Kepustakaan Populer Gramedia
by on August 12, 2020
176 views

Kebijakan impor mudah menjadi isu sangat sensitif di negeri ini. Termasuk kebijakan impor garam. Jika isu itu “digoreng” oleh pihak berkepentingan lalu dihidangkan ke tengah-tengah masyarakat lewat media sosial, maka akan muncul opini kuat bahwa kebijakan pemerintah tidak pro rakyat. Karena di tengah banyaknya stok garam dalam negeri, pemerintah justru mengimpor garam sehingga harga garam dalam negeri anjlok. 

Buku ini secara akademis hadir meluruskan opini tersebut. Kebijakan impor garam justru disebabkan stok garam dalam negeri tidak memenuhi kebutuhan. Produksi garam dalam negeri tiap tahun berkisar hanya dua juta ton. Padahal kebutuhan dalam negeri mencapai 3,7 juta ton. Di samping itu, kualitas garam dalam negeri juga rendah. “Menurut perkiraan, hanya sekitar 30 persen produksi garam nasional yang berkualitas baik, “ tulis buku ini (hlm 112).

Industri kimia seperti CAP (chlor-alkali plant) dan farmasi menyerap 50,6 persen dari seluruh stok garam yang ada. 6 persen diserap industri tekstil, sabun, kulit dan yang sejenis. 43,28 persen garam diserap sektor konsumsi. Garam yang dibutuhkan industri CAP dan farmasi harus mengandung kadar kualitas NaCI minimal 97 persen. Sebagian besar garam dalam negeri mengandung kadar NaCI di bawahnya. Garam dalam negeri lebih cocok dipasok untuk keperluan sektor konsumsi. 

Sebab itu, importasi garam semata dilakukan industri kimia dan farmasi yang memang tidak memiliki stok kualitas memadai dari garam dalam negeri. Sedangkan garam konsumsi tetap dipasok dari garam dalam negeri. Tidak etis memaksa dan mengkritik perusahaan untuk menyerap garam dalam negeri secara maksimal jika fakta kualitasnya memang tidak bisa diakomodasi.  

Rendahnya kualitas garam dalam negeri disebabkan kelembapan di Indonesia mencapai 80 persen. Ini menyebabkan penguapan di tambak garam berjalan lambat. Bandingkan dengan Australia yang kelembapannya hanya berkisar antara 15 persen hingga 40 persen. “Belum lagi mempertimbangkan fakta perubahan iklim, yang membuat hujan mendadak bisa terjadi berhari-hari di tengah kemarau sehingga penguapan di tambak garam gagal sama sekali, “ tulis buku ini (hlm 46). 

Proses produksinya juga masih tradisional. Berdasarkan riset buku ini, produksi garam dalam negeri sejak abad 17 hingga sekarang tidak berubah. Karena cara produksinya masih tidak berubah, sedangkan kebutuhan terhadap garam semakin bervarian dan meningkat tajam lantaran kuatnya sentuhan teknologi, maka produksi garam dalam negeri keteteran. Padahal di luar negeri, misalnya Cina dan Amerika Eksportir 40 persen garam di dunia, sudah lama menggunakan teknologi untuk meningkatkan kualitas dan produktifitas  garam dalam negeri. 

 

Penulis: Prof. Dr. Ing Misri Gozan, Faisal Basri dkk.
Kategori: NonfiksiManajemen
Terbit: 26 Februari 2018
Harga: Rp 75.000
Tebal: 176 halaman
Ukuran: 140 mm x 215 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024247928
ID KPG: 591801477
Usia: 15+
Bahasa: Indonesia
Penerbit: KPG



Dengan teknologi, mereka bisa mengeruk garam dari perut bumi. Di samping itu, dengan teknologi khusus, mereka bisa memproduksi garam melalui penguapan mekanis. Tidak lagi tergantung pada sinar matahari. Cukup meletakkan air laut di gudang dan mengkristalkannya dengan volume panas yang  bisa mereka atur. Produksi garam stabil. Harga garam juga stabil. Beda dengan dengan produksi musiman seperti di Indonesia yang akan mengalami harga jatuh saat musim panen tiba karena barang melimpah (hlm 75).

Tidak hanya menyajikan beragam masalah yang menimpa garam dalam negeri, buku ini juga mengusulkan agar meng-upgrade pendidikan petani garam yang menguasai 86  persen lahan tambak garam. Dengan tingkat pendidikan yang memadai mereka bisa memahami teknik terkini mengelola garam berkualitas dan melakukan transaksi penjualan profesional sehingga lebih berdaya secara ekonomi. Selama ini harga garam sering dipermainkan tengkulak. Penting pula pemerintah tegas menjalankan peraturan Harga Pokok Pembelian (114).

Buku ini juga mengusulkan agar Indonesia membangun industri garam seperti luar negeri. Jelas ini membutuhkan biaya mahal sebab itu pemerintah harus bekerja sama dengan perusahaan tertentu untuk mengoperasikannya. Industri garam tersebut sebenarnya pernah dibangun Petrokimia Gresik dan C.d. Salins du Midi di teluk Kupang NTT. Namun mengalami beragam kendala yang memerlukan perbaikan ulang.


Peresensi: Faiz Staf, Lembaga Pendidikan An-Najah Karduluk

Posted in: Ulasan
Be the first person to like this.