Kepustakaan Populer Gramedia
by on August 10, 2020
192 views

Indonesia memiliki empat sumber devisa terbesar: minyak dan gas sebesar 32 miliar dollar AS, batu bara 24 miliar dollar AS, dan kelapa sawit 15 miliar. Sektor pariwisata sebesar 10 miliar dollar. Belakangan, pendapatan dari minyak, gas , batu bara, dan kelapa sawit semakin menurun karena menipisnya persediaan kekayaan alam tersebut. 

Sebab itu, pemerintah mencanangkan delapan tahun, sejak tahun 2014, untuk meningkatkan pendapatan devisa dari sektor pariwisata dua kali lipat dari 10 miliar dollar. Idealisme ini tentu bukan utopia mengingat Negara lain seperti Malaysia, sejak lama mendulang income pariwisata sebesar 20 miliar dollar, sedangkan Thailand bahkan mengantongi 40 miliar dollar AS. Di samping itu, dengan luas dan indahnya alam, Indonesia menyediakan tempat turisme yang tidak kalah atau bahkan lebih unggul dari kedua Negara tersebut. 

Indonesia memiliki begitu banyak pantai, gunung, danau, sungai dan events budaya atau festival kesenian sepanjang tahun. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 99 ribu kilometer. Sebagian sudah banyak dikenal, namun sebagian besar masih tersembunyi, dan perlu diperkenalkan (hlm 1). 

Yang ditawarkan destinasi wisata adalah kealamian, keasrian, dan keindahan alam. Karena itu, menarik perhatian turis, alam juga harus dijaga dan dilestarikan. Ini bertolak belakang dengan gas dan batu bara yang mesti dieksploitasi untuk mendatangkan hasil. Kesadaran menjaga lingkungan harus dimiliki masyarakat sebagai subjek yang bersentuhan langsung. 

“Mereka juga memiliki hukum Sasi, yaitu penggiliran ketika menangkap ikan. Sebab mereka percaya bahwa laut memiliki waktu restorasi sehingga ketika ikan ditangkap terus-menerus, tanpa jeda, bisa punah.”

Di kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, para nelayan tradisional sangat menghormati lautan karena memiliki kepercayaan akan kesakralannya. Mereka tidak saja takut untuk menggunakan bom atau pukat harimau dalam menangkap ikan. Mereka ada etiket khusus ketika hendak melaut, seperti orang Jawa ketika hendak memasuki keraton sebagai representasi ketakziman. Ini terlihat dari bahasa yang mereka gunakan. Jika di darat mereka menggunakan bahasa Sangir, di laut berbahasa Sasahara (hlm 45). 

Kepercayaan serupa juga dimiliki warga Kepulauan Kai, Maluku Tenggara. Awalnya laut menjadi medan perang antarpulau. Para tetua sadar, lantas mengadakan kesepakatan untuk bersatu. Mereka menyusun Larwul Ngabel, tujuh sila tentang penghormatan kepada perempuan dan lautan (hlm 13). Selain itu, mereka juga memiliki hukum Sasi, yaitu penggiliran ketika menangkap ikan. Sebab mereka percaya bahwa laut memiliki waktu restorasi sehingga ketika ikan ditangkap terus-menerus, tanpa jeda, bisa punah (hlm 17). 
 

Penulis: Redaksi Tempo
Editor: Galang
Kategori: Nonfiksi, Wisata
Terbit: 19 Juni 2017
Harga: Rp 80.000
Tebal: 152 halaman
Ukuran: 170 mm x 230 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024
ID KPG: 591701377
Bahasa: Indonesia
Usia: 15+
Penerbit: KPG


Tidak seluruh kesadaran laut berasal dari kepercayaan yang biasanya merupakan warisan nenek moyang. Sebagian justru baru sadar pentingnya menjaga laut karena bencana. Pasca Reformasi 1998, hutan bakau di sepanjang pesisir Malang dibabat besar-besaran. Tiadanya hutan bakau menciptakan erosi tanah di pesisir Sedangbiru. Tanah longsor hingga ke laut dan merusak ekosistem, termasuk ikan. 

Sedangbiru yang awalnya kaya ikan tiba-tiba paceklik. Warga dulu makmur dengan hasil penjualan ikan, ditimpa kemiskinan sampai-sampai Kabupaten Malang mengirimkan beras (hlm 58). Bencana membuat mereka sadar pentingnya laut bagi kehidupan. Sepanjang tahun 2004-2005 mereka secara sukarela dibantu komunitas Bhakti Alam menanam bibit bakau kembali. 

Kini, 73 hektare hutan bakau tumbuh lebat. “Misi kami ingin menjaga kelestarian alam kawasan ini. Kalau pun kemudian berkembang menjadi daerah wisata, kami akan tetap berusaha keras agar alam tidak terdegradasi lagi,” kata Saptoyo, Ketua Komunitas Bhakti Alam (hlm 59). 

Buku ini berisi potret sembilan keindahan pantai dari ribuan pantai Indonesia beserta kisah-kisah warga pesisir menjaga kelestarian laut sebagai sumber utama kehidupan. Jika keindahan menggugah kita untuk mengunjungi, kisah-kisah perjuangan menjaga kelestariannya akan menginspirasi untuk juga ikut bertindak serupa. Dengan begitu, bencana alam dieliminasi dan visi wisata yang dicanangkan pemerintah menjadi nyata. 


Peresensi: Yudi Prayitno, Alumnus Wearnes Education Centre Malang.

Posted in: Ulasan
Be the first person to like this.