Kepustakaan Populer Gramedia
by on April 29, 2020
674 views

Tidak semua disertasi bisa segera terbit setelah sang penulis memperoleh kelulusan doktoralnya. Segenap peminat dan sidang pembaca harus sabar menanti, bahkan terbilang masa puluhan tahun lamanya, hingga akhirnya "anak-anak rohani" itu siap untuk dikonsumsi umum.


Hal itu dialami oleh sejarawan Ong Hok Ham (1933-2007) dan Peter Carey (lahir 1948). Dua nama besar yang sama-sama mengkhususkan disertasi pamungkasnya pada studi sejarah Jawa. Disertasi mereka memiliki nasib yang berliku sebelum kemudian berhasil dibukukan. Kata "berhasil" tepat untuk disematkan mengingat proses pembukuan disertasi masing-masing tidaklah mudah.
 

Gambar 1. Kiri: Ong Hok Ham menggendong Tuyul, salah satu anjing peliharaannya. Dua anjing lain Ong bernama Kribo dan Blacky. Sejarawan David Reeve, kolega Ong, secara gurau menjuluki mereka sebagai anjing Melayu. Kanan: Peter Carey berkampanye bagi kemerdekaan Timor Timur di London, Inggris, pada pertengahan 1990-an dalam aksi mendukung referendum di Timor-Leste dan pembekuan ekspor alutsista militer Inggris untuk Indonesia, terutama pesawat tempur Hawk (Foto Koleksi Peter Carey)



Kedua sejarawan ini memiliki beberapa pertautan lainnya. Keduanya lahir di Asia Tenggara (Ong di Surabaya, Indonesia; Peter di Yangon, Myanmar), bahkan tanggal kelahirannya hanya berselisih satu hari⁠—Carey pada 30 April sedangkan Ong pada 1 Mei. Mereka sesama produk doktoral pada tahun 1975 yang belum pusing memikirkan jurnal SCOPUS; dan dikenal kondang akan kajian Jawa abad XIX. 

Tidak berhenti sampai di situ. Semasa hidup, Ong merupakan dosen legendaris yang unik nan nyentrik di jurusan sejarah Universitas Indonesia (UI). Siapa sangka, Peter Carey yang sohor dari University of Oxford setelah pensiun dini (2008) kemudian menetap ke Indonesia dan sejak tahun 2013 menjadi Adjunct Professor (Profesor Tamu) Fakultas Ilmu Budaya UI, tempat Ong dulu mengajar.


Tercatat pula keduanya saling mengantar buku masing-masing. Ong Hok Ham memberi kata pengantar pada karya Peter Carey berjudul Asal Usul Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh (1986).


Peter Carey sendiri baru bisa menyamakan kedudukan pada tahun 2018 dengan memberi kata pengantar pada edisi bahasa Indonesia pembukuan disertasi Ong Hok Ham, Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priayi dan Petani di Keresidenan Madiun Abad XIX (2018).
 



Hubungan saling memberi dan saling menerima seperti di atas merupakan keniscayaan dalam ruang intelektual yang sehat bugar. Teristimewa karya disertasi keduanya diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit yang sama, yakni Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta—sebuah penerbit yang dilahirkan tepat menjelang Orde Baru lengser keprabon dan karenanya mengandung spirit demokratisasi ilmu pengetahuan dalam alam Reformasi. 


Jalan Berliku

Peter Carey merampungkan disertasinya di Oxford pada 1975 dengan judul Pangéran Dipanagara and the Making of the Java War, 1825-30. Ia dibimbing Richard Cobb (1917-1996), ahli Revolusi Prancis, dengan penguji Ronald Robinson (1920-1999) yang sohor sebagai ahli sejarah imperial dan persemakmuran serta Merle Calvin Ricklefs, pakar Hamengku Buwono I (1717-1792, bertakhta 1749-1792).


Seperti rentang masa Orde Baru, ternyata butuh 32 tahun hingga disertasi itu terbit berbahasa Inggris di Belanda oleh penerbit yang kini sudah almarhum, KITLV Press, Leiden. The Power of Prophecy, Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855, yang dicetak pada 2007, dalam hitungan bulan dicetak kembali. Karya setebal hampir seribu halaman yang raksasa dari sudut penulisan biografi ini mendapat sambutan hangat publik internasional.


