan enjambemen, atau larik sambung, dalam puisinya. Larik-larik yang ditulis Fadjroel melompat secara sintaksis, bersambung ke larik sebelumnya. Teknik tersebut telah digunakan oleh penyair-penyair besar Indonesia seperti misalnya W.S. Rendra dalam “Seonggok Jagung di Kamar” dan Chairil Anwar dalam “Aku”, juga penyair-penyair klasik dunia seperti T.S. Elliot dalam pembuka “The Waste Land”. Dengan menggunakan enjambemen, penulis mengendalikan ekspresi emosi dalam puisi-puisinya sehingga tidak terbaca meledak-ledak. Sebelum masuk, tenggelam, dan menuntaskan kemarahan yang ditawarkan dalam satu larik, pembaca dipaksa beralih ke larik selanjutnya. Yang tersaji di hadapan pembaca bukanlah sekadar puisi penuh amarah dengan ledakan raw emotion, tetapi puisi penuh amarah yang antisipatif.
Selain penggunaan enjambemen sebagai strategi tekstual, masih di bait yang sama, tampak dengan jelas bahwa penulis menggunakan referensi yang berjarak secara spasial dengan dirinya, yakni Aniko Senesh (1921–1944), seorang penyair Hungaria yang tewas ketika terlibat dalam upaya penyelamatan Yahudi Hungaria yang akan dideportasi ke Auswitch oleh Nazi Jerman. Aniko bukanlah satu-satunya sosok yang disebutkan dalam puisi-puisi di Catatan Bawah Tanah, selain itu ada juga Plato, Socrates, Schopenhauer, Wittgenstein, Giordano Bruno, Rimbaud, dan Perawan Maria, di samping tokoh-tokoh dalam mitologi Yunani seperti Prometheus, Narcissus, dan Sisyphus, serta karakter-karakter fiksi seperti Hamlet dan Ophelia, Don Quixote, serta Estragon dan Vladimir.
Pencantuman referensi-referensi tersebut saya asumsikan berkaitan erat dengan literatur yang menjadi bahan bacaan penulis yang membentang dari tulisan-tulisan filsafat sampai karya-karya sastra dunia. Penulis dalam hal ini tampak ingin menunjukkan kepada semua orang–pembaca puisinya, sipir penjara, orang-orang di balik sistem yang memenjarakannya bahwa ia adalah seorang manusia dengan intelektualitas, bukan sekadar narapidana dengan nomor urut sebagai identitas.
Kombinasi penggunaan enjambemen dan pencantuman referensi dalam puisi “Sketsa Penjara III”–dan juga beberapa puisi lain–dalam kaitannya dengan pengekspresian emosi penulis selanjutnya membawa saya pada definisi puisi yang ditawarkan William Wordsworth dalam pembuka Lyrical Ballads (1800). Dalam tulisan tersebut, Wordsworth menghadirkan dua definisi puisi yang tampak saling berlawanan: “aliran yang spontan dari perasaan kuat” dan “emosi yang dikenang dalam ketenangan” (hlm. 308). Ambivalensi dari kedua definisi atas puisi tersebut, menariknya, dapat ditemukan dalam puisi-puisi Fadjroel.
Pada satu sisi, penulis menggunakan diksi dan frasa yang mengindikasikan kemarahannya terhadap penjara yang membekuknya, rezim yang menghempaskannya ke “Neraka Jahanam” dan ”Kerajaan Derita”, juga bumi yang semakin sakit karena penghuninya kehilangan kemanusiaan. Di sisi lain, ia bermain-main pada tataran stilistik yang mempengaruhi cara emosi digambarkan, lalu dirasakan oleh pembaca. Pada satu sisi, penulis mengakui kesendirian dan kesepiannya sebagai seorang narapidana. Di sisi lain, ia menunjukkan bahwa jeruji penjara tidak berhasil memutus keakraban yang ia jalin dengan tokoh-tokoh yang ditemuinya dalam buku-buku yang dibacanya.
