Kepustakaan Populer Gramedia
by on July 7, 2020
209 views

Buku ini menawarkan bentangan luas, dimulai dari mooi Indie, sketsa-sketsa di masa revolusi, hingga praktik berkarya yang sinis terhadap medan seni rupa kontemporer Indonesia.

Chabib Duta Hapsoro, kurator dan penulis seni rupa, terkenang akan lukisan klasik karya Wakidi (1890-1979) saat melawat ke Bukittinggi, Sumatera Barat. Sejak dulu, ia terpukau oleh objek pemandangan alam Ngarai Sianok yang terbentang di lukisan salah seorang pionir Indonesia di bidang seni lukis modern itu. Chabib pun mengunjungi Janjang Seribu (1.000 anak tangga), menapak tilas jejak proses kreatif dari murid pelukis Louis van Dijk itu. Ia ingin menetap Ngarai Sianok sebagaimana citraan lukisan Wakidi yang membawa kesan pandangan seseorang dari ketinggian. 

Sepanjang jejak perlawatan, memori lukisan panorama membuat pikiran Chabib menjelajah jauh ke masa silam. Karya Wakidi, sebagaimana pula lukisan Abdullah Suriosubroto (1878-1941), menginggiringnya pada peneropongan sosiologis atas eksistensi genre mooi Indie di tanah jajahan Hindia Belanda. Ia merenungi, Sumatera dan Jawa yang begitu banyak direpresentasikan dalam lukisan-lukisan mooi Indie menjadi fantasi Barat tentang wilayah koloni yang dikesankan eksotis. 

Di sisi lain, dua wilayah itu sarat dengan eksploitasi penjajahan paling getir yang dipenuhi banyak pertumpahan darah, seperti perang Jawa dan perang Padri. Tulisan Chabib ini, “Alam Terkembang Hilang Berganti”, yang sekaligus menjadi judul buku, membentangkan wacana bahwa di balik lukisan terdapat dinamika sosial-politik-kebudayaan suatu zaman. 

Membaca 13 esai yang terhimpun dalam buku ini, terasakan betul kehadiran seni rupa terus-menerus membayangi ingatan, perjalanan, serta menjadi percikan-percikan permenungan. Dari awal hingga akhir, Chabib melakukan suatu tanggapan berkesinambungan akan sosok-sosok perupa serta karya demi karya. Hasilnya adalah jalinin cerita yang dipenuhi napak tilas, kesan, dan pendapat. Sedangkan di dalam karya tersisip humor serta ketegangan di antara pencarian bentuk (craftsmanship), medan gagas, dan konteks kebudayaan sebagai kenyataan actual kehidupan seorang perupa. 

Sisi humor sebagai ungkapan olok-olok terungkap, misalnya, dalam hayat dan karya Mufti “Amenk” Priyanka. Dalam esai pembuka berjudul “yang Picisan dan Mengolok-olok”, Chabib menemukan bahwa trayektori kekaryaan seorang perupa sangat dipengaruhi oleh konteks kebudayaan. Memaknai kreativitas Amenk, Chabib menilai tema olok-olok sebagai pancaran karya mengacu pada budaya anak muda di Bandung yang hibrida, eklektik, dan kosmopolit. Ini berarti, karya menjadi muara nilai-nilai modernitas yang penuh paradoks dan murni. 

Telaah Chabib pada poster gigs A Stone A (2011) karya Amenk, yang memvisualkan anak punk mencium tangan polisi, menegaskan pemaknaan itu: “Filosofi punk ialah anti kemapanan, anarki dan anti otoritas. Dengan mencium tangan polisis dan meminta maaf, berarti anak punk tersebut, menghormati serta takluk pada otoritas dan menerima ideologi feodalisme (cium tangan). Karya ini merepresentasikan parodi seniman atas hibriditas dari sebuah kebudayaan. Poster ini jenaka karena menabrakkan representasi budaya yang bertolak belakang dan uniknya benar-benar terjadi di Indonesia.” (halaman 9) 
 

Penulis: Chabib Duta Hapsoro
Editor: Udji
Kategori: Nonfiksi, Esai, Seni Rupa
Terbit: 30 Maret 2020
Harga: Rp85.000
Tebal: 192 halaman
Ukuran: 115 mm x 175 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024813550
ID KPG: 592001771
Usia: 15+
Bahasa: Indonesia
Penerbit: Comma Books



