Sekolah masa depan menjadi topik umum perbincangan dalam dunia pendidikan global akhir-akhir ini. Dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century (2018), Yuval Noah Harari menyatakan bahwa sekolah masa depan harus mengadopsi 4-C: critical thinking, communication, collaboration and creativity (pemikiran kritis, komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas). Intinya, sekolah mulai tidak menonjolkan keterampilan teknis—karena nantinya komputer dan aplikasi teknologi yang akan melakukannya untuk kita—namun lebih menekankan keterampilan menghadapi perubahan hidup dengan banyaknya informasi, selalu terbuka untuk terus mau belajar, dan menjaga keseimbangan mental dalam situasi yang tidak menentu.
Sekolah masa depan memiliki arti yang berbeda-beda untuk tiap orang. Beberapa memikirkan (1) lingkungan pembelajaran yang dipacu oleh perkembangan teknologi. Yang lain memikirkan (2) bagaimana mengintegrasikan sekolah dalam masyarakat. Sekolah diharapkan mampu mengombinasikan ilmu pembelajaran, berguna untuk pekerjaan dan waktu bersenang-senang. Ada juga yang berpandangan bahwa, (3) belajar di masa depan diserahkan pada individu, artinya berdasarkan pilihan masing-masing orang, tujuan yang sesuai dengan motivasi, dan pembelajaran terus-menerus dari pribadi masing-masing orang. Berbagai pandangan yang berbeda ini tetap saja harus mengadopsi kenyataan bahwa anak-anak yang bersekolah saat ini akan bekerja sampai tahun 2080.
Pertanyaannya, bagaimana menciptakan sekolah atau pendidikan masa depan ini di Indonesia? Bagaimana seharusnya kita mengajari generasi muda dengan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan dunia masa depan yang berubah cepat?
Peta jalan pendidikan Indonesia
Mengadopsi sekolah masa depan dalam situasi normal saja sudah sulit untuk Indonesia, apalagi ditambah adanya situasi pandemi Covid-19. Dalam dokumen Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020–2035, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menunjukkan contoh sekolah masa depan (hlm. 55). Menurut Kemendikbud, sekolah tersebut akan “menonjolkan/mengoptimalkan infrastruktur, sumber daya manusia, pedagogi pembelajaran, dan kesejahteraan siswa”. Satu sekolah di Indonesia, Green School, menjadi contoh dari beberapa sekolah masa depan yang mengacu sumber dari World Economic Forum ini. Namun kita tahu bahwa keadaan sekolah di Indonesia umumnya tidak begitu. Sekolah yang mengadopsi kebijakan masa depan tersebut biasanya swasta dan berbiaya mahal bagi masyarakat kebanyakan. Intinya tidak semua siswa usia sekolah di Indonesia dapat mengakses sekolah ideal tersebut.
Tujuan pendidikan Indonesia yang akan dicapai Kemendikbud adalah Pelajar Pancasila dan Merdeka Belajar dengan mengadopsi (1) kebijakan Sekolah Penggerak (ditargetkan sebanyak 10.000), (2) peningkatan kualitas guru (tes untuk guru) dan kepala sekolah, (3) pembangunan pendidikan yang berbasis teknologi, (4) kurikulum yang berorientasi pada kompetensi dan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang menyesuaikan dengan tes internasional seperti PISA, (5) berkolaborasi dengan pemerintah daerah, (6) membangun infrastruktur sekolah yang mendukung kolaborasi dan kreativitas, (7) kemitraan dan kolaborasi dengan pihak swasta, (8) kolaborasi pendidikan vokasi dengan dunia industri, (9) membentuk pendidikan tinggi kelas dunia dengan mendorong mahasiswa agar belajar di luar kampus mereka (magang, proyek, wirausaha, dll) selama minimal 3 semester studi.
Peta Jalan Pendidikan atau Roadmap Kemendikbud tersebut sudah bagus. Dokumen tersebut sudah memetakan bagaimana posisi pendidikan Indonesia saat ini; apa kekurangannya, apa yang akan dicapai dan bagaimana cara mencapainya. Sayangnya dokumen Peta Jalan Pendidikan tersebut tidak memuat target-target dan indikator-indikator untuk mencapai tujuan. Padahal aspek target dan indikator amat penting dalam suatu dokumen peta jalan. Contoh dokumen peta jalan yang baik dan dapat diadopsi adalah dokumen Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDG, The 2030 Agenda for Sustainable Development, dari PBB tahun 2015. Dokumen tersebut memuat 169 target dan 232 indikator yang akan dicapai di tahun 2030 nanti.
Tulisan ini tidak cukup untuk membahas kebijakan di atas. Namun, menariknya data hasil tes PISA yang dilakukan oleh siswa-siswi Indonesia didapatkan dari data lembaga penyelenggara saja (OECD), dan tidak dilengkapi oleh data dalam negeri. Data seperti berapakah jumlah sekolah yang mengikuti tes, berapa jumlah siswa yang berpartisipasi dan dari wilayah mana di Indonesia (di perkotaan atau pedesaan, berapa komposisi wilayah Jawa dan luar Pulau Jawa?), tidak terungkap, padahal data tersebut seharusnya diketahui oleh pihak Kemendikbud.
