Kepustakaan Populer Gramedia
by on July 7, 2020
393 views

TERCAPAINYA kemerdekaan Indonesia tidak luput dari usaha para tokoh pergerakan nasional. Mereka adalah pahlawan yang memiliki keberanian dan sikap nasionalisme yang tinggi. Tanpa mengenal rasa takut, mereka  terus berjuang. Untuk menghormati perjuangan mereka, maka tanggal 10 November diperingati sebagai hari pahlawan. Salah satu tokoh pergerakan nasional yang memiliki banyak peranan dalam merai kemerdekaan adalah Haji Agus Salim.

Pemilik nama asli Masyhudul Haq yang berarti ‘Pembela Kebenaran’, mendedikasikan hidupnya untuk perjuangan. Pira kelahiran Koto Gadang, Sumatera Barat, 8 Oktober 1844 ini, dengan semangat tinggi dan keberanian yang besar, dia terus melangkah tanpa rasa takut. Tidak peduli pemikirannya selalu dikritik dan dibuang, Haji Agus Salim terus berjuang tanpa henti. Buku ini dengan menarik memaparkan tentang peranan yang dilakukan Haji Agus Salim untuk Kemerdekaan Indonesia.

Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Mesir misalnya. Hal ini tidak lepas dari tangan dingin Haji Agus Salim. Pengakuan de jure pertama dunia internasional terhadap proklamasi 17 Agustus 1945. Dan setelah Mesir, sejumlah negara Arab berturut-turut mendukung. Misalnya Libanon, Suriah, Irak, Arab Saudi, dan Yaman. Keberhasilannya ini membuatnya diberi julukan sebagai “The Grand Old Man” karena kepiawaiannya dalam berpolitik (hal 13).


Keberhasilannya ini membuat Belanda gagal untuk menguasai kembali Indonesia. Karena pada saat perjanjian Linggarjati, salah satu isinya berbunyi, Belanda dan Indonesia sepakat membuat Republika Indonesia Serikat-- di mana Indonesia harus bergabung dalam persemakmuran Indonesia-Belanda dengan Belanda sebagai kepala. Namun dengan adanya pengakuan de facto dan de jure, posisi Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat semakin kokoh.

Sedang sebelum proklamasi, Haji Agus Salim ikut berperan aktif dalam persiapan kemerdekaan. Dia merupakan salah satu anggota BPUPKI. Dia juga termasuk bagian dari panitia sembilan. Tim yang melahirkan Piagam Jakarta, yang kelak menjadi rancangan preambul atau pembukaan Undang-Undang Dasar (hal 19). Dialah tokoh yang menjadi penghubung ketika terjadi perdebatan antara golongan Islam dan Nasionalis. Tidak hanya duduk di panitia perancang hukum dasar dan panitia sembilan, Haji Agus Salim juga duduk sebagai anggota panitia penghalus bahasa dalam rancangan undang-undang, bersama Soepomo dan Prof. Dr. P.A.H. Djajadiningrat.

 

Penulis: Redaksi Tempo
Editor: Galang
Kategori: NonfiksiHumanioraSejarahBiografiSeri Tempo
Terbit: 2 November 2015
Harga: Rp 60.000
Tebal: 192 halaman
Ukuran: 160 mm x 230 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9789799109682
ID KPG: 591501081
Usia: 15+
Bahasa: Indonesia
Penerbit: KPG



Pria yang dijuluki sebagai poliglot--karena dia menguasai banyak bahasa asing, diantaranya; Belanda, Inggris, Perancis, Arab, jerman, jepang dan Turki. merupakan anggota delegasi dalam perjanjian Renville. Dengan sikap tenang dia menghadapi tekanan dari Belanda. Bahkan Haji Agus Salim berani mengungkapkan argumen tentang kelicikan Belanda dalam perjanjian Linggarjati. 

Sikap keras yang dimilki Haji Agus Salim kemudia, membuatnya sering dimusuhi pemerintah Belanda. Bersama Soekarno, Mohammad Roem, Ali Sastroamidjojo, mereka dibuang dan diasingkan di Wisma Ranggam, yang berdiri tidak jauh dari Pelabuna Muntok, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung (hal 32). Selain di sana Haji Agus Salim juga sempat dibuang ke Berastagi dan Parapat, Sumatera Utara. 

Namun begitu, jiwa nasionalisme tidak mati. ketika akhirnya bebas, haji Agus Salim kembali berjuang mengusir penjajah. Dan selama masa pergerakkan haji Agus Salim ikut andil membesarkan Sarekat Islam--yang kemudian menjadi berganti menjadi Partai Sarekat Islam. Bersama HOS. Tjokroaminoto, mereka bahu membahu melawan penindasan dan penjajahan yang dilakukan Hindia-Belanda. Tidak hanya itu Haji Agus Salim juga kerap kali mengecam tindakan pemerintah Belanda melalui tulisan-tulisannya yang tajam. Hal inilah yang membuat Haji Agus Salim kerap ditegur dan dianjurkan untuk melunakkan kritikannya kepada pemerintah Belanda. 

Sayangnya siap keras Haji Agus Salim tidak bisa dipatahkan. Dia berkata, “Keyakinan saya tentang peri kehidupan; dan pendapat saya tentang pemerintah Hindia-Belanda serta kebijakannya, saya tidak bisa tawar menawar.” (hal 104). Inilah alasan yang membuatnya memilih mundur dari jabatan Pemimpin Redaksi Hindia baroe yang membesarkan namanya. Begitu pula ketika sempat menjadi redaksi Koran Nerajta. Karena tidak lagi satu misi dan tidak mau dimanfaatkan pemerintah Belanda, Haji Agus Salim memilih mundur. 

Sepak terjang Haji Agus Salim ini patut kita teladani. Dengan sikap gigih dan kepandaiannya dalam berdiplomasi telah merintis jalan kemerdekaan Indonesia. Dia adalah sosok sederhana yang demi bangsa, tidak takut miskin dan hidup susah. Yang terpenting adalah berjuang meraih kemerdekaan Indonesia. Buku yang patut dibaca semua kalangan 

Srobyong, 4 November 2017


Peresensi:  Ratnani Latifah, Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Posted in: Ulasan
Be the first person to like this.