Kepustakaan Populer Gramedia
by on August 14, 2020
277 views

“Dewasa ini sudah mulai banyak rakyat yang berkesempatan mengunjungi dan melihat isi Istana-Istana Presiden itu, karena Istana-Istana itu memang bukan tempat yang tertutup bagi rakyat,” tulis Soeharto di sambutan untuk buku berjudul Istana Presiden Indonesia (1979). Buku digagas oleh Ibu Tien Soeharto. Maksud penerbitan buku menurut Ibu Tien Soeharto: “Dengan terbitnya buku ini mudah-mudahan istana-istana itu lebih dikenal; atau dapat menarik minat masyarakat untuk mengunjungi dan melihat dari dekat Istana-Istana Kepresidenan tersebut pada kesempatan-kesempatan yang dimungkinkan. Sebab bagaimanapun istana-istana tersebut adalah milik negara yang berarti milik bangsa dan rakyat kita seluruhnya.” Dua tokoh memberi warisan buku mewah memuat pesan-pesan bijak.

Buku menjadi “pengganti” bagi orang-orang gagal jadi tamu atau pengunjung istana. Orang membaca buku ibarat “mengunjungi” istana-istana dibekali kata dan foto. Buku terbit di masa kekuasaan Soeharto sedang ada di kemapanan. Puluhan tahun berlalu, buku itu mendapat susulan buku-buku baru bertema hampir sama. Dua buku masih terasa hangat: Pak Beye dan Istananya (2010) oleh Wisnu Nugroho dan Sisi Lain Istana: Dari Zaman Bung Karno sampai SBY (2014) oleh J Osdar. Pendatang baru pantas dinikmati untuk semakin mengenali istana-istana adalah Dari Lorong-Lorong Istana Presiden: Menyimak Rupa Budaya Rumah Bangsa garapan Agus Dermawan T. Buku terbit menjelang hari coblosan, 17 April 2019. Kita membaca di situasi politik menghasilkan menang-kalah untuk penghuni istana periode 2019-2024.

Agus (mungkin) memberi jawaban telat pada Ibu Tien Soeharto: “Semoga kegirangan saya menulis sisik melik beserta segala sesuatu yang memancar dari lubuk Istana Presiden menjelma jadi bacaan yang menyenangkan bagi Anda. Apalagi setelah kita ingat bahwa Istana Presiden Indonesia adalah istana kita juga, yang kita banggakan dan kita cintai, sehingga harus selalu kita junjung, sekaligus kita gelitik dan kita kritik agar selalu cantik luar-dalam selama-lamanya.” Agus berperan sebagai pengunjung bermisi besar dan pemberi laporan naratif bagi pembaca mengenai istana, terutama berkaitan seni rupa. Ia mulai mengakrabi sekian istana, sejak 1981. Istana-istana itu berada di Jakarta, Bogor, Cipanas, Yogyakarta, dan Bali.

Bangunan teranggap paling bersejarah dan bermakna adalah Istana Negara. Soekarno menjadikan gedung dibangun pada abad XVIII sebagai tempat penting di kerja melaksanakan mandat revolusi dan memartabatkan Indonesia, setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda. Bangunan itu dinamakan Istana Negara. Soekarno menganggap Istana Negara adalah “dapur politik Indonesia”. Istana itu perlahan bersolek memancarkan pikat dan martabat Indonesia di mata dunia. Soekarno sengaja memasang lukisan-lukisan di dinding-dinding Istana Negara. Agus mencatat ada lukisan pemandangan dan kehidupan orang Indonesia oleh Dullah, Basoeki Abdullah, Simoneti, Ramualdo Locatelli, Henk Ngantung, Sudjojono, Lee Man Fong, Frida Holleman, dan Antonio Blanco. Kerja pemuliaan istana mengawali peran besar Soekarno berkaitan seni rupa dan kekuasaan. 