Spesifikasi Produk
Penulis: Ratih D. Adiputri
Editor: Ining
Kategori: Nonfiksi, Edukasi
Terbit: 23 Desember 2019
Harga: Rp80.000
Tebal: 270 halaman
Ukuran: 140 mm x 210 mm
Sampul: Softcover
ISBN: 9786024813079
ID KPG: 591901741
Bahasa: Indonesia
Usia: 15+
Penerbit: KPG
Belajar dari Finlandia
Sebagai salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, Finlandia sudah menekankan kolaborasi dalam pendidikannya. Padahal banyak negara menekankan nilai kompetisi. Dalam kompetisi, seperti yang ditunjukkan oleh kebijakan Indonesia di atas, asesmen mengacu kepada Ujian Nasional dan tes PISA, yang berarti siswa-siswi Indonesia hanya mempersiapkan ketiga fondasi kognitif dasar dalam pendidikannya: literasi, matematika, dan sains. Apabila hanya bidang ini saja, bagaimana nasib pelajaran olahraga, memasak, musik, dan kerajinan tangan?
Pendidikan Finlandia tidak mengenal ujian nasional. Satu-satunya ujian nasional yang ada adalah Ujian Matrikulasi. Ini adalah ujian di akhir pendidikan sekolah menengah (seperti SMA) di saat siswa-siswi sudah dewasa untuk berkompetisi dan dilakukan hanya pada saat siswa siap melaksanakan ujian (tes dapat diulang). Siswa-siswi di sekolah dasar (termasuk SMP) mendapatkan asesmen dari guru kelas atau guru mata pelajaran untuk semua mata pelajaran. Hasilnya kita tahu, Finlandia memiliki skor yang tinggi dalam tes PISA di semua bidang pelajaran sejak tahun 2000.
Menurut laporan organisasi HundrED, salah satu NGO pendidikan berpengaruh di Finlandia, teknologi dan aplikasi online sebenarnya hanya “kendaraan” (vessels) dalam belajar. Yang penting dalam pendidikan adalah praktik pedagogi dalam suatu negara sehingga siswa-siswi belajar sesuai karakternya sendiri (Leponiemi, 2020). Pengalaman Finlandia untuk mewujudkan sekolah yang baik, menurut Pasi Sahlberg (2017) adalah: (1) Sekolah yang komprehensif, artinya sekolah dasar yang menerima seluruh siswa terlepas dari latar belakang ekonomi dan sosial. (2) Guru-guru yang profesional dan berkualitas. Guru-guru di Finlandia wajib memiliki pendidikan pascasarjana (setingkat master), yang artinya guru-guru paham akan penelitian (sudah menulis skripsi dan tesis) dan cara berpikir kritis. (3) Mekanisme yang menjamin kesehatan fisik dan mental anak. Sekolah-sekolah di Finlandia memberikan makan siang gratis, menyediakan tenaga kesehatan seperti dokter, suster, dan psikolog dan adanya pemeriksaan kesehatan rutin. Ini memerlukan kolaborasi dengan pemerintah daerah setempat. (4) Kepemimpinan sekolah yang baik. Kepala sekolah haruslah guru dan mampu mengajar di sekolah. Moto yang dianut adalah “pemimpin adalah guru dan guru adalah pemimpin pedagogi”. Juga (5) kegiatan luar sekolah yang bervariasi. Asosiasi, klub, dan organisasi dalam aktivitas olahraga, seni (termasuk musik), dan budaya memberikan pengalaman berinteraksi/ber-komunikasi dan kreativitas yang berkontribusi bagi pendidikan para siswa. Sekitar 90% anak-anak muda di Finlandia memiliki hobi di luar sekolah (Sahlberg, 2017). Ini juga termasuk dengan fasilitas perpustakaan wilayah dan daerah yang bermutu koleksinya dan akses gratis.
Tentu saja, kita tidak mudah meniru mentah-mentah kebijakan Finlandia. Namun, masukan untuk Indonesia demi mencapai sekolah masa depan, dalam jangka pendek, berdasarkan praktik pedagogi di negara tersebut setidaknya ada tiga hal.
Pertama, investasi ke kualitas guru. Daripada fokus untuk ujian tes kompetisi bagi guru, para pengajar hendaknya mendapatkan pendidikan pedagogi modern, kalau bisa setingkat master. Dengan guru yang berkualitas, guru lebih percaya diri mengenalkan pemikiran kritis dan mengembangkan kolaborasi dan kreativitas anak didiknya.
Kedua, investasi ke pendidikan dasar dan pembelajaran (learning) siswa. Pemikiran kritis tidak bisa diajarkan melalui buku, namun dari kebiasaan-kebiasaan yang dipupuk sejak dini. Jurnalis Charles Duhigg dalam bukunya The Power of Habit (KPG, 2013), sudah menjelaskan dasyatnya kebiasaan yang dipupuk sejak dini dan dibiasakan berjalan dalam waktu lama. Juga dengan fokus pada proses pembelajaran siswa, siswa akan percaya diri melakukan asesmen yang sesuai dengan karakter dirinya sendiri. Belajar haruslah menjadi kegiatan yang menyenangkan. Apabila kolaborasi dan pemikiran kritis baru dikenalkan di universitas, siswa tidak akan terbiasa.
Ketiga, investasi untuk literasi, dimulai dengan banyak membaca. Akses untuk buku-buku bacaan bermutu dan perpustakaan yang modern hendaknya dimulai lagi. Di masa pandemi Covid-19, data negara-negara maju dengan literasi tinggi menunjukkan minat membaca masyarakat yang meningkat. Jumlah peminjam dan pembeli buku naik 8%. Balai Pustaka mulai digalakkan kembali untuk mencari penulis-penulis muda, penerjemah buku-buku internasional, dan perpustakaan mesti melengkapi koleksinya dengan buku-buku berkualitas.
Sekolah masa depan memungkinkan apabila investasi pendidikan juga berada di jalan yang benar.
Penulis: Ratih D. Adiputri (Penulis buku Sistem Pendidikan Finlandia dan dosen di Universitas Jyväskylä, Finlandia)