Strategi-strategi itulah yang membuat saya kurang setuju dengan pendapat Mulya Lubis bahwa puisi-puisi Fadjroel “terasa sebagai puisi protes yang nyaris seperti pamflet”. Puisi pamflet seringkali dianggap lemah dari segi estetik karena lebih berfokus pada penyampaian pesan (baca: propaganda) yang ingin diutarakan penulis melalui karyanya. Kita bisa menengok sejenak puisi-puisi yang ditulis Dipa Nusantara Aidit yang kering akan metafora, mengesampingkan aspek bentuk, dan dipenuhi dengan pesan-pesan politik yang secara terang condong ke ideologi partai yang sempat dipimpinnya. Fadjroel Rachman, dalam penjelajahannya dari Penjara Militer Bakorstanasda, Penjara Kebon Waru, Penjara Batu Nusakambangan, sampai Penjara Sukamiskin, ia menemukan diri dan bentuknya dengan meretas diam bawah tanah.
Peresensi: Dhianita Kusuma Pertiwi
Dimuat di: Koran Kompas, Minggu, 28 Januari 2024
The Joy of Science with Prof Jim Al-Khalili
32 views
Getting it wrong is sometimes seen as a reason not to trust in science, but as Professor Jim Al-Khalili told us, it’s all part of the process. The scientific method means hanging up your biases at the door and being willing to accept the evidence that’s presented to you, even if it causes the unpleasant cognitive dissonance we sometimes feel when reality doesn’t match up to our beliefs. In this interview, we discuss the joy of science, the joy of getting it wrong, and why eating humble pie is actually a good thing.
Professor Jim Al-Khalili:
https://www.surrey.ac.uk/people/jim-al-khalili, https://jimal-khalili.com/
The Joy Of Science: https://press.princeton.edu/books/hardcover/9780691211572/the-joy-of-science
----
Tobacco study reference:
https://www.bath.ac.uk/announcements/tobacco-industry-involvement-in-scientific-events/
----
► Website: https://iflscience.com
► Facebook: https://facebook.com/iflscience
► Instagram: https://instagram.com/iflscience
► Threads: https://www.threads.net/@iflscience
► TikTok: https://tiktok.com/@iflscience
► Twitter: https://twitter.com/iflscience
► Bsky: https://bsky.app/profile/iflscience.bsky.social
“Sains merupakan proses yang terus berlangsung. Tidak ada satu kebenaran pamungkas untuk diraih, yang setelahnya semua ilmuwan bisa berhenti bekerja". Ungkapan astronom Amerika Serikat, Carl Sagan dalam bukunya Kosmos (Kepustakaan Populer Gramedia, 2016) itu menarik dan menjadikan kita merenung maupun menginsyafi perkembangan sains seiring perubahan zaman. Ada sebilah tanya: "bagaimana sains terus bekerja untuk membuka tabir misteri dalam kehidupan ini?"
Pertanyaan itu akan terjawab dalam buku garapan ahli fisika kuantum kelahiran Bagdad, Irak yang menjadi pengajar diUniversity of Surrey Inggris, Jim Al-Khalili. Momentum spesial, penerjemahan buku dalam bahasa Indonesia diterbitkan tepat diulang tahunnya ke-61 pada 20 September 2023. Usia yang terlalui Jim memberikan kesan buku itu menjadi upaya berbagi pengalaman atas kiprahnya menjadi seorang saintis.
Spesifikasi Produk
Penulis: Jim Al-Khalili
Penerjemah: Amin Widyatama
Editor: Andya Primanda
Penataletak & Perancang Sampul: Teguh Tri Erdyan
Kategori: Nonfiksi, Sains
Terbit: 20 September 2023
Harga: Rp75.000
Tebal: 142 halaman
Ukuran: 135 mm × 200 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786231340764
ISBN Digital: 9786231340771
ID KPG: 592302180
Bahasa: Indonesia
Usia: 15+
Penerbit: KPG
Ia tak habis-habisnya untuk mengajak kita dalam mencari dan memaknai keberadaan kebenaran, yang dalam kaidah sains dikenal sebagai metode saintifik. Ungkapnya, “Metode saintifik adalah gabungan rasa penasaran terhadap alam sekaligus tekad untuk mempertanyakan, mengamati, menguji coba, bernalar, dan tak lupa mengubah pendapat kita, serta kegigihan untuk belajar dari pengalaman jika temuan kita tidak sejalan dengan prasangka” (hlm. 18).
