Kepustakaan Populer Gramedia
by on August 6, 2020
249 views

Buku Karma Cinta merupakan sebuah novel based on a true story tentang perjalanan hidup Sanjoto Senyatanya, pengusaha roti di tengah kemelut perjuangan dan politik Indonesia dari masa ke masa. Roti Orion tetap eksis dari zaman penjajahan Belanda, Jepang, hingga zaman kemerdekaan. Sanjoto Senyatanya bernama asli Njoo Tik Tjiong, lahir 4 Juni 1934 di Solo, Jawa Tengah.

Bias tak terhindarkan dalam mengisahkan masa lalu. Tapi menurut Sanjoto, tetap ada yang bisa kita lakukan: bicara sejujur-jujurnya, senyata-nyatanya. Jepang membutuhkan moci untuk mengisi perut, sedangkan Belanda perlu roti. Secara tidak langsung pabrik roti memiliki posisi strategis. Saat Jepang menduduki Solo, toko roti milik keluarga Sanjoto mendapat order mochi untuk tentara Jepang. “Moci dibuat dengan bahan dasar tepung beras, dibentuk bulat-bulat di dalamnya isi kacang. Enak, mereka tinggal ngemplok,” halaman 13. 

Pada zaman kemerdekaan, bahan baku roti seperti terigu dan mentega tidak ada. Di tengah kelangkaan bahan baku itulah dituntut perjuangan untuk mengembangkan kreativitas. Keluarga Sanjoto tetap mencoba membuat roti. Mereka menyiasati dengan tepung umbi. Mentega dibuat sendiri dengan lemak sapi dicampur dengan air dan garam. Tentu hasilnya tidak sempurna, dapat untuk membuat kue. Namun, babakan ini yang menjadi cikal bakal kue mandarijn.

Belanda terus menerus melakukan usaha untuk mengklaim kekuasaannya kembali. Keluarga Sanjoto didatangi tentara Belanda agar memproduksi “militaire bakkerij” untuk tentara Belanda. Belanda menyediakan tepung, toko roti milik keluarga Sanjoto tinggal mengolah. Upahnya sen per kilogram. Bayangkan, sehari berapa ribu kilo mengingat satu sak saja isinya 22 kilogram. Sebuah tawaran yang menggiurkan. Dengan menerima tawaran tersebut akan menjadi miliuner, bahkan tiap bulan akan mampu membeli Mercedes. Tentu saja semua itu ditolak. Ayahnya Sanjoto seorang Republik tulen.

Cerita belum berakhir, ternyata Belanda membawa tentaranya yang bertugas membuat roti dan menduduki toko roti Sanjoto. Otomatis mereka harus menyingkir dari rumahnya sendiri. “Yang saya ingat pabrik roti kami menjadi berantakan. Tentara Belanda bertindak ugal-ugalan, termasuk melepaskan tembakan. Bayangan di tembok dari jeruk sitrun yang tertimpa cahaya lampu mereka kira kepala orang bertopi baja. Mereka menghajar tembok dengan tembakan. Banyak bagian bangunan dan tembok terluka bekas peluru,” kata Sanjoto (halaman 17).
 

Penulis: Bre Redana
Kategori: NonfiksiSosial Budaya
Terbit: 26 Maret 2018
Harga: Rp 85.000
Tebal: 188 halaman
Ukuran: 140 mm x 225 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024248338
ID KPG: 591810497
Usia: 15+
Bahasa: Indonesia
Penerbit: KPG



Perjuangan keluarga Sanjoto dalam merintis usaha di Solo luar biasa. Jika ayahnya mengurusi makro, ibu menangani mikronya. Ibu menangani mikro usaha dengan sangat gemi dan ngirit. Barang-barang yang tidak terpakai, afval istilahnya, ia urusi sehingga punya nilai. Misalnya saja bagian putih telur yang tidak digunakan ia olah dengan dipanaskan. Kertas bekas gunting-gunting ia manfaatkan untuk menulis catatan. Uang sisa hasil usaha ia simpan dalam bentuk emas. Adapun ayahnya, yang bertindak sebagai otak adalah orang prigel dalam bahasa Jawa, handyman dalam bahasa Inggris, dalam arti pandai, banyak akal, serba bisa. Ia juga pembaca yang rakus. Apa saja dibaca, bahkan surat kabar dibaca hingga ke iklan-iklannya.

Sejak muda ia sudah rajin cari uang. “Cari duit itu sebenarnya gampang setengah mati. Ini lepas dari soal kita lalu menjadi kaya atau tidak. Kaya dan tidak kaya sifatnya relative,” tambahnya (halaman 86). 

Sanjoto menikahi Giok Nie yang pernah putus pacaran 30 tahun lalu. Mungkin itulah yang dinamakan karma cinta dalam buku ini. “Pepatah Belanda mengatakan siapa yang tertawa paling akhir itulah yang paling baik. Saya sekarang bahagia. A very happy marriage,” katanya (halaman 106).

Memang sebelum mereka kembali bertemu, keduanya telah menjalani kehidupan sendiri-sendiri. Giok Nie pernah menikah dengan seorang dokter, Budiomo Wibowo dan mempunyai tiga anak. Namun suaminya meninggal karena penyakit kanker. Ialah dokter yang bekerja sama dengan Hermina Sulaiman mengembangkan RS Hermina sekarang. Adapun Sanjoto juga pernah menikah dan memiliki anak, namun bercerai. 

Menurut Sanjoto, ada pepatah Hokian. Hoki (keberuntungan) nomor satu. Kepintaran nomor dua. Kalau menurutnya, nomor satu kejujuran. Di atas hoki itu harus ada moral (halaman 69).

Orion di tangan Sanjoto berubah. Dulu tulang punggungnya penjualan roti , kini kue.


Peresensi: Yeti Islamawati, S.S. alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Posted in: Ulasan
Be the first person to like this.