Total ada 37 tahun tersendiri bagi publik tanah air baru bisa menikmati karya monumental Peter Carey. Hal itu terhitung sejak berupa naskah disertasi hingga terbit edisi bahasa Indonesia dalam tiga jilid Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Sekurang-kurangnya ada dua alasan mengapa karya magnum opus itu butuh waktu hampir empat dekade baru berbahasa Indonesia.


Pertama, tantangan saran akademis dari M.A.P. Meilink-Roelofsz (1905-1988), arsiparis dan ahli sejarah ekspansi Eropa Barat, kepada Peter Carey agar mengembangkan disertasinya secara lebih komprehensif. Tentu saja mengembangkan disertasi membutuhkan riset lanjutan. 


Kedua, Peter Carey mengalami krisis moral sebagai Indonesianis tatkala mendapati Indonesia menginvasi Timor Portugal dan menjadikannya salah satu provinsi di Indonesia, yakni Timor Timur (1975-1999). Ia melihat Xanana Gusmão laksana Pangeran Diponegoro yang dikejar-kejar kolonial Belanda.


Krisis moral hingga kegoncangan jiwa juga dialami Ong Hok Ham. Kengerian atas pembunuhan massal buntut G30S 1965 yang disaksikannya sendiri di Jawa Timur menjadi salah satu latar belakang kepergiannya ke Amerika Serikat untuk mengambil gelar doktoral di Yale University—sebuah daya upaya untuk pemulihan trauma pasca peristiwa mengerikan itu. 


Meruwat dan Merawat

Secara anumerta, pada usia 85 tahun (2018), Ong Hok Ham mendapat kado penerbitan disertasinya. Teristimewa dua karibnya mengantar buku itu. Selain Peter Carey, ahli ilmu politik yang tengah menulis biografi Ong Hok Ham, David Reeve, turut menulis epilog buku itu dengan menitik-beratkan Ong dan Jawa Timur, tanah leluhur yang dicintainya.


Pada 21 November 2018 buku Ong itu diluncurkan di Hotel Sun, Kota Madiun. Secara khusus Peter Carey dan David Reeve hadir di sana untuk merayakannya di depan publik yang berdatangan dari eks Keresidenan Madiun, antara lain Ponorogo, Ngawi. 


Acara itu menjadi reuni kecil alumni sejarah UI lantaran beberapa murid Ong juga muncul, seperti Iskandar P. Nugraha yang menjadi moderator hingga Judi Kasturi (yang berpulang 27 Maret 2020 silam) dan Wasmi Alhaziri.


Peter menandaskan arti penting disertasi sejawatnya itu. “Karya Ong ini sangat penting bagi historiografi Madiun. Guna membebaskan warga Madiun dari PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder, Derita Stres Pasca Trauma) dari stigma September 1948 (PKI/Musso).”, tulis Peter Carey dalam prolog buku Ong yang diulanginya di depan forum. 


Sebagaimana Ong memulihkan diri dengan studi doktoralnya, diharapkan disertasi itu juga meruwat sekaligus merawat memori politik masyarakat Madiun guna menggali kekayaan sejarah budaya negeri mereka yang begitu berlimpah ruah.


Historiografi Madiun sangat kaya karena wilayah tersebut merupakan ibu kota alternatif wilayah sebelah timur Keraton Yogyakarta. Kekayaan itu perlu digali dan disebarluaskan sebagai selebrasi keragaman sejarah Indonesia dalam kancah global.


Setelah Kuasa Ramalan karya Peter Carey terbit, muncul sebuah gelombang gerakan budaya masyarakat berbasis historiografi. Keturunan Diponegoro dapat berkumpul kembali hingga mewadah dalam sebuah perkumpulan trah. Timbul-deras karya-karya seni rupa, pertunjukkan, hingga film mengenai Diponegoro dan Perang Jawa. Tidak mengherankan bahwa Kuasa Ramalan telah mengalami cetakan ulang keempat hingga tahun 2019.


Etos kerja dan dedikasi Peter Carey selama hampir setengah abad terakhir terekam dalam buku Urip iku Urub: Untaian Persembahan 70 Tahun Profesor Peter Carey (2019) yang dapat menjadi cetak biru bagi generasi sejarawan mendatang. 


Sampai di sini, menulis disertasi dan menerbitkannya dalam edisi ilmiah populer merupakan perjalanan lahir-batin yang berbeda sepenuhnya masing-masing. Sesudah terbit, buku disertasi itu memiliki takdirnya sendiri dalam peradaban masyarakat pembacanya.

 


Ditulis oleh FX Domini BB Hera.

Posted in: Editorial
Be the first person to like this.