Sejarah sains itu penuh pertikaian terhadap dogma agama, irasionalitas, dan pseudosains di sebuah masyarakat. Kini, saat merebaknya teknologi digital—terutama semenjak berlangsungnya era Pasca Kebenaran, keberadaan sains menghadapi tantangan yang tak terkira dari wacana yang berhembus di media sosial. Utamanya dengan peningkatan polarisasi opini masyarakat baik berhubungan isu budaya maupun politik.
Rasanya, acuan saat wabah pandemi yang berlangsung kurang lebih dua tahun sejak tahun 2020 menjadi kerangka beberapa tulisan Jim menarik ditelisik. Kita semua memahami betapa orang-orang di media sosial mudah berkomentar, tanpa berpikir terlebih dahulu. Media sosial mudah menjadi corong bertebarnya kabar bohong, jeratan konspirasi, dan tipudaya sains semu.
Hal itu kemudian diperparah dengan peranan kelompok yang dengan sengaja melakukan itu dengan kepemilikan motif dibelakangnya—ekonomi, politik, maupun ideologi. Hal itu yang menjadikan Jim menegaskan pentingnya kolaborasi antara satu pihak dengan lain dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada. Keterangan ia tulis:
“Maka itu kita harus mencari cara dan mengembangkan strategi untuk menangani misinformasi dan narasi palsu secepat mungkin. Ini membutuhkan kombinasi solusi dari segi teknologi, masyarakat, dan hukum” (hlm. 95).
Pengarusutamaan kolaborasi ini sebenarnya telah ditekankan Jim pada karya lainnya, Dunia Menurut Fisika (Kepustakaan Populer Gramedia, 2021). Secara menyeluruh, Jim memberi penjelasan bagaimana keterhubungan sains terhadap ruang publik. Tentunya, ini sebentuk bagaimana sains beradaptasi pada ekosistem dunia digital. Mafhum, ia menggunakan frasa “sukacita”, yang memberikan makna ada sebuah “duka” dalam sains yang mungkin sengaja tidak disampaikan. Meski sejatinya penting untuk diketahui sebagai permenungan bahwa saintis bukan sebatas dikenal saat berhasil dan menemui kejayaan dari teorinya.
Hal tersebut tak terlepas bahwa para saintis terus mencoba untuk menggambarkan realitas dunia melalui dunia yang terkadang “sepi” dan “sunyi”. Komunikator sains dan budayawan Nirwan Ahmad Arsuka (2015) menggambarkannya mengenai keterhubungan saintis terhadap laboratorium dan perpustakaan. Dengan metode ilmiah yang ketat, para saintis terus menguji hingga mendapati teori yang lengkap, utuh, dan sempurna.
Pertanyaannya kemudian adalah: "apakah saintis dapat memberikan jaminan terhadap sebuah kebenaran?" Pada momentum Diversity Award 2016, astronom perempuan dan filsuf, Karlina Supelli menyampaikan ceramah ilmiah berjudul “Berpikir dan Bertindak Masuk Akal”. Ia menyampaikan bahwa sekalipun di kalangan saintis, keberadaannya tak terlepas dari bias dan subjektivisme. Ada pengaruh ideologi, kepentingan, dan agama yang terkadang membayangi.
Jim dalam buku ini memberikan keterangan berhubungan dengan itu melalui tulisan berjudul “Kenali Bias-bias Anda Sebelum Menghakimi Pandangan Orang Lain”. Ia menekankan keberadaan bias konfirmasi dengan didasarkan pada perkembangan yang hadir dari ilmu psikologi. Dua macam bias konfirmasi yang dicatat Jim berupa: superioritas ilusi dan keterlibatan unsur budaya dalam bias itu.
Bias konfirmasi itu yang mudah menyeruak dan membuat perdebatan tidak menjadi produktif. Perebutan tafsir dan kebenaran terkadang terbatas pada suka atau tidak suka. Celakanya, untuk mengakui kesalahan, para pakar lebih siap ketimbang mereka yang sejatinya tidak berkompeten. Oleh sebab itu, Jim juga memberi peguatan akan Efek Dunning-Kruger.
