Kepustakaan Populer Gramedia
by on August 18, 2020
316 views

Biru Laut mahasiswa Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada. Kemudian terlibat aktivitas mengkritik kebijakan orde baru. Laut bergabung dalam organisasi Winatra, yang berafiliasi dengan Wirasena. Demi menghindari aparat dan selidik mata-mata, Laut beserta kawan-kawannya kemudian menepi di sebuah rumah di Desa Pete, Sayegan, Yogyakarta. Leila berhasil merekonstruksi bagaimana dunia aktivis di era orde baru. Laut dan kawan-kawan turut dalam aksi Blangguan tahun 1993. Aksi itu sebagai advokasi terhadap para petani yang lahan garapannya digusur demi tempat pelatihan tentara. 

Semangat Laut yang tak surut disokong oleh sepotong sajak Rendra, Sajak Seonggok Jagung. Bila tenaga tak lagi kuasa melawan keputusan tentara, maka aksi menanam jagung dan mendeklamasikan syair adalah pilihan pamungkas. Aksi tersebut gagal, lantaran informasi bocor. Rombongan itu kemudian memindahkan aksi ke depan Gedung DPRD Jawa Timur. Perlawanan tentara lebih gesit. Mereka diburu. Dan buntutnya Laut dan kawan-kawan digelandang paksa di Terminal Bungurasih, ketika hendak bertolak ke Yogyakarta. 

“Peristiwa ini sama sekali tidak mengurangi militansiku atau kawan-kawan yang lain. Aku hanya bertanya, seandainya kami dicambuk hingga mati  pun, apakah akan ada gunanya?” (hal.182)

Hingga kemudian tahun 1996, Winatra dan Wirasena dinyatakan terlarang oleh pemerintah. Semua aktivitasnya dikebiri dan diburu oleh tentara. Laut dan semua aktivis hidup dalam pelarian. Kabur dari satu tempat ke tempat lain. Sebagaimana sudah kita dapatkan dari buku-buku lain atau bahkan dalam film Istirahatlah Kata-Kata, hambatan utama mereka yang hidup di tengah pengejaran adalah rasa rindu keluarga. Asmara salah satu kunci bagaimana Laut kemudian terseok-seok fisik maupun psikis. Belum lagi tuntunan menyelesaikan strata sarjana yang digambarkan oleh Leila hanya menyisakan skripsi. Di bagian ini, Leila tidak menempatkan sosok Biru Laut sebagai pahlawan keturunan dewa. Laut dan kawan-kawan tetaplah anak muda dengan segala ketakutan, termasuk perihal pendidikan dan skripsi.

Beberapa hari menjelang sidang tertutup skripsi, Laut ditangkap. Semenjak itu Laut disekap di suatu daerah yang tidak diketahui lengkap dengan berbagai penyiksaan. Salah satu gambaran penyiksaan dalam novel ini misalkan, Laut yang dicambuk dengan pecut listrik. Sakitnya menusuk syaraf. Aku menjerit dan minta dibunuh saja karena, sungguh, sengatan pada syaraf ini tak tertahankan sakitnya. Hal.(111) Belum lagi teror psikis, mulai dari ruang penyekapan yang serba gelap, tidak bisa mendeteksi pergantian hari, keluar masuk ruangan selalu ditutup dengan kain. Hingga, bagi Laut dan mereka yang disekap tanpa kejelasan gelap adalah bagian dari kehidupan. Dengan terus berharap ada secercah cahaya, meski hanya di ujung lorong.
 

Penulis: Leila S. Chudori
Editor: Christina M. Udiani
Kategori: FiksiNovelSastra
Terbit: 23 Oktober 2017
Harga: Rp100.000
Tebal: 474 halaman
Ukuran: 135 mm x 200 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024246945
ID KPG: 591701418
Bahasa: Indonesia
Usia: 17+
Penerbit: KPG


Dalam penyekapan itu pula, satu demi satu kawan-kawan aktivis semasa di Yogyakarta dikumpulkan. Mereka silih berganti diinterogasi, mulai dari aksi Blangguan, hingga pertanyaan yang sering diulang dijejalkan adalah siapa pemimpin organisasi mereka, siapa yang mendalangi aksi-aksi merekaTidak hanya sudut pandang Laut, Leila berhasil mengoyak dada pembaca dengan menghadirkan sisi luka dari keluarga yang ditinggal. Laut tidak kembali. Padahal beberapa kawan yang sama-sama disekap kembali ke rumah, tentu dengan luka trauma yang tak terperikan. Asmara yang kemudian bergabung dengan komisi pencarian orang hilang terus berusaha mencari keberadaan Laut. Lain lagi luka yang diderita Ayah dan Ibu Laut.

Tradisi makan tengkleng kambing setiap minggu petang menjadi adegan paling sendu dalam novel ini. Ayah Laut yang terus menata piring makan Laut, tak mengizinkan siapa saja menduduki kursi. Juga bagaimana Ayah Laut membersihkan koleksi buku di kamar Laut atau membekap tas ransel. Terlebih ketika Asmara mendengar kabar bahwa ada saksi yang menyaksikan sebuah kapal yacht putih melempar drum-drum besar di sekitar Pulau Panjang, Kepulauan Seribu. Apakah itu berisi mayat Laut? Bukan luka fisik yang melukai keluarga, melainkan mengetahui bahwa lambat laun harapan itu semakin tipis. Hal ini membuat semua usaha menemukan Laut dan mereka yang hilang seperti menumpahkan garam di lautan. 

Suasana sendu dalam tubuh novel ini tidak perlu diperumit dengan berbagai teknik penulisan. Suasana realisme-magis yang dibangun memang tidak menjadi porsi utama. Bila merujuk pada maksud mengapa novel ini ditulis, maka pesan dan luka keluarga yang terus dilindas harapan akan kepulangan para aktivis yang hilang di 1998 menjadi utama. Ketika Laut Bercerita diluncurkan di Ubud, Warih Wisatsana dan Ayu Weda mewakili suara Laut dan Asmara tampil dengan suara menyayat. Narasi penuh haru semakin menyayat saja. Kisah Laut ini hadir sebagai suguhan penggerus emosi. Jerit Laut yang digambarkan tenggelam dalam laut, luka Asmara dan keluarga dalam penantian adalah sepotong gambaran sekaligus harapan agar persoalan HAM di negeri ini gegas dituntaskan.

Resensi dimuat di Harian Bhirawa edisi Jumat, 29 Desember 2017


Peresensi: Teguh Afandi, editor dan penggiat @KlubBaca

Posted in: Ulasan
Be the first person to like this.