Kepustakaan Populer Gramedia
by on March 10, 2021
224 views

Manusia dekat dengan kehidupan meski secara tersirat lebih dekat dengan kematian. Sepertinya tidak ada pihak yang benar-benar mengajarkan cara mati dengan benar, bahkan agama sebagai pihak paling otoritatif mengatur keberadaan. Lebih banyak ajaran tentang hidup, terutama hidup secara sosial di tengah manusia lain. Mati bukanlah hal perlu dipelajari secara serius selayaknya dipercayai oleh filsuf dan pemikir Roma, Seneca, “Kita butuh seumur hidup mempelajari cara untuk hidup, dan—mungkin ini yang lebih membuat kita terkejut—kita juga butuh seumur hidup untuk mempelajari cara untuk mati.”

               How to Die berisi Surat-surat Moral (63-65 M), kumpulan surat kepada Lucilius-teman terdekat, dan karya pertama dinamai Penghiburan untuk Marcia yang ditulis sekitar 40-an M berupa surat penghiburan kepada sahabat dan keluarga. Seneca bukan filsuf yang obsesif pada kematian meski bagi pembaca modern akan terdengar begitu. Dunia modern jelas difondasi oleh obsesi akan kehidupan; makanan enak, fesyen, hiburan, kemapanan uang dan karier, bisnis, atau kekuasaan politik. Sekalipun, orang-orang tidak menampik hal-hal bersifat esensial, seperti kebersamaan keluarga, kebahagiaan berbagi, atau persahabatan.

Penulis: Seneca (Disunting & diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan kata pengantar oleh James S. Romm)
Kategori: NonfiksiFilsafat
Terbit: 18 Agustus 2020
Harga: Rp 90.000
Tebal: 196 halaman
Ukuran: 110 mm x 160 mm
Sampul: Hardcover
ISBN: 9786024812423
ID KPG: 592001815
Usia: 15+
Bahasa: Indonesia
Penerbit: KPG

               Roma, latar Seneca hidup memang memiliki alasan ideologis bahwa kematian adalah pilihan eksistensial nan merdeka. Seneca menyaksikan kematian dipaksakan oleh para penguasa lalim; Caligula, Nero, dan Julius-Claudian. Kematian musuh politik yang dipaksa menghabisi nyawa sendiri adalah perintah yang lebih kejam dari kematian. Seneca mempertanyakan dan merumuskan kapan manusia sebagai pribadi merdeka, perlu melepaskan diri dari rasa sakit, penyakit, perbudakan dunia, kemiskinan, dan hukuman-tekanan politik. Jika sampai waktu yang cukup untuk merengkuh ajal, penambahan atau penguluran waktu tidak akan menjanjikan apa-apa.

               Seneca tidak selalu mencontohkan kematian heroik dari pahlawan ternama atau tokoh penting, atau orang hebat, tapi juga sosok anonim. Misalnya seorang pemuda Sparta yang konon masih belia. Ketika ditawan musuh, ia berteriak, “Aku tidak akan menjadi budak!” Daripada diperbudak untuk melakukan hal-hal rendah, pemuda ini memilih menghantamkan kepalanya ke dinding. Sejengkal lagi jarak antara dirinya dan kebebasan (melalui kematian), tidak ada alasan memilih hidup dalam perbudakan.

               Seneca bukan tidak memikirkan atau merenungkan orang-orang yang ditinggalkan dihadapan orang yang siap mati. Penghiburan untuk Marcia memang ditulis untuk menghibur Marcia karena kematian putra yang masih remaja. Surat ini juga menandai peristiwa yang begitu menggetarkan Seneca, keputusan ayah Marcia yang memilih berpuasa sampai mati untuk menghindari vonis mati dari Kaisar Tiberius. Kematian adalah kemauan sendiri, bukan dipaksakan oleh penguasa. Seneca menulis, “Kematian melepaskan mereka yang diperbudak oleh para tuan yang dibenci; melonggarkan belenggu para tawanan; membebaskan dari penjara, mereka yang ditahan oleh penguasa yang sewenang-wenang; bagi para eksil yang pandangan dan pikiran mereka senantiasa bertaut pada tanah air, kematian membuktikan bahwa tidak ada bedanya tanah yang mereka pijak sekarang dengan kampung halaman…” (hlm. 79).   

               Daripada kehidupan yang begitu dekat dan sangat bersifat sehari-hari, kematian tidak terduga sering dianggap sebagai hal asing dan jauh. Membicarakan kematian masih dianggap tabu sekaligus menakutkan. Di surat kepada Lucilius, Seneca menulis, “Tidak ada yang lebih mencemaskan ketika menghadapi sakaratul maut daripada membayangkan setelah kematian; aneh sekali mengkhawatirkan sesuatu yang tidak akan kau rasakan, sama seperti mengkhawatirkan sesuatu yang bahkan tidak akan pernah kau alami. Atau, adakah yang pernah berpikir kematian akan bisa dirasakan—di saat kematian menjadi satu-satunya hal yang membuat kita tak bisa lagi merasa apa-apa?” (hlm.25).

               Dunia orang hidup selalu mencatat kehidupan-kematian heroik ataupun tragis dari para pahlawan atau pejuang, pujangga, cendekiawan, tokoh politik kenegaraan. Bagi sosok-sosok anonim, hanya ia paling menentukan bagaimana hidup dan mati secara merdeka. Saat pilihan bertahan hidup semakin beragam, pilihan cara mati dengan merdeka semakin diuji. Kematian bukan vonis ditentukan oleh negara bahkan Tuhan. Hak hidup selalu lebih menghormati pilihan manusia untuk bertahan hidup menanggung segala derita daripada berlatih memilih kematian. Kehidupan dan kematian berimbang, tapi perayaan pada kehidupan selalu lebih semarak. Juga penghormatan kepada perjuangan hidup paling keras dan prihatin sekalipun, sepertinya tidak terlalu berlaku pada upaya paling merdeka untuk mati.


Peresensi: Setyaningsih

Posted in: Ulasan
Be the first person to like this.