Kepustakaan Populer Gramedia
by on August 14, 2020
210 views

Pada 1913, Soewardi Soerjaningrat menulis teks berbahasa Belanda, Als ik eens Nederlander was, menggegerkan tanah jajahan. Ia menulis sindiran terampuh dalam sejarah dan mengubah nasib tanah jajahan setelah dimulai pembentukan sekian serikat, perkumpulan, dan partai politik. Teks mengandaikan diri menjadi seorang Belanda dengan sekian impian dan permintaan. Belanda sedang membuat peringatan seabad kemerdekaan dari kekuasaan Napoleon tapi memiliki predikat sebagai penjajah Hindia-Belanda. Kaum jajahan diminta mengumpulkan duit dan sokongan atas hari membahagiakan bagi Belanda. Soewardi Soerjaningrat menulis: “Aku akan berteriak girang melihat kibaran Sang Triwarna, tak jemu aku melantunkan lagu-lagu kebangsaan Wilhelmus dan Wien Neeriands Bloed.” Soewardi Soerjaningrat menjadi penggerak sejarah sempat mendapat tuduhan “radikal” dan “pembuat onar” dari pemerintah kolonial.

Teks menghasilkan ganjaran hukuman pengasingan. Ia diasingkan ke Belanda. Di negeri berbeda, Rabindranath Tagore mendapat Nobel Sastra 1913. Pujangga dan pendidik India itu dikagumi Soewardi Soerjaningrat. Pendidikan “bertaman” dijadikan contoh di pendirian Perguruan Nasional Taman Siswa (1922). Di publikasi artikel-artikel, Soewardi Soerjaningrat tekun mengutip pemikiran-pemikiran pendidikan Tagore, berbeda pilihan dengan Noto Soeroto dan Mangkunegoro VII menggemari puisi-puisi gubahan Tagore. Tiga keturunan bangsawan itu tetap “bersekutu” di anutan peradaban Timur di hadapan kepongahan kolonial-Eropa. Kenji mencatat bahwa Soewardi Soerjaningrat terpengaruh gagasan-gagasan Tagore. Kita mengutip di buku garapan Kenji edisi terjemahan bahasa Indonesia: “Ketika Tagore meninggal pada 1914, Soewardi menulis riwayat hidupnya dalam Pusara, ia menceritakan betapa mendalamnya Tagore mempengaruhi dirinya dan Taman Siswa secara panjang lebar.” 

Kita mengingat lagi tahun penting: 1928. Kita usai membuat peringatan 91 tahun Sumpah Pemuda. Teks diumumkan 28 Oktober 1928 dianggap penting di sejarah Indonesia, mengenalkan tokoh-tokoh berusia muda ingin memuliakan Indonesia. Soewardi Soerjaningrat tak lagi muda saat memajukan Taman Siswa. Pada 1928, ia memutuskan mengubah nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Tokoh sering dimusuhi pemerintah kolonial melepas gelar kebangsawanan dan memilih menjadi orang terhormat dengan mendidik-mengajar. Tahun memberi petunjuk kemauan besar memajukan Taman Siswa untuk mendidik-mengajar kaum bumiputra, mengelak dari dikte dan perintah mengacu kebijakan-kebijakan kolonial.   

Misi pendidikan membesar ketimbang politik. Taman Siswa seperti menjadi bukti biografis dengan rahim Pakualaman (Jogjakarta). Darsiti Soeratman dalam buku berjudul Ki Hadjar Dewantara (1986) mencatat: “Keluarga Pakualaman termasuk keluarga maju. Seluruh putra-putri dalam lingkungan itu dikirim ke sekolah Belanda.” Jenjang-jenjang pendidikan dan situasi Pakualaman membentuk pribadi Soewardi Soerjaningrat di pemenuhan janji-janji pemajuan pendidikan. Jalan pendidikan bersama Taman Siswa dihajar pemerintah kolonial melalui Ordonansi Sekolah Liar. Ki Hadjar Dewantara dan penggerak Taman Siswa melawan dengan melibatkan tokoh-tokoh penting di pergerakan politik. 
 

