Kepustakaan Populer Gramedia
by on July 7, 2020
365 views

KARTINI adalah kontradiksi: ia cerdas sekaligus lemah hati. Ia menyerap ide masyarakat Barat tapi tak takluk pada adat. Ia feminis yang dicurigai. Ia dianggap terkooptasi oleh ide-ide colonial. Tapi satu yang tak bisa terlupakan: ia inspirasi bagi gerakan nasionalisme Tanah Air (hal 1). 

Kita mengenal RA Kartini sebagai pahlawan wanita yang merintis kesetaraan wanita dalam memperoleh pendidikan. Akan tetapi pengangkatannya sebagai pahlawan nasional telah menimbulkan banyak kontroversi. Misalnya sejarawan Harsja W. Bachtiar menganggap Kartini tak lebih baik dari Dewi Sartika dan Rohana Kudus, yang dinilai lebih berhasil mewujudkan impian mereka dalam mencerdaskan anak bangsa. Harsja menilai Kartini tidak lebih dari “pahlawan” yang dibesarkan Belanda (viiii). 

Namun perlu kita cermati, meski sama-sama berjuang di ranah emansipasi wanita dan peduli akan pendidikan bagi kaum perempuan, ada sedikit perbedaan dalam cara berjuang yang telah dilakukan Dewi Sartika dan Rohana Kudus, dari Kartini. Hal ini merujuk pada kebiasaan menulis Kartini, yang kemudian tulisan pemikiran dan kegelisahan Kartini itu kemudian dibukukan dengan judul “Door Duisternis Tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang). Di mana dia mencatat berbagai hal: kesetaraan gender, feodalisme, hubungan antar bangsa. Kartini bergulat dengan pemikiran dan terjebak di antara ide dan kenyataan. Sudut pandang inilah Kartini semestinya ditelaah. 

Dan buku ini hadir untuk menggambarkan tentang tokoh wanita yang telah meletakkan dasar-dasar kesetaraan dan emansipasi. Keberadaan buku ini diharapkan agar pembaca bisa melihat gambaran utuh kehidupan Kartini. Dia merupakan putri dari Bupati Jepara, RMAA Sosroningrat dari garwa ampil atau selir bernama Ngasirah. Sejak kecil Kartini melihat perbedaan yang mencolok dalam memperlakukan laki-laki dan perempuan. Ketika laki-laki diizinkan untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin, Kartini harus masuk pingitan. Keadaan itulah yang membuat jiwa Kartini berontak. Dia marah, karena merasa diperlakukan secara tidak adil. 
 


Penulis: Redaksi Tempo
Editor: Galang
Kategori: Nonfiksi, Humaniora, Sejarah, Biografi, Seri Tempo
Terbit: 11 April 2016
Harga: Rp60.000
Tebal: 160 halaman
Ukuran: 160 mm x 230 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786026208309
ID KPG: 591601161
Bahasa: Indonesia 
Usia: 15+
Penerbit: KPG


Kesedihannya karena harus masuk pingitan itu kemudian dia ceritakan kepada Estelle “Stella” Zeehandelaar, aktivis feminis dari Belanda yang menjadi sahabat pena pertamanya (hal 34-35). Dia juga sempat melakukan protes kepada ayahnya dan meminta keringanan, agar tetap bisa memperoleh pendidikan. Akan tetapi usahanya tidak berhasil. 

Dari sang kakak, Sosrokartono, Kartini kemudian dipinjami berbagai buku agar dia tetap bisa belajar, tanpa harus sekolah. Dia juga memanfaatkan kotak bacaan langganan ayahnya yang berisi buku, Koran dan majalah dari dalam dan luar negeri. Bacaan-bacaan bertema sosial, politik hingga sastra itu membantu Kartini menemukan jawaban atas pertanyaannya selama ini. 

Selai gemar membaca, ternyata Kartini juga suka menulis berbagai perasaannya dalam tulisan. Dia antaranya dia dikirimkan kepada sahabat penannya. Dan ada pula tulisan yang dipublikasikan di sejumlah media dan jurnal. Dari tata cara perkawinan hingga seni batik. Meskipun dalam tulisan itu Kartini tidak mencantumkan namanya, karena alasan keamanan. 

Gebrakan lain yang dilakukan Kartini kala itu adalah mulai menghilangkan perbedaan derajat dengan kedua adiknya, Roekmini dan Kardinah. Bahkan mereka kemudian saling mencari solusi bersama untuk membebaskan kaum perempuan dan kungkungan adat. Tidak lama kemudian, akhirnya sang ayah memberikan izin kepada ketiga putrinya untuk keluar dari pingitan.

Setelah keluar dari pingitan Kartini bersama kedua adiknya membantu para pengukir Jepara dengan menciptakan motif macan kurung. Dia juga menghubungi Oost en West untuk menghidupkan kerajinan tangan Hindia Belanda. Di kesempatan lain dia juga mendirikan sekolah bagi anak perempuan, meski hanya sekolah sederhana. Bersama adiknya dia mengajarkan baca-tulis, menghitung dan kerajinan. 

Perjuangan Kartini memang tidak sampai tuntas, karena di usia ke-25 dia telah meninggal dunia. Namun dari jejak tulisannya, telah berhasil memotivasi dan menggerakkan orang lain untuk memperjuangkan kesetaraan wanita. Kartini memang tidak berjuang lewat orasi atau mengumpulkan masa, namun dari tulisan-tulisannya yang menginspirasi 

Srobyong, 14 April 2019


Peresensi: Ratnani Latifah, Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Posted in: Ulasan
Be the first person to like this.