Kepustakaan Populer Gramedia
by on May 20, 2020
244 views

SATU-SATUNYA presiden Indonesia yang memiliki pandangan visioner tentang kedaulatan pangan bagi negerinya adalah Soekarno. Ini bisa dilihat dari pidato-pidato yang disampaikan dan program-program pertanian yang dicanangkan selama pemerintahannya. Presiden setelahnya, hingga sekarang, awam tentang ketahanan pangan. Program yang dijalankan hanya mengulang program pertanian pemerintah pendahulu, yang selain gagal, juga mengakibatkan ancaman ekologi. 

Di era Presiden Soeharto, menurut Ahmad Arif, sekitar satu hektare tanah gambut dikeringkan di Kalimantan untuk dijadikan lahan produksi beras. Nyatanya, lahan tersebut tetap tidak bisa ditanami padi, terbengkalai, dan sekarang menjadi sumber kebakaran setiap musim kemarau, Presiden Jokowi (2014-2019) menerapkan program serupa: Pajale. 

Untuk menyukseskan program tersebut, presiden memerintahkan pembukaan sejuta hektare sawah baru, termasuk di Papua. Sebagaimana di era Orde Baru, era Jokowi mengalami kegagalan serupa dalam hal pangan. Bukan karena sedikitnya lahan pertanian negeri agraris ini, melainkan kurangnya pemahaman pemerintah. "Semua daerah dipaksa menanam padi dengan paket intensifikasi. Padahal, tidak semua daerah bisa dan cocok ditanami jenis tumbuhan tersebut," tulis Arif (hlm. 3). 

Arif mengkritik "kebebalan" cara pikir pemerintah yang menganggap beras adalah satu-satunya makanan pokok bagi rakyatnya. Jelas bahwa kebijakan pangan yang bertumpu pada beras telah gagal. Pasalnya, padi hanya bisa tumbuh bagus di wilayah Bali dan Jawa. Sedangkan tanah di luar wilayah tersebut tidak bisa bagus ditanami tanaman itu. Sialnya lagi, menurut Arif, produksi beras di dua wilayah tersebut makin melorot seiring dengan kehancuran tanah akibat penggelontoran pupuk kimia yang terus-menerus. Padahal, jumlah penduduk Indonesia melonjak tajam. Tidak heran jika untuk memenuhi kekurangan beras ini, pemerintah rutin mengimpor dari luar negeri. 

FAO mengingatkan bahwa negara dengan penduduk lebih dari 100 juta tidak mungkin bisa maju, makmur, dan berdaulat bila bahan pangannya bergantung pada impor. Pada 1952, Soekarno sudah mengingatkan tentang pentingnya varian makanan pokok bagi penduduk negeri ini. Satu jenis pangan tidak akan cukup. Negeri ini memiliki ragam tanah dan pangan. Bung Karno menghendaki varian pangan tersebut dikembangkan agar rakyat memiliki kedaulatan pangan. 

Ambisi Sang Proklamator ini kandas ketika Soeharto, dengan program swasembada pada 1970-an, menomorsatukan beras dan menegasikan jenis pangan lain. Program ini sukses dijalankan sehingga masyarakat Papua, misalnya, yang awalnya mengonsumsi sagu sebagai makanan utama, bermigrasi menjadi konsumen beras. Di Papua, menurut Arif, sebagaimana di daerah-daerah lain, sekarang mengalami ketergantungan kuat pada beras, yang jumlah produksinya makin minus. Di masa yang akan datangan, bukan hanya mereka yang terancam kekurangan pangan, melainkan juga masyakarat Indonesia secara keseluruhan. 

Arif menawarkan sagu sebagai alternatif makanan pokok guna mengimbangi supremasi beras yang saat ini produksinya mulai kewalahan. Sagu, menurut Arif, merupakan makanan pertama Homo Sapiens. Dibandingkan beras, sagu memilki beberapa kelebihan. Misalnya, dalam satu hektare yang sama, produksi sagu bisa tiga kali lipat dibandingkan produksi beras. Pohon sagu lebih tahan penyakit dan mudah tumbuh di berbagai jenis lahan. 

Arif menawarkan sagu Papua. Sebab, di daerah timur tersebut, populasi tanaman ini terbesar sedunia. Sedangkan pengeskpor sagu justru Malaysia. Sungguh ironis. Arif mengulas pentingnya sagu papua sebagai makanan pokok agar tragedi masyarakat suku Asmat, Papua, yang pernah kelaparan karena kekurangan beras, tidak terulang. 

Repoisisi sagu urgen digalakkan kembali dengan memberinya harga dan perhatian sama dengan beras. Ini harus dicanangkan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Intensitas pengelolaan sagu Papua penting digalakkan agar ia juga menjadi komoditas ekonomi andalan. Saat buku ini ditulis, sudah beroperasi pabrik sagu modern yang bersedia mengolah sagu Papua. Diharapkan dengan uraian dalam buku ini, negara tergerak mendukungnya secara optimal. (*) 

HABIBULLAH
Anggota Literatur Circle Club

 

Posted in: Editorial
Like (1)
Loading...
1