Teori yang dicetuskan oleh David Dunning dan Justin Kruger itu menjelaskan bias kognitif di mana orang yang berkemampuan rendah dalam satu urusan menaksir kemampuan sendiri berlebih, sementara itu orang yang berkemampuan tinggi menaksir kemampuan orang lain berlebih. Ada sebuah langkah untuk menghadapi semua itu yang ditulis oleh Jim. Tulisnya berupa:
“Namun pelajaran yang dapat dipetik di sini adalah kita tidak boleh tergesa-gesa menelantarkan opini dan pertanyaan pihak-pihak yang tidak setuju dengan kita karena kita menganggap mereka “bebal”; kita harus menakar kompetensi dan bias kita sendiri sebelum kita mengkritik orang lain” (hlm. 78).
Pernyataan tersebut memosisikan bahwa Jim ingin menekankan keberadaan sains yang terkadang masih dianggap sebagai sesuatu yang asing, rumit, dan penuh perhitungan perlu disadari bahwa ia perlu menjadi bagian kebudayaan. Ada sikap,petuah, dan prinsip bagi banyak orang untuk menyeka berbagai fenomena dan peristiwa dalam keseharian. Dengan arti lain, sains bukanlah sesuatu yang ditempuh hanya dengan menjadi seorang saintis.
Ada peran yang bisa dilakukan dengan melibatkan sains sebagai proses dalam kehidupan. Di sana ada kesadaran atas metode saintifik, kemauan untuk bernalar, memiliki pikiran kritis, dan melakukan tindakan masuk akal. Kesemuanya tak terlepas dari upaya mendayagunakan akal budi. Teringat dengan ungkapan Astronom perempuan berkebangsaan Amerika Serikat, Ann Druyan: “Sebelum ada sains, kita tak punya cara untuk menguji cerita kita terhadap realitas".
Peresensi: Joko Priyono (Penulis)
Dimuat di: Koran Kompas, Minggu, 3 Desember 2023
Saat dewasa, Burhanuddin tak mengikuti jejak politik sang ayah. Dia memilih jalan yang berbeda, yakni sebagai akademikus ilmu politik. Sebagai akademikus, dia produktif dalam menulis. Tulisannya kerap...View More
Kepustakaan Populer Gramedia
added new photo album "Peluncuran Buku Iravati M. Sudiarso, Empu Pianis I..."
Peluncuran buku "Iravati M. Sudiarso, Empu Pianis Indonesia" di Steinway Gallery, Jakarta Barat, pada Sabtu (4/11) sore, membuka kenangan 60 tahun ded...
Kepustakaan Populer Gramedia
added new photo album "Berita Buku No Pain No Gain Capt. Christian Bisara"
Ada dua simbol yang melekat pada burung nasar, yaitu bangkai dan pembersihan. Burung nasar memiliki indra penciuman yang tajam untuk melacak bangkai hingga jarak satu kilometer lebih. Ia akan mengelilingi bangkai tersebut, menyambar, lalu memakannya. Meski begitu, burung nasar menjadi simbol kebersihan dalam lingkaran kehidupan dan kematian dalam sejarah Mesir kuno. Barangkali, epigram burung nasar sengaja disematkan Leila S. Chudori untuk menggambarkan betapa peliknya kisah Segara Alam—anak seorang komunis yang telah dieksekusi mati.
Sejak halaman pertama kita diajak untuk merasakan keampuhan photographic memory dari tokoh bernama Segara Alam. Kisah detik-detik terakhir bapaknya digambarkan dengan sangat detail seolah-olah kita sedang menyaksikan eksekusi tersebut. Keahlian untuk mengingat hal-hal detail ini nyatanya memberikan masalah tersendiri dalam diri Alam. Alih-alih mengingat hal-hal indah yang hanya datang sekelebatan, ia justru kerap kali didatangi mimpi buruk kisah kelam bapaknya.
Spesifikasi Produk
Penulis: Leila S. Chudori
Ilustrator: Toni Masdiono
Perancang sampul: Toni Masdiono & Aditya Putra
Editor: Christina M. Udiani & Endah Sulwesi
Penataletak: Teguh Tri Erdyan
Kategori: Fiksi, Fiksi Berlatar Sejarah, Novel
Terbit: 20 September 2023
Harga: Rp120.000
Tebal: 448 halaman
Ukuran: 135 mm × 200 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786231340825
ID KPG: 592302176
Bahasa: Indonesia
Usia: 18+
Penerbit: KPG
Leila S. Chudori memperlihatkan bagaimana trah atau garis keturunan berpengaruh pada nasib seseorang. Baik nasib baik, maupun nasib malang. Selain Alam, Bimo yang merupakan anak eksil politik yang tak bisa kembali ke Indonesia di zaman Orba mengalami hal serupa. Yang lebih mengerikan, nasib malang Bimo justru didapat oleh ayah tirinya—seorang tentara yang menjadi kekasih ibunya. Bimo kerap kali disiksa dengan disundut rokok di berbagai bagian tubuh. Hal ini memaksa Alam dan keluarga untuk bertindak, mengajak Bimo untuk tinggal di rumahnya meski setiap akhir pekan harus pulang ke rumah ibunya.