Penulis: Kenji Tsuchiya
Editor: Cenna
Kategori: NonfiksiSejarah
Terbit: 21 Oktober 2019
Harga: Rp 90.000
Tebal: 384 halaman
Ukuran: 140 mm x 210 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024812379
ID KPG: 591901696
Bahasa: Indonesia
Usia: 15+
Penerbit: KPG



Kenji menjadikan episode perlawanan itu membentuk watak tangguh Taman Siswa di masa 1930-an. Kita mungkin melupa tahun bersejarah bagi lakon pendidikan bercorak nasional. Kenji mengingatkan: “Dari Oktober 1932 hingga awal 1933, Taman Siswa bentrok muka lawan muka dengan pemerintah kolonial sewaktu Ordonansi Sekolah Liar diumumkan, dilaksanakan, dan dicabut.” Sikap itu berpengaruh pula ke gerakan (politik) kerakyatan tak mau tunduk pada perintah-perintah kolonial. Jalur sejarah Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa jarang lurus dan mulus. Keberadaan Taman Siswa terbaca pula dalam polemik para pujangga, pendidik, dan tokoh pergerakan di masa 1930-an berdalih mencari kiblat Indonesia dalam sastra, pendidikan, filsafat, teknologi, dan bahasa. Masa itu Taman Siswa “bersemi” di agenda-agenda represif kolonial dan kebingungan arah pergerakan kebangsaan ingin mencapai “kemadjoean” tanpa kungkungan Belanda.    

Peran Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) tercatat pada tahun 1945 sebagai menteri bertanggung jawab di pendidikan-pengajaran. Gagasan-gagasan mulai diperhatikan Soekarno, elite politik, penggerak pendidikan, dan seniman. Ki Hadjar Dewantara belum lelah menggerakkan Indonesia, sejak memberi teks paling mengguncang tanah jajahan. Pada masa revolusi, ia malah “dikutip” di pembentukan demokrasi terpimpin oleh Soekarno. Ricklefs (2005) menjelaskan situasi 1950-an: “Soekarno mulai menghendaki suatu ‘demokrasi terpimpin’, suatu istilah telah lama dipakai oleh sahabat lamanya, Ki Hadjar Dewantara, untuk menggambarkan pemerintahan sekolah-sekolah Taman Siswa-nya.” Kita mengingat misi pendidikan “menular” ke pembentukan demokrasi terpimpin dengan ketokohan Soekarno. Babak bergelimang polemik dan konflik masih mengingatkan alur pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan perkembangan Taman Siswa.

Babak itu menjadi pokok dalam riset Kenji. Gagasan itu menguat pada 1936. Ki Hadjar Dewantara menjelaskan masalah kebijaksanaan dan peraturan-peraturan bercorak Barat. Kepemimpinan “mutlak” diperlukan bagi kemajuan atau perkembangan Taman Siswa dan “mengatasi” gejala-gejala perpecahan. Kepemimpinan diinginkan berada di atas peraturan-peraturan. Gagasan-gagasan itu menghasilkan “demokrasi lain”, berbeda dari demokrasi Barat. Demokrasi itu berselera “sama rata sama rasa”. Ki Hadjar Dewantara mengawinkan pokok-pokok tanpa sadar bakal ditiru oleh Soekarno dalam lakon kekuasaan, berbeda dampak saat diterapkan di pendidikan-pengajaran. Deretan sejarah dan ketokohan itu “mengesahkan” maklumat sampai masa 1960-an bahwa Soekarno adalah “penjambung lidah rakjat Indonesia” (C Adams, 1966). 

Kini, demokrasi Indonesia sedang “wagu” dan “mendebarkan”. Presiden semakin kuat dengan sokongan DPR dan para elite di partai politik besar. Latar demokrasi luput dari pengimajinasian sebelum hari coblosan. Pada 2019, Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Menteri berusia 35 tahun dengan penguasaan teknologi mutakhir dan pemikiran-pemikiran terbentuk di situasi digital. Kita belum wajib membandingkan keampuhan Nadiem Makarim dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara) saat masih muda. Kita saja masih sulit mengenali biografi Nadiem Makarim dan sodoran gagasan pendidikan jika pernah diajukan sekian tahun lalu. Jalan pendidikan mungkin “jalan baru”, setelah ia “menguasai” jalan-jalan menghasilkan laba dan ketenaran. Kepemimpinan di jalan bergantung digital hendak dibuktikan di jalan pendidikan rawan polemik dan konflik. Sejarah sedang bergerak di Indonesia tanpa wajib mewarisi demokrasi terpimpin. Begitu.

Dimuat di Koran Tempo edisi Sabtu, 16 November 2018


Peresensi: Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi Penulis buku Pengisah dan Pengasih (2019)

Posted in: Ulasan
Be the first person to like this.