Soekarno pun mengawali pengawetan sejarah dalam istana di Yogyakarta. Pada masa revolusi, Soekarno sering diungsikan dan menjalankan pemerintahan di Yogyakarta. Gedung berdiri sejak abad XIX dipilih menjadi Istana Presiden Republik Indonesia atau Istana Yogyakarta. Istana itu tercatat pernah menjadi tempat pameran lukisan bertema perjuangan pada 1978. Puluhan ribu orang mengunjungi pameran selama 9 hari, sekalian mereka ingin merasakan pengalaman berada di istana. Tokoh penting di pameran adalah Dullah dan Sultan Hamengku Buwono IX. 

 

Penulis: Agus Dermawan T.
Editor: Galang
Kategori: Nonfiksi, Seni Budaya
Terbit: 11 Maret 2019
Harga: Rp180.000
Tebal: 384 halaman
Ukuran: 180 mm x 230 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024811082
ID KPG: 591901628
Usia: 15+
Bahasa: Indonesia
Penerbit: KPG



Kita mengimbuhi penjelasan Agus dengan membuka buku berjudul Istana Presiden Republik Yogyakarta terbitan Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1996. Buku resmi itu tak mengisahkan dan memaknai lukisan-lukisan dipasang di istana. Pembaca buku cuma mendapatkan sajian reproduksi lukisan Pangeran Diponegoro (Basoeki Abdullah), Panglima Sudirman (Joes Supadyo), dan Dokter Wahidin (tanpa dicantumkan nama pelukis). Pada masa Orde Baru, penerbitan buku-buku bertema istana mungkin belum menganggap seni rupa itu penting di kesejarahan dan biografi para penguasa. 

Buku garapan Agus justru ingin menempatkan seni rupa menjadi  tema menentukan nasib istana-istana, sejak dulu sampai sekarang. Di tulisan berjudul “Istana dan Hari Seni Rupa”, Agus mengingat ada ikhtiar mengadakan Hari Seni Rupa, dimulai sejak 1990 sampai 2010. Agus mencatat sekian usulan penentuan Hari Seni Rupa meski belum ada mufakat dan pengesahan. Sekian tokoh mengusulkan 23 April mengacu tanggal wafat Raden Saleh. Usulan berbeda memilih tanggal 15 Mei berdalih tanggal kelahiran Affandi. Usul lagi menghendaki tanggal 23 Oktober menurut kelahiran Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia). Usulan-usulan mulai beredar dan dibincangkan pada era Fuad Hassan menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1985-1993). Tahun demi tahun berlalu, keinginan itu tak sampai pada keputusan presiden. Agus memberi kritik: “Tetapi agaknya rezim Orde Baru belum melihat kesenian sebagai bagian teramat penting dalam tubuh peradaban bangsa.”

Kejutan terjadi pada masa pemerintahan Joko Widodo, 2014-2019. Presiden asal Solo itu memberi perintah agar koleksi benda seni Istana Presiden dipamerkan di ruang publik. Instruksi mewujud dalam pameran di Galeri Nasional berbarengan peringatan Hari Kemerdekaan ke-71, 2016. Pameran dijuduli “Goresan Juang Kemerdekaan”. Acara besar dan bersejarah itu dimaknai Agus: Presiden mengingatkan para penyelenggara negara untuk kembali memuliakan seni agar Indonesia bermartabat dan  seluruh isi istana adalah milik bangsa. 

Sejak Soekarno sampai Joko Widodo, pasang surut mengartikan seni berlangsung di istana. Masa pemerintahan Soeharto paling lama tapi masih sulit dianggap mengadakan pemuliaan seni dan membuktikan kerja ke pemartabatan Indonesia mengacu ke pengurusan koleksi seni di istana-istana. Soekarno diakui menjadi super patronis sulit ditiru dan dilanjutkan oleh Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, SBY, dan Joko Widodo. Pada 2018-2019, seni malah jadi tema pinggiran gara-gara hawa politik membara. Penerbitan buku Dari Lorong-Lorong Istana Presiden: Menyimak Rupa Budaya Rumah Bangsa anggap saja ajakan agar kita menginsafi martabat Indonesia bereferensi seni. Kerja besar itu sudah dimulai pada masa revolusi dengan segala getir dan girang oleh Soekarno. Kita tentu tak ingin melupa istana itu bercerita seni rupa, dari masa ke masa. Begitu.

Posted in: Ulasan
Be the first person to like this.