Selain itu, represi militer pada orang-orang yang terlibat dengan komunis diperlihatkan dengan cara yang memilukan. Berbeda dengan novel Laut Bercerita yang menceritakan detail adegan penyiksaan terhadap aktivis reformasi. Pada bab 6 (hal. 151-173) buku ini, Leila S. Chudori memperlihatkan bagaimana nasib malang keluarga Alam saat diinterogasi. Ibu Alam secara tersirat dipaksa untuk melayani nafsu bejat si tentara. Sedangkan Yu Kenanga kecil harus membersihkan ruangan penuh darah bekas penyiksaan keluarga yang ditengarai terlibat komunis.
Tidak hanya keluarga militer, hegemoni keluarga konglomerat yang dimaksudkan memiliki pengaruh dalam politik Indonesia juga diperlihatkan. Kisah Denny dan Trimulya contohnya. Denny anak seorang konglomerat tambang nyaris tak tersentuh oleh hukuman saat ia berbuat salah di sekolah. Segala permasalah di sekolah era pasca ’65 seolah-olah mudah diselesaikan dengan pertanyaan, “siapa bapakmu?” atau “siapa ibumu?”.
Epigram burung nasar yang melekat pada tokoh Alam semakin kentara menuju babak akhir cerita. Alam diumpamakan sebagai mayat hidup yang kapan saja bisa mati oleh burung-burung nasar yang berputar-putar di atas kepalanya. Sebaik apa pun seorang Alam bertindak, ia tidak bisa menghapus garis keturunan yang dibawa oleh bapaknya. Seolah-olah ia hanya menunggu waktu untuk disambar dan dimakan oleh kebijakan pemerintah yang mencanangkan kebijakan bersih diri dan bersih lingkungan. Hal ini semakin menguatkan simbol burung nasar sebagai pembersih bangkai-bangkai yang bahkan sudah berbau busuk.
Tetapi, Alam tidak serta merta menerima nasibnya begitu saja. Melalui tokoh Ibu Umayani, semangat Alam mulai bangkit untuk menantang catatan sejarah yang sengaja ditulis untuk mendukung hegemoni pemerintah Orba.
Dalam buku ini, kita akan diajak memahami fragmen kehidupan yang amat penting. Bahwa meski sejarah yang tertulis di buku-buku pelajaran sekolah bernuansa politis, penulisan sejarah seharusnya tidak akan pernah selesai. Seperti dalam hal.358 buku ini, melalui tokoh Bu Umayani yang mengatakan jika penulisan sejarah akan terus berlanjut. Suatu hari, Para Pencatat Sejarah (sebuah ekstrakurikuler di sekolah Putra Nusa) bisa berbincang dan menggali sejarah yang hilang dari saksi atau keluarga korban tragedi ’65. Hal ini menegaskan bahwa dibutuhkan orang-orang yang berani dan telaten untuk mencatat sejarah yang hilang atau disembunyikan atau dilupakan.
Secara keseluruhan, Leila S. Chudori berupaya memberikan impresi kedekatan pada pembaca secara utuh. Selain kedetailan teknis cerita, Leila juga menambahkan keterangan istilah dan sumber kutipan. Menariknya, dalam bagian “Ucapan Terima Kasih”, Leila S. Chudori memberikan kesaksian proses kreatif novel ini. Namaku Alam dikatakan sebagai spin-off novelPulang yang berhasil menyabet Prosa terbaik Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2013. Selanjutnya, buku ini rencanakan menjadi trilogi. Patut kita tunggu bagian kedua novel Namaku Alam.
Presensi: Sapta Arif (Kepala Humas STKIP PGRI Ponorogo)
Dimuat di: Jawa Pos, Sabtu, 9 Desember 2023