Chabib secara mendetail juga membakar renik peliknya kehidupan perupa. Pembalasan tentang Haryadi Suadi (1938-2016) dalam esai “Sang Kolektor dan Ahli Warisnya” mewujud dalam kisah biografis yang ditulis khidmat. Perbincangan diletakkan dalam konteks dua generasi, yakni hubungan, kenangan, serta pengalaman seorang ayah dan anak. Kesemuanya itu digariskan dalam secarik wasiat pemikiran bahwa seni rupa adalah medium untuk menyampai kan sesuatu serta ruang visual untuk menempatkan tradisi keindonesiaan sebagai inspirasi sekaligus terbosan. 

Wasita mendiang Haryadi tidak anya untuk dipikirkan, tapi juga untuk dipraktikkan. Putra Haryadi, Radi Arwindu, menjelajahi kemungkinan-kemungkinan itu melalui lukisan Cylu Man V (akrilik di atas kanvas. 5 panel. 2006) yang memadukan citraan tradisi dan budaya pop. Lukisan ini meredefinisikan elemen-elemen visual tradisi mitos pesugihan Jawa, mengemas ulang lukisan kaca Cirebon, serta memadukannya dengan seni lukis superflat Jepang. Secara tersirat, tampaknya Chabib meletakkan kematian Haryadi Suadi bukan sekadar peristiwa kepergian seorang perupa, melainkan testamen seni rupa.

Kumpulan tulisan Chabib Duta Hapsoro ini sebagian sudah dipublikasikan sebagai ulasan pameran atau pengantar kuratorial pameran. Nuansa di masing-masing tulisa tak berpretensi menjadi bacaan dengan gagasan-gagasan yang sistematis dan ketat, dengan pendahuluan, isi, dan kesimpulan yang tertata sebagaimana sering kita jumpai pada traktat-traktat akademis. Chabib berpikir secara rasional-intuitif. 

Meski begitu, Chabib menawarkan bentangan luas, dimulai dari mooi Indie, sketsa-sketsa di masa revolusi kemerdekaan Indonesia, praktik berkarya yang sini terhadap situasi medan seni rupa kontemporer Indonesia, dua sisi fotografi sebagai daya eksploitatif dan empati, serta situasi batin para perupa di balik penciptaan karya. Semua itu menegaskan bahwa kehidupan seni rupa Indonesia mengalami progresivitas, baik dalam eksperimentasi bentuk maupun gagasan. 

Chabib mengingatkan, di tengah progresivitas tersebut justru eksistensi kritik seni rupa mengalami nasib ironis mengalami ketertinggalan dari segi kuantitas produk. Dalam esai penutup berjudul “Jalan Sunyi Sanento Yuliman”, tersimpulkan bahwa kritis seni rupa masih akan menempuh jalan sunyi di tengah ingat-bingar peristiwa seni rupa kontemporer. Ranah penciptaan menerima paling banyak lampu  sorot, sebaliknya telaah seni rupa seakan-akan terabaikan. Kritik pun mengalami keterbatasan ruang publikasi, berhadapan dengan sikap anti kritik, serta posisinya dikalahkan oleh kurator dan otoritas pasar. 

Buku Alam Terkembang Hilang Berganti menegaskan bahwa Chabib Duta Hapsoro adalah pengisah sekaligus pengamat yang berupaya merawat, menafsir, serta menyikapi dengan kritis berbagai sejarah, hubungan, kenangan, perjalanan, dan pengalamannya melebur bersama seni rupa. Aktivitas itu digerakkan karena Chabib dimabuk cinta seni rupa. Cinta, sebagaimana kata Erich Fromm, adalah subjek yang aktif, sadar, produktif, dan terus berproses’ bukan sebaliknya pribadi yang sepi nan pasif. Cinta selalu mengedepankan laku memaknai sebagai eksistensi mencintai, ia tak peduli walau lampu sorot alpa memandai sosok serta kehadirannya. 


Peresensi: Abdul Aziz Rasjid, Esais dan jurnalis, bergiat di Aliansi Jurnalis Independen (Aji) Kota Purwokerto.

Posted in: Ulasan
Be the first person to like this.