Kepustakaan Populer Gramedia
by on August 18, 2020
222 views

SELAMA ini dalam benak masyarakat umum bila mendengar nama Pangeran Diponegoro dalam benaknya pasti tergambar seorang pangeran pilih tanding, senantiasa memakai jubah lengkap dengan surban berwarna putih, naik kuda, dan sedang mengacungkan keris saktinya. Selama ini yang diketahui oleh sebagian masyarakat sebatas siapa itu Pangeran Diponegoro dan bagaimana sumbangsihnya dalam perang jawa yang menjadi puncak perlawanannya pada pihak Belanda yang dinilainya semakin lancang karena telah berani mengobrak-abrik tatanan kraton.

Sebagai sosok sentral dalam gelaran ‘perang jawa’ yang terjadi antara tahun (1825-1830) banyak hal menarik yang bisa digali dari Pangeran Diponegoro. Dalam bukunya ini Peter Carey dengan berbekal tiga naskah babad yakni Babad Diponegoro, Babad Kidung Kebo, dan Babad Surakarta menuliskan tentang sisi lain dari Pangeran Diponegoro yang belum banyak diketahui oleh masyarakat luas.

Terkait sisi lain yang dimaksud adalah adanya sosok dalam dunia pewayangan yang digunakan oleh Pangeran Diponegoro saat menuliskan otobiografinya yang kemudian dikenal dengan nama Babad Diponegoro. Sosok dalam dunia pewayangan yang digunakan oleh Pangeran Diponegoro itu adalah Arjuna. Tokoh ini sengaja dipilihnya karena ia sadar akan contoh yang diberikan oleh Arjuna. Saudara ketiga dari keluarga pandhawa, dikenal sebagai sosok yang terkenal dengan kegagahan serta kekuatan spiritualnya. (hal. 15)

Pengambilan inspirasi dari sosok dalam dunia pewayangan ini bisa jadi disebabkan karena adanya sesuatu yang mengemuka di jaman itu. Seperti yang dituliskan oleh Peter Carey dalam buku ini, di jaman itu  simbolisme dan mitologi wayang mempunyai pengaruh yang kuat dalam menentukan langkah dan tindakan politisi Jawa, termasuk pada jaman Diponegoro (hal. 10).
 

Penulis: Peter Carey
Editor: Candra
Kategori: NonfiksiHumanioraSejarah
Terbit: 18 September 2017
Harga: Rp 100.000
Tebal: 294 halaman
Ukuran: 135 mm x 200 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024246808
ID KPG: 591701405
Bahasa: Indonesia
Usia: 13+
Bonus: Poster
Penerbit: KPG


Selain itu di buku yang terbit pada September 2017 yang lalu itu dituliskan pula siapa saja yang menjadi teladan bagi Pangeran Diponegoro. Adapun tokoh yang dijadikan teladan oleh Pangeran Diponegoro itu adalah Sultan Agung dan Sunan Kalijogo. Ia mengagumi sosok Sultan Agung karena sosok tersebut dianggapnya sebagai pelindung spiritual Jawa. 

Relevansi Sultan Agung untuk Diponegoro, pertama adalah sang Pangeran merasa ada kemiripan situasi yang sedang dihadapinya; dan kedua ia sangat mengagumi kedudukan sang raja Mataram sebagai pelindung spiritual Jawa. Demikian pulalah, di dalam pengembaraan yang dilakukannya pada masa yang lebih dini- yaitu ziarah ke Samudera Selatan pada musim kemarau 1805- Diponegoro menggambarkan bagaimana ia pada suatu waktu mendapatkan ‘wangsit’ dari Sunan Kalijogo yang meramalkan bahwa kelak ia akan menjadi seorang raja. Tetapi bukan sebagai raja biasa tapi lebih sebagai seorang pengawas spiritual bagi semua penguasa duniawi di Jawa.

Selain itu buku ini, juga membahas hubungan antara Pangeran Diponegoro dengan Adipati Cokronegoro, yang merupakan bupati perdana dari Purworejo. Buku ini menuliskan hubungan antara Pangeran Diponegoro dengan Adipati Cokronegoro ini terjadi saat keduanya berguru ilmu tasawuf kepada Kiai Taptojani.

Walau awalnya keduanya saudara seperguruan, karena terjadinya perbedaan keduanya pun lalu saling bermusuhan. Bibit permusuhan diantara keduanya ini selain dipicu adanya perbedaan pendapat, juga karena adanya anggapan Adipati Cokronegoro terkait perang Jawa yang digelar oleh Pangeran Diponegoro. Perang Jawa yang digelar oleh Pangeran Diponegoro itu dianggap telah merusak kampung halamannya, tidak terima dengan hal itu. Adipati Cokronegoro lantas memerangi saudara seperguruannya.

Adipati Cokronegoro ini bisa dikatakan lawan yang seimbang untuk Pangeran Diponegoro. Ini terbukti dari kemampuan Adipati Cokronegoro saat mengalahkan tiga sosok penting dalam pasukan Pangeran Diponegoro. Dalam bukunya ini Peter Carey menuliskan pada perang 1829, Adipati Cokronegorolah yang telah menyebabkan gugurnya panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang paling disegani dan dihormati, Pangeran Ngabehi, dan kedua anak laki-lakinya-Pangeran Joyokusumo II dan Raden Atmokusumo-di daerah perbatasan antara Bagelen dan Kulon Progo. Kepala ketiga pangeran itu dipancung dan dikirim ke Jenderal De Kock di Magelang sebelum diserahkan ke Keraton Yogyakarta untuk dimakamkan di Pemakaman Pengkhianat di Banyusumurup

Resensi dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat edisi 8 Januari 2018


Peresensi: Sinung S, Pembaca buku di Sumbergempol Kab. Tulungagung.

Posted in: Ulasan
Be the first person to like this.