Kepustakaan Populer Gramedia
by on July 13, 2020
183 views

Peneliti sejarah dan kolektor bermufakat menulis buku mengenai tokoh besar di Indonesia masa lalu. Kerja bareng menghasilkan buku diberi judul apik, Tan Tjeng Bok: Seniman Tiga Zaman 1898-1985. Pengertian tiga zaman mula-mula bisa dilihat dari pilihan foto-foto di sampul buku. Seniman itu dalam penampilan berbeda, dari usia muda sampai tua. Tan Tjeng Bok pasti ada di ratusan lembar foto meski tak semua awet sampai sekarang. Pada lembaran foto, kita mengimajinasikan seniman itu gagah, cakep, dan berwibawa. 

Kita mulai dengan membaca kliping dari majalah Zaman edisi 10 Agustus 1980. Kliping tak digunakan oleh dua penulis. Kita mengutip untuk melengkapi pengisahan dalam buku. Di Zaman, Tan Tjeng Bok mengaku dilahirkan di Jakarta, 1899. Tanggal dan bulan tak ingat. Tahun kelahiran itu selalu berbeda di sekian buku dan majalah. Fandy dan Deddy memilih 1898 adalah tahun kelahiran Tan Tjeng Bok bersumber dari majalah Pertjatoeran Doenia & Film edisi Desember 1941. Mereka berdalih itu sumber tertua berhasil ditemukan untuk memastikan data kelahiran seniman tiga zaman.

Pada saat masih kecil, Tan Tjeng Bok sering sakit. Ibu memutuskan memberi panggilan atau julukan Si Item. Pemberian julukan berkhasiat. Sakit menjadi berkurang. Julukan melekat sampai dewasa. Kita menemukan perbedaan lagi di tulisan berjudul “Si Item Subur, Kini Merana” dimuat di Zaman. Keinginan mengenal Tan Tjeng Bok sering dihadapkan pengakuan atau penjelasan berbeda. Tan Tjeng Bok mengatakan bahwa pemberi julukan Item Subur itu dukun di Bandung. Fandy dan Deddy mengetahui julukan Tan Tjeng Bok cuma Si Item, bukan Si Item Subur. “Tapi sekarang nggak subur lagi, mesti pakai pupuk urea,” Tan Tjeng Bok bercanda seperti ditulis di Zaman. Pengakuan disampaikan Tan Tjeng Bok saat berusia 81 tahun. Ia sedang merana dan miskin. 

Pada 15 Februari 1985, Tan Tjeng Bok pamitan dari dunia. Hari berduka dijelaskan Fandy dan Deddy menggunakan sumber Surabaya Post (16 Februari 1985) dan Kompas (18 Februari 1985). Berita berjudul “Perjalanan Panjang Pak Item” di Tempo, 23 Februari 1985 tak terpilih di penulisan buku. Tempo mencatat pujian Teguh Karya untuk Tan Tjeng Bok: “Aktor pertama yang punya kehadiran di atas panggung.” Pendapat penting jika kita mengingat Tan Tjeng Bok cenderung memilih jadi aktor di panggung ketimbang di film. Pujian juga diberikan Chadidjah selaku aktris pernah bermain bersama Tan Tjeng Bok di film berjudul Srigala Hitam (1941). Chadidjah itu ibunda Idris Sardi. Di buku garapan Fandy dan Deddy, judul film itu ditulis Srigala Item. Nama aktris ditulis Hadidjah. Pengutipan di Tempo salah jika mengacu poster film dimuat di majalah Pertjatoeran Doenia & Film edisi Juni 1941.

Kita sudah mengalami kebingungan berkaitan tahun kelahiran, panggilan, dan berita kematian. Tan Tjeng Bok masih saja memiliki sekian misteri membingungkan bagi wartawan, peneliti sejarah, dan pengamat perfilman. Pengerjaan buku Tan Tjeng Bok: Seniman Tiga Zaman 1898-1985 memang sering dihadapkan kebingungan demi kebingungan. Dua penulis wajib melacak pelbagai data dan membuat perbandingan. Kerja memerlukan kejelian dan ketabahan. Fandy mengakui bahwa sulit dalam menulis buku gara-gara kemunculan penjelasan selalu berbeda di sumber-sumber berhasil didapatkan. Deddy mengingat awalan penasaran biografi Tan Tjeng Bok dari pembelian kaset lawak dan keroncong pada 2011. Penasaran dituruti dengan belanja pelbagai hal bertokoh dan berkaitan Tan Tjeng Bok. Koleksi jadi bahan penulisan buku.  
 

Penulis: Fandy Hutari & Deddy Oktara
Kategori: NonfiksiBiografi
Terbit: 6 Mei 2019
Harga: Rp 75.000
Tebal: 192 halaman
Ukuran: 145 mm x 200 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024811358
ID KPG: 591901652
Bahasa: Indonesia
Usia: 17+
Penerbit: KPG



Tan Tjeng Bok seniman tenar dan terkenang di teater, film, dan musik. Pengakuan diberikan pemerintah pada 2003 dengan memberikan tanda kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma. Tan Tjeng Bok tercatat di album sejarah, nama penting jangan terlupakan lagi. Pada masa lalu, Tan Tjeng Bok dibela oleh pengarang memilih menghuni di hotel, Iwan Simatupang. Di Bogor, 2 September 1965, Iwan Simatupang menulis surat ke B Soelarto, berisi “kemarahan” seni dan kekuasaan. Indonesia sedang menanggungkan politik membara. Iwan Simatupan berseru: “Bagaimana nasib Raden Mochtar? Sulastri? Tan Tjeng Bok? Fifi Young? Pak Kuncung? Adakah mereka ada diberi pensiun? Tidak, seribu kali tidak! Hidup mereka benar-benar merana.” Pengarang novel berjudul Ziarah dan Merahnja Merah itu marah pada rezim Soekarno.  

Seruan itu berbeda dari peristiwa sempat membuat Tan Tjeng Bok terhormat. Fandy dan Deddy menulis pertemuan Tan Tjeng Bok dengan Soekarno. Tan Tjeng Bok diundang ke Istana Negara, Jakarta, 1956. Soekarno memuji suara Tan Tjeng Bok dan dikabarkan sering mengundang Tan Tjeng Bok. Foto bersama Soekarno membuat Tan Tjeng Bok bangga. Foto sering dipamerkan ke para wartawan. Surat Iwan Simatupang bertahun 1965. Fandy dan Deddy tak memiliki penjelasan nasib Tan Tjeng Bok di tahun 1965. Mereka mungkin gagal mendapat data untuk bisa mengoreksi atau membenarkan anggapan Iwan Simatupang. Surat dimuat di buku berjudul Surat-Surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966 terbitan LP3ES (1986) tak termasuk pustaka pilihan di penulisan buku Fandy dan Deddy. 

Pada saat menua, Tan Tjeng Bok mendapat kasih, kehormatan, dan bantuan dari para seniman. Ia merana tapi masih mungkin merasakan girang meski sering teringat masa lalu saat jadi aktor berlimpahan harta. Masa 1930-an sudah terpisah jauh. Ia mulai merenungi kemiskinan dan tua. Babak mengharukan itu terjadi memicu perhatian dari kalangan seniman, pejabat, dan pembaca koran. Bantuan demi bantuan diberikan untuk pengobatan Tan Tjeng Bok. Pada masa 1980-an, nama Tan Tjeng Bok mungkin sulit dikenali kaum muda atau para seniman sedang “memanen” rezeki di masa Orde Baru ingin tegak mengumbar janji-janji kemakmuran dan kemajuan. Penerbitan buku berjudul Tan Tjeng Bok: Seniman Tiga Zaman 1898-1985 membuat kita terpanggil menghormati seniman mengalami hari tua di kesengsaraan dan tebaran misteri. Kita selesai membaca buku berhak memiliki janji mencari dan mengumpulkan pelbagai sumber untuk menguak misteri-misteri masih membingungkan, sejak puluhan lalu sampai sekarang. Begitu. 

Posted in: Ulasan
Be